AENG MERAH
I
Inilah
pelayaran yang mengagumkan. Aku berdiri di atas geladak perahu sambil
memperhatikan rentang layar dan berdecak-kagum atas perahuku dan pada diriku
sendiri. Rasanya pantas aku menepuk dada serta mendongakkan kepala dan berkata
kepada Tuhan: Bukankah lautan tidak ada taubahnya dengan garam yang setiap hari
aku makan! Aku dan perahuku segera merapat ke sebuah dermaga di mana berkerumun
orang menepuk-nepukkan kedua tangannya.
PADA GERIMIS
pada gerimis
sekitar pohon cemara
masih kurenungi
kekhawatiran ombak.
dengan sepenuh
kaku langit-langit di dadamu
menguak helai dingin
pada tubuh serta
rumput yang tak
sengaja kita injak bersama
gigil –getar
pada bibirmu
dan
ucapan-ucapan tegang-meregang.
masih pada
gerimis
sekitar pohon
cemara yang basah
sedikit kulirik
matamu manik-manik dan bahasa
yang belum
rampung kauucapkan
seperti ombak
pecah di tindih buih
tiba-tiba
gejolak dadaku membentur langit
di dadamu.
maukah kau
memaknai hidup seperti aku memaknaimu?
Bandung, 2010
RASAD
jum’at gagap
sehabis doa
dilontar sepenuh tenaga.
asmaraku yang
lengket uban-ubanmu berkilauan
meniti kata
demi kata. bila bisa kuceritakan ladang
adakah hari
tersisa untuk keluh cintamu!
lihatlah setiap
anjak kaki perkasa menginjak nasib
tangan dan
kepala sama godam mengepal
bila tiba waktu
pulang,
segelas minum
yang kautuang segera memaksaku jadi raja.
lalu sambil
melepas lelah
menggerai
keringat dan tawamu luar biasa,
anak-anak dan
cucu di halaman mengabar
usia; cinta
yang bersemi di hatimu dan padaku
adalah musim
subur berkali-kali musim panen.
aku senang
setelah jum’at
yang gagap itu
kulontar doa ke
langit
sepenuh jangkau
sepenuh tenaga.
28 Desember
2011 pukul 5:15
SAJAK BETINA
kuusap
punggungmu sepenuh nyeri
sepenuh cintaku
bila subuh.
Bandung, 29 Mei
2011
sember : http://aquariumpenyair.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar