marung
dua gelas teh hangat kita pesan di
gelap yang berdebu. satu buat kita dan satunya lagi buat malam yang kandas di
ujung daun pisang. agar semuanya tahu bahwa kita tidak sedang berdua: ada tetes air cucian piring selain
gerimis runtuh dari ujung sabit alismu. ada tikar bergambar kubah selain
lukisan laut yang sepi di dadaku. ada tas lusuh yang menyimpan puisi dalam
jantungmu yang hijau dan ada sepasang kekasih yang berusaha mencipta
bintang-bintang dari jemarinya. menunjuk-nunjuk sesuatu yang sebenarnya telah
hilang dan tenggelam
ini malam meluluri tubuhku dengan bau
harum parfummu antara dingin dan hangat tubuhku yang mengakar. ke tikungan
gang-gang sempit kuberangkatkan sajakku sebelum lonceng berdentang menandakan
keberangkatan subuh esok pagi. sebelum semilir angin merayap di ubun-ubun dan
pecah di gelas bekas bibirmu
aku lupa menabur bunga-bunga dari lubuk
paling sepi untuk kematianku yang pertama. bahkan
nasi goreng kau biarkan basi pada piring bergambar kapal yang karam
selanjutnya kita hanya melepas gelap pada gerobak yang terang oleh lilin dan denting gitar pengamen
fkmsb, 2011
karena
aku alif, maka aku rimbunkan harakat puisiku
—mari mengaji diri di
pinggir kali, sayangku
karena aku alif, maka aku rimbunkan harakat puisiku. di
surau bambu kami lepas ayat-ayat ke langit biru,
tempat gemintang bertahta dengan kerlip mata bidadari
aku pernah berjanji pada tiang-tiang
perahu bahwa kelak akan ada bendera berkibar di pucuk alif yang aku sulam
sendiri dari beberapa ayat puisiku
aku belum genap jadi batu tanpa harakat dan
air yang membawa wajahku ke muara juga belum lunas menjadi laut
karena aku alif, maka aku tak jadi
menusukmu atau menyalibmu di pucuk paling tajam. sebab matahari bukan isyarat
duka, sebab bulan bukan anggur sederhana dan kita bukan hanya lafadz dalam
sujud yang biasa
fkmsb, 2011
kupinjam
tubuhmu yang telah jadi puisi
hitunglah berapa daun yang tak jadi
gugur hari ini. dan tanyakan pada reranting kemana perginya angin. sebab
tangan-tangan kami telah kaku dan tak mampu lagi meski satu huruf harus segera ditulis di jantungmu
bila semuanya telah tiada. tubuhmu tetap jadi puisi, sri
hari ini memang tak ada kapal yang
sauh. Akan kami buat satu laut lagi tanpa gemuruh dan dari pantainya kau bisa
berlabuh hingga karang kau pahat jadi tasbih
naiklah. tiup terompet keberangkatamu, sri.
tabuh genderang meski dengan hati berkeping
kami tak pernah mengerti dengan
kalimat-kalimatmu. atau memang puisi adalah bekas bibir perempuan yang tanggal
di kerah bajuku. dan dirimu adalah kopi pahit yang tumpah tiba-tiba pada malam
minggu yang rajam
sri, bila semuanya telah tiada. bolehkah
kupinjam tubuhmu yang telah jadi puisi
fkmsb, 2011
hikayat tanduk majang
layar perahu mendekat. sebentar, angin
memainkan lagu-lagu laut yang tiba-tiba menjadi
rumah bagi kami. matahari merajam kulit. perahu bergoyang mengamini irama gelombang
ayah tegak di haluan. kepalan tangannya
menusuk langit dan tenggelam pada awan
yang
beriak ombak. lihatlah ibu, ayah telah
kembali membawa ikan-ikan bersirip daun mawar
kemudian ayah melempar sauh.
seperti menjala
angin yang keruh di tepian dada
perahu sepi kembali. di rumah, ibu merebus
malam dengan senyum paling purnama
aku berlari ke tepi pantai dengan kaki telanjang untuk
memandangi malam yang beranjak ke
tengah laut
dan aku menyusulnya
fkmsb, 2011
Catatan si Tukang
Arsip: puisi-puisi ini, diambil dari Manuskrip puisi di
perpustakaan Divisi Sastra Teater ESKA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar