ditulis pada tahun 2005 s/d 2011
Perjumpaan Separuh Waktu
I/
syarifah, barangkali tentangmu yang kau titip padaku
hendak melepas airmataku mengiringi langkahku pergi dari kotamu. tangan seakan
tak mampu melambai—saat kau teriakkan dirimu pada salam perpisahan, “selamat
jalan kasih!” katamu melempar kening
kini, airmata menjadi hujan kepala batu dan menguatkan
relrel itu bergetar gaduh. sungguh aku tak ingin walau pergi hanya untuk ingin
kembali. aku tahu bahwa perjumpaan kita kali ini cukup singkat; sesingkat aku
mengecup keningmu. kenapa harus singkat perjumpaan? kenapa harus pergi
pertemuan?
syarifah, di mana kau sebut namaku suatu saat nanti,
maka aku akan datang kembali menjemputmu dengan sejuta janji dan sejuta mimpi
bersamamu
II/
wahai perempuan yang telah kuketuk pintunya, kutitip
rinduku dalam sajak setiamu. bahwa dengan cinta lewat runcing hujan aku datang,
janji separuh waktu telah aku lunasi dengan segala yang sepi. namun, peristiwa
debudebu dan kabutkabut di jalanan seakan menghalangiku pergi—tak ada jalan di
depan pintu, yang ada hanya wajahmu
syarifah, mulut sudah tak lagi mahir mengucapkan
sepatah kata untukmu, kecuali aku hanya ingin kita menjadi satu dalam satu kata
“rindu”—dalam dekapan hangat dan kecupan masingmasing keringat. syarifah, lewat
potongan bibirmu aku berjanji sehidup semati denganmu
III/
aku ingin cumbui jiwamu lebih dalam, sedalam lautan
menggiring gelombang hingga menyeret ribuan segala yang mengapung di atasnya
syarifah, kaulah langit membuat batinku mendung
kaulah angin mambuat badai jiwaku
kaulah lautan membuat gelombang dadaku
Jakarta
Bila Malam
bila malam jelang dan merambat lewat kening cahaya
wajahmu, rinduku bergemeretak ke dalam palungpalungku. namamu yang kusebutsebut
sebagai ingatan membuat angin bergetar memuja badai. akankah kita melepas
kembali kerinduan yang terpendam?
kau telah membuatku tak berdaya dengan pelukan
hangatmu dulu hingga tulang-tulangku meruntuhkan segala
aku mencintaimu dengan dzikir lahut
—meminangmu dengan segelas air qolam dalam kerinduan yang panjang sampai bagian yang lain
membedaki kekosongan hari—menghitung malam dalam dimensi ruang dan waktu.
bersamamu aku akan sampai pada titik pemujaan para leluhur, lalu membikin
sebuah kehidupan yang panjang
jangan sekalikali kau memberikan dalil yang lain dalam warna atau
sikap yang teraniaya. jemarijemari ini tak lelahnya menghitung hari, menghitung
abad perjalananmu. setiamu membuat mimpiku terus bernyanyi bersama daundaun dan
rerumputan melambai
syarifah, akukau dalam dekapan biru
Jakarta
Kau Bebani Aku dengan Rindu
kau bebani aku dengan rindu;
—rindu yang tegak meliut
lalu kau datang dan menyebutnya sebagai batu
Jakarta
Haruskah Kau
Mati
syarifah, haruskah kau mati karena semua yang
tertulis. sungguh pemberian yang amat lembut jika kau memikirkannya sebuah
kesucian, doa tertulus dari keimananmu mengejawantah dari sesuatu yang terdiam.
rasa sakit yang kau rasakan itu bukanlah amarah, tapi dendam yang kau gadai
sebelum kau menjerit kesakitan.
aduhai engkau yang menulis janjimu pada sehelai daun,
namun tak kau temukan dirimu pada kesetiaan yang sempurna. bacalah aksara
hidup, besok kau akan kembali—mengiringi matahari dengan lambaian senyum
tentang kehidupan di masa depan. lalu kau teriakkan kehidupan di angkasa yang sama
sekali kau tak membacanya dengan kerinduan. dirimu adalah dirimu sendiri.
syarifah, janganlah kau bersedih tentang sesuatu yang
kau genggam. semua itu adalah bayangan yang tak abadi, hanya sebatas
kehendakNya untuk kau terima adanya, hingga kau temukan doa qudus di sujudmu
yang suci dan bukan pada ketiadaanmu dalam getar maut yang kau puja.
bersabarlah demi ketulusan pengabdianmu pada sang Pencipta.
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar