Surat Kembang Jati
Dengan apa kau datangi cintamu yang
Sembunyi di balik tajam mata kemarau.
Dengan kata berhelai-helai, lantas
gugur?
Atau riang anak-anak yang berlari
menerbangkan
Kampong halaman lewat daun-daun kering?
Aku temukan ibu dilambai rantingnya.
Jangan hardik kekasihku, jangan hardik
kenanganku
Sebab angina lebih dulu sampai kepada
ceruk yang
Belum kau namai, yang belum kau dustai.
Kelak akan kau kenali remah-remah yang
Didatangi hujan. Barangkali disebuah
sore,
Di dekat meja, kursi, atau pintu berukir hurup-hurup arab
Yang sabar terbuka, dengan satu dua
ketukan
: benih suara.
Namun kepada siapa kelak kau kenalkan
benih yang
Mekar jadi kempang tanpa warna?
Anak-anak akan tetap
Berlari menerbangkan daun-daun kering
Dan kampong halaman sayup-sayup dibawa
angina
: jauh meininggi
2008
Kembang Tidur
1
Terbaca olehku tidurmu yang rukun
Membujur ke utara, dibawah pohon
Yang menyimpan jalan kesepian
Matamu berucap dengan kerling yang pagi
Seperti tafsir yang berlari dari
Kehendak yang mengikat. Aku menggumpal
Dalam kenangan buruk yang berkubang.
Seperti hari sabar dalam kuduk pejalan
Bila masih jauh lambai yang kau
sembunyikan
Biarlah tarian ini memeran sepi yang
tertinggal
Sampai hanyut, dan pelukanmu
kekunal.
2
Kau terbangun dari tidur yang berkabut
Saat daun tak melambai, saat gelisahmu
Menjangkau sebuah amsal di luar nalar
Lalu bagian tubuhmu yang tenteram
Menangkap cahaya tak berwarna dari
Celah yang kau beri nama: duka
Duka ialah selusuran jalan menuju
Pemukiman berair, berkabut: tempat
Mencuci segala rupa yang kau sangsikan
”siapa membangunkanku dalam gulita
Yang jauh dari peluk kekasih” tanyamu
Seperti tamu yang tak ingat tempat
bertemu.
Pertemuan membelah diri jadi
sulur-sulur
Yang sewarna : aku berkabut, aku
berkabut.
Kau papah tubuhmu mengikuti kelokan
yang
Kau kutuk sebelumnya.
Hingga tubuhmu mencair, tubuhmu tak
berani
Menyangkal
3
Seperti angina pada daun
Tubuhku menuju tubuhmu
Lalu rindu jadi sepasang angsa
Berenang ke hilir mengikis tapal batas
Yang mengikat siang-malamku.
2008
Suluk Lebah
Aku mencium hikayat kaum urban dari
tubuhmu
Kau bikin perkampungan sewarna
bianglala
: melengkung sampai ke dasar jurang
Di dasar jurang tubuh-tubuh mancari
Tuhan
Puji-pujian memancar, air matanya
saling
Mengejar dari putik ke putik hingga ke
lading gersang
Duhai, bagaimana cara merawarat benih
dalam kembaranmu
Sehingga kelak kau pulang dengan
sari-sari yang unggul?
Lalu kau hitung arah pulang dan pergi
dengan ciuman
Seakan segala jalan mengarah ke rumahmu
Pabila malam ialah benih kerukunan,
maka
Jejakmu kuikuti dalam tembang yang
mencai ke
Puncak dendam dan keringatku, juga
sebatik luka yang
Basah jadi seputih bulu angsa, menetes
ke dasar
Sebelum siang yang diberkati
Sebelum siang aku belah namamu, agar
sengatmu
Menarasikan kepak bersambut,
Mungkin kelak tak kesebut kedipnya.
Krs 2008
Puisi ini diketik ulang oleh Haryono Nur Kholis dari Antologi Puisi Dzikir Pengantin Taman Sare (Bawah Pohon
Publishing, 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar