ditulis pada tahun 2005 s/d 2011
Kecupan Pertama
di Tengah Kalimat Percakapan
jiwa yang terseret dalam sungai membuai—membual di
segala penjuru arah. namun, tertuju pada satu warna, warna kulitmu, kulitku
terbelah dua. jiwa yang hilang dalam hitungan angkaangka. detik jantung riwayat
takdirku. takdir kuingkari mengikrarkan diri pada sepi dan tawaku
berkepanjangan.
kugantungkan hidup demi sepatah kata. pada kata yang
berkata lewat bibirnya menarinari—berlari ke arah jantungku. kuminta waktu
berhenti berdenyut mengikuti langkahku. malaikat malaikat kulempar jauh,
mengurungkan niatnya di sebuah museum kota. kota keabadian. kota berpulang.
kota pengakhiranku membawa bibirnya pada sungai yang kubelah empat. lalu airnya
berhenti pada titiktitik pemujaan: pada sungaisungai kecil yang putus di jalan.
karena malaikat malaikat itu ternyata khayalan dari reingkarnasi yang sampai
pada bibirnya. wajahwajah kecewa saat kecupan pertamaku di tengah kalimat
percakapan dengannya—ada amarah menusuk dengan taringnya.
malaikat malaikat berpulang meninggalkan aku berpesta
di depan pintu. mereka membuang potpot bunga miliknya. membuang jalan raya.
membuang mobil. motor. sepeda. becak. dan pohonpohon yang menemaniku berpesta.
kemudian mereka mencopoti tubuhku yang berwarna hitam. seperti warna kulit
perempuan itu menikmati pestaku yang kacau.
pesta pertama di depan pintu
pesta khayalan
pesta jadijadian
pesta yang khusus kupersembahkan untuk tuhan yang
selalu berkhayal atas kematianku
Jakarta-OASIS
Syarifah
semenjak gerimis menghujani batubatu pertapa
angin menyapunya di atapatap batinku
kabut lintas di jendela
mengajak gelisahku di pohon rindang
seperti jejak basah
buram
keringat bercucuran
hati kusut
menggedorgedor semua kenangan
kutemukan suarasuara bernyanyi mengelilingi tasbih
tapi diam dalam gerak dan warna
—seperti ada yang hilang
namun
kamu bagiku tak siasia kasihku
karena sebentar lagi hujan akan turun
mengecupmu dengan gerimisnya
lalu
kupanggilpanggil engkau kasihku
—dalam tidurku
Madura-Jakarta
Dzikir Pengantin
syarifah, akhirnya kurelakan jua diriku
pada detikdetik jantung bersahutan di ujung senja
lihatlah, lihatlah aku syarifah
aku menghitung tasbih berputarputar di lehermu
meniti jalan keagungan
untuk memadukan benangbenang bahagia
melukis kerinduan malam
hingga kutemukan surut matamu kembali pada peraduan
yang sama
syarifah, seperti sajakku bertiup memenuhi udara ke
jantungmu
seperti debudebu rinduku memanas di bibirmu
malam yang kau janjikan nanti adalah warna yang
bersemayam
mengekal di ranjang keabadian
syarifah, dzikirku selalu mengada dan mengada
tentangmu
hingga kau datang, hingga kau datang dengan mata
telanjang
lalu kupuja dengan namamu, syarifah
karena aku adalah rindumu
Yogyakarta
Senyum Membelah
Dua
:Diy
Diy, senyummu membelah tanganku memutar waktu.
engkaukah di sana bernyanyi kupu-kupu yang tiba-tiba hinggap di taman. kenapa
tak kau sentuh hati yang lepas melepas segala. senyummu seperti embun sejukkan
batin; batin yang ramai dengan wajahmu menggerogoti sukma.
Diy, mata jauh memandang ke dalam relung yang tak
kuketahui tentangmu. jarak dan waktu tak sempat kujumpai dengan senyum yang
kupuja. mungkin hanya lewat kata dan bahasa untuk bisa sampai ke jantungmu,
meski udara keluar masuk tubuhmu tak sempat kau tanyakan salam yang kuleburkan
ke buku-buku.
Diy, matamu kubelah dengan kata. bibirmu
kupotong-potong dengan bahasa. mata yang ranum. bibirmu yang basah. membuat
diriku jauh memandang. barangkali ini bukan puisi, Diy, tapi hati yang sepi
berteriak memanggil namamu. hanya engkau hatimu menitik beratkan pada aksara
mimpi yang terpendam. mari saling bercerita diri, tentang malam, hari, dan
senja.
Diy, benarkah kau di sana yang melempar selembar
senyum ke relung hati. di sini musim gugur menciumi pipi tanah. daun yang gugur
dari huruf –huruf asing di ranjangku yang dingin. sedang kau burung dalam kaca
menguncup ke labuk hatiku.
Yogyakarta
Diri
jantungku berputarputar mengelilingi darah di tubuhmu.
mata hitam tertutup awan tanpa gerimis, lalu kau diam di halaman rumah itu.
aku berjalan dan terus berjalan saat matahari di
kotamu mulai terbenam.
gununggunung di dadamu marah,
wajahmu memerah seperti hantuhantu yang ketakutan pada
sepenggal darah anjing
oh, diri lungkrah dan hati yang terasing
Madura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar