Laut Air Mata
Yang aku tahu,
udara berlubang
kematian
sembunyi di balik karang
di bawah bulan
keperakan pohon
trembesi pucat
pasi, bau mayat di televisi, berita basi
bermalam-malam
kudengar burung gagak
meniti jarak
hingga jarum waktu membidik
sunyi, segala
sia sia. Jantung beku
kemanusiaan
mati suri, seperti
menulis di
pelepah busuk segala
mengutuk,
terantuk pada imaji
negeri satu
warna
Oh,kau yang
mampir di rumah ibadah,
yang menjual
ayat-ayat kesucian!
Tulislah di
kening tentang kematianmu
sendiri.
Larungkan pada laut air mata
dan kita
berlayar di atas duka manusia
atas nama dogma
dan tuhan tuhan kecilmu
2014
Atas Nama
Kebenaran
Kita tak pernah
bisa menang atas kemarahan pada
mereka yang menutup pintu kejujuran
orang-orang tertindas di bawah kaki tirani
Terpinggirkan.
mereka yang menutup pintu kejujuran
orang-orang tertindas di bawah kaki tirani
Terpinggirkan.
Kau tahu dengan
apa orang-orang membela
kebenaran?
kebenaran?
Dengan suara
parau, doa air mata dan cabik luka
menganga di popor senjata
Kau tahu dengan apa orang orang bisa mengubur
dendam?
menganga di popor senjata
Kau tahu dengan apa orang orang bisa mengubur
dendam?
Dengan jarak
waktu sepanjang pundakmu tak dapat
disentuh
beban kenangan yang berkejaran.
Ataukah senja diam-diam mengajak kita
bersembunyi
Di balik punggung sejarah yang kita tulis
dalam sunyi
Dan kebenaran mengabdi pada kepala tanpa
mahkota
disentuh
beban kenangan yang berkejaran.
Ataukah senja diam-diam mengajak kita
bersembunyi
Di balik punggung sejarah yang kita tulis
dalam sunyi
Dan kebenaran mengabdi pada kepala tanpa
mahkota
2014
Demi
Waktu
Seperti cermin;
Padamu kulihat diriku sama berteriak pilu
Pada lilin menyala juga pada hasrat di kepala
Saling memuja saling menjaga
Siang kepada malam, bulan kepada kelam
Biar menjadi tanda sebuah pintu rahasia
Di balik rimbun kisah-kisah rindu setia pada basah
Tanpa banyak kata-kata, doa terbang ke angkasa
Tuhanku, sampaikan surga, anganku jadilah nyata
Giringlah kami pada takdir keabadian
Demi waktu;
Laut dan gunung berjumpalitan, dada berdebaran
Mata hati, mata air, mata api, bakar getir
Setetes darah pada pengorbanan,
jauh lebih tajam dari kata
Padamu kulihat diriku sama berteriak pilu
Pada lilin menyala juga pada hasrat di kepala
Saling memuja saling menjaga
Siang kepada malam, bulan kepada kelam
Biar menjadi tanda sebuah pintu rahasia
Di balik rimbun kisah-kisah rindu setia pada basah
Tanpa banyak kata-kata, doa terbang ke angkasa
Tuhanku, sampaikan surga, anganku jadilah nyata
Giringlah kami pada takdir keabadian
Demi waktu;
Laut dan gunung berjumpalitan, dada berdebaran
Mata hati, mata air, mata api, bakar getir
Setetes darah pada pengorbanan,
jauh lebih tajam dari kata
2014
Sajak untuk
Anak Negeri
Biar kususun
warna bunga untukmu
dan lampu kota yang seperti mata nasib
menatap jalan dan taman-taman lapar
kunisbatkan warna bulan pada kelahiran
anak-anak tak bertuan
Mari kubisikkan ayat-ayat kesunyian
untuk matamu, tajam doa dan kepiluan
Sedang jemarimu terkepal meninju udara
Para dewa masih dimabuk aksara dan asmara
Kita lupa pesta jalanan dan ornamen bendera
Sedang ketakutan telah lama meninggalkan lapar
Kegaduhan musim ini telah menunjuk keningmu
Dan negeri ini sekedar tempat menghitung angka
dan lampu kota yang seperti mata nasib
menatap jalan dan taman-taman lapar
kunisbatkan warna bulan pada kelahiran
anak-anak tak bertuan
Mari kubisikkan ayat-ayat kesunyian
untuk matamu, tajam doa dan kepiluan
Sedang jemarimu terkepal meninju udara
Para dewa masih dimabuk aksara dan asmara
Kita lupa pesta jalanan dan ornamen bendera
Sedang ketakutan telah lama meninggalkan lapar
Kegaduhan musim ini telah menunjuk keningmu
Dan negeri ini sekedar tempat menghitung angka
2014
Kultus Doa
Disini kita masih
menghitung jarak, bersama air mata,
hara bagi
bumi yang hampir kering dan puisi hening
dar italun.
Sedang kesunyian mengalun di tengah ombak purnama
Mekarlah
kaupuisi yang tak terlihat, menarilah
Sementara
kata-kata berbuah dari pokok zaitun
Berkalung
rantai bulan yang meninabobokkan jiwa
dalam rahasia
langit, sejarak tatapan bintang dari
kaki
samudera, putih menyala-nyala
Cahayamu kultus
doa bagi jiwa patah
Bumi kini
semakin mengecil, kita seperti ikan-ikan
dan kematian
adalah hitungan yang terabaikan.
Oh bunga kudus,
kembang kata, ombak purnama!
Robeklah jarak
lempang hipokrasi elastis, tempat teori-teori
diperdagangkan,
tempat kursi-kursi dipermalukan
topeng
topengkertas terpasang di pohon bendera
bukankah ini bumi manusia?
2014
Hujan Januari
Berlayarlah
berlayar perahu kertas
Mainan masa
kanak, waktu belum mentas
Menjemput
langit berwajah laut saat
Matahari hampir
merah, bersama afwah
Hujan menusuk
kenangan di hulu jantung
Mencabik
doa-doa yang bersetia pada bumi
Merendah, pada
jalan berwajah sungai
Perahu kertas,
berlayarlah berlayar
Ke sawah
tenggelam, berenang nikmati bencana
Ibu-ibu
menangis di layar sempit, waktu terhimpit
Bencana
menandai tubuh negeri, bukan mengayun angan
Lewat kumandang
barzanji dan romantisme musim dingin
Doa-doa dan
kecemasam menghitam
Di lumbung
langit, membawa bekal hari-hari depan
Terimalah mawar
melati, sesajen jagad mayapada
Saat tembang
kinasih menyayup lewat tarian gemulai
angin di bilik
telingaku, dan daun daun musim yang berbisik
;matahari basah, awan melaju waktu ke waktu
Januari 2014
Puisi ini dimuat
di Media Indonesia, 25 Januari 2015
Weni Suryandari, Perempuan
berdarah asli Sumenep, lahir di Surabaya 4 Februari. Sehari-harinya ia bekerja
sebagai guru Bahasa Inggris di SD Generasi Azkia, Bojongkulur, Bogor. Menulis baginya adalah laksana mengalirkan
seluruh kegelisahan yang tak bisa dibahasakan secara lisan. Dua pertiga waktu
yang ada dalam satu hari dipergunakan untuk profesinya sebagai guru dengan
segala aktivitas yang mewajibkannya secara profesi. Sisa waktu yang ada
kemudian dipakainya untuk menulis, baik cerpen ataupun puisi. KABIN PATEH
adalah sebuah buku kumpulan cerpen pertamanya yang diterbitkan oleh QAF Books, 2013.
Penulis pernah memenangkan kategori terpuji dalam sebuah sayembara novelet di
Tabloid Nyata tahun 2008, lewat judul “Kesetiaan Seorang Sri”. Karya cerpennya
juga termuat dalam Antologi Cerpen Tinta Wanita 24 Sauh (Esensi Erlangga).
Karya-karya cerpen lainnya terbit di berbagai media cetak, seperti Suara Karya,
Majalah Kartini, Tabloid Masjid Nusantara, Tabloid Nova, Jurnal Nasional, dll.
Selain itu penulis juga telah menerbitkan beberapa buku antologi puisi, antara
lain: Merah Yang Meremah (2010), Perempuan dalam Sajak (2010), Kartini 2012
(2012), Antologi Angkatan Kosong-kosong (Dewan Kesenian Tegal, 2011), Kitab
Radja dan Ratoe Alit (KKK, 2011), dan Beranda Senja (2010). Cerpen dan Puisinya
juga termuat dalam Antologi 3 Tahun Komunitas Sastra Reboan (2010) dan Cinta
Gugat (Antologi Puisi Sastra Reboan, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar