Gambar Via: tembi.net |
Bukit Maulana Magribi
Apa yang kupikirkan tentang laut
Ombak malam membentur dada
Pada jam satu dini hari
Kau sambut aku dengan senyum
Dan kedua malaikatmu
Di atas bukit hatiku
Kita saling bertatapan
Lewat dzikir malam yang berkelana
Di lautan kidul kita bersama
Khidir yang setia menuai percakapan
Dari langit cahaya menuruni lautan
Aku masuk dalam jiwa kata-kata
Menemui kedalaman lautan
Dingin yang mencekam mewarnai air mata
Melukis gelombang dan cahaya
Desember, 2013
Kandang
Manjangan
Tubuhmu tegak di atas sejarah
Engkau, memanjang di perempatan jalan
Di titik akhir jalan panjaitan
Menghadang para pendendam
Dari serbuan serdadu para pejuang
Sudah puluhan tahun aku berdiri
Menyaksikan banjir darah
Dan bom meledak di dada
Bila aku dibiarkan mati
Maka, sejarah tak memiliki arti
Aku tulis oleh puisi
Lantaran dia menyepi
Menyusuri lorong-lorong bidadari
Dimanakah sejarah sekarang?
Tempat aku memperjuangkan bangsa
Dimanakah airmata yang menyimpan sejarah rasa
Tubuhku telah gelap
Tubuhku telah mati
Tubuhku, museum kosong
Jogja, April 20014
Kasongan
Aku adalah patung-patung waktu
Yang berteriak tak ada orang mendengar
Walau perjalanan terus berlaju
Aku tak pernah kau baca
Diperbatasan jalan itu
Kau likukan mata dan hati
Untuk sesuatu yang
lain yaitu aku
Yang terus memburu , di buru “kematian demi kematian”
Tak ada orang yang berpikir tentang waktu
Tentang segala petaka yang berlalu
Lumat oleh kepingan –kepingan ego
Lantas siapa lagi yang ingin memburu waktu
Yang tak pernah mengenal siapa pun dari aku
Aku adalah patung-patung waktu
Melukis dari tanah liat dan menabung dari keringat
Aku sebenarnya patung-patung yang melampui waktu
Jika engkau membacanya dengan cinta
Jogja, 29 Juni 2014
Catatan
Si Tukang
Arsip:
puisi ini diketik ulang oleh Haryono Nur Kholis dari
kumpulan puisi Parangtritis – Antologi
Puisi 55 Penyair Membaca Bantul (Jogjakarta:
Buku Lutera, Agustus
2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar