Cacing Tanah
-
Ria Rossiana
bukan
karena kau sampah
maka
aku mencintaimu yang menghumus tanah dengan rindu-rindu
tumbuh
dengan jantung terbelah
menengadah
untuk sesuatu yang serba biru
yang
kupungut kemudian kau usut
yang
kutabur kemudian kau gembur
lalu
aku menyusu dari rahimmu
membelai
umbai-umbai penyemai panen yang terbengkalai
sesungguhnya
pesta tak pernah usai
akan
selalu ada tempat kita buai
seperti
halnya kematian melambai-lambai
aku
yang tak pernah sampai, menjadikanmu
semacam
igau yang kudengar sepintas lalu
Sampang,
1429 H
Tanah Kelahiran I
Ketetapan
ini telah kubuat
telah
kurencanakan
seiring
denyar angin
dan
renyah daun kering,
pabila
lesung tanah
begitu
dahaga memelukku tiba.
Cricit
suara kanak-kanak
begitu
asing, tapi satu-satunya
yang
setia menghibur tidur kita. Pembaringan yang
sebentar
lagi membangunkan kehidupan lain
di
luar tubuhku. Di luar,
yang
menyambut musim-musim berlagu
Sampang,
1429 H
Tanah Kelahiran II
Dalam
hutan gelap dan tanah terlelap
jejak
kita tak lagi bisa terbaca
milik
siapa (keberuntungan) hari ini.
Sesekali
hanya embun sisa daun, memantul
gema
kenangan kemarin.
Hari
tersisa ini
seolah
penghabisan saja menghantui.
Dan
wajah-wajah silih berganti menghadap.
Kiranya
dapat kulihat sekali saja
yang
pernah manis di ingatan
yang
tertimbun tangis di pikiran
dalam
hutan gelap dan tanah terlelap
Sampang,
1429 H
Pasar Malam
kalau
bukan nenek renta
memanggul
kacang basah
anak-anak
belia menjinjing kacang kering
malam
tambah dingin yang terkelupas
terkulai
gemigil
tak
hendak melepas kancing
dan
jejak mereka gemerincing
di
podium mimpi-mimpi kian berhembus makin sesak karena
belum
ada yang beranjak
sementara
si belia dan si renta
tak
menghiraukannya terdesak pada laba yang kian melonjak
seseorang
kemudian membacakan puisi
seperti
membaca talkin dengan pasang indera bertanya-tanya
"antara
pencari nafkah dan tukang khotbah
apakah
seperti lentera dengan cahaya
atau
lentera dengan jelaga?"
nasib
telah mempertemukan mereka embun menjadi saksi
dan
menertawakannya sementara bintang membasahi
mimpi-mimpi
memungkasi jalan-jalan terlelap di ujung mata
Surabaya,
2008
Lir-Ilir
awalnya
kami adalah gelandang yang terbit
dari
rahim petang pada ulang tahunMu
yang
kesembilan puluh sembilan muara tangis
kami
berpijar enam hari perjalanan
lima
malam kesunyian. hanya aku yang melihat
kepompong
ababil menjadi gagak tepat, ketika bulan
menikung
memberi isyarat pada laut melalui
pengembaraan
gelombang sepanjang sampan merajah
jaman
inikah jalan pulang
bagi
tubuh yang selalu kejang?
Sampang,
(2007)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar