Isyarat
gelembung hari tergantung pada ranting usia
berayun pelan-cepat diseret angin kemarau
dan guruh musim yang melulu pilu
adalah ujung dari segala isyarat
saat retak tanahmu tak dapat kupijak
setiap jejak dalam perjalanan panjang
meruap bau anyir tubuhmu
separuh wajahmu membayang
menagih sisirat pada sepatak liang ladang
menarik-narik temali hidupku
dan memaksaku memberi tanda
pada setiap tempat dan alamat
Jogjakarta, 2010
gelembung hari tergantung pada ranting usia
berayun pelan-cepat diseret angin kemarau
dan guruh musim yang melulu pilu
adalah ujung dari segala isyarat
saat retak tanahmu tak dapat kupijak
setiap jejak dalam perjalanan panjang
meruap bau anyir tubuhmu
separuh wajahmu membayang
menagih sisirat pada sepatak liang ladang
menarik-narik temali hidupku
dan memaksaku memberi tanda
pada setiap tempat dan alamat
Jogjakarta, 2010
Perempuan Seruling
:Otzu
di malam keseribu selepas musim semi
kotamu merah kelabu
buncahan usus menggumpal seperti awan berarak pekat
mata-mata nyalang memandang
masa kini-kemarin mengabur
dalam pekikan gempur
tiuplah
tiuplah serulingmu
agar pegunungan tubuh-tubuh rapuh berserak
tak selalu senyap
dan jiwaku yang senantiasa hampa dapat merasakan
getaran rindu kepada yang telah tiada
hingga runcing samuraiku
membelah pekat langit
yang melulu bergelegar
dan maut tak jadi ancaman
jogjakarta, 2010
Banyuwangi Perjalanan Kedua
:Taufik wr, Fatah Yasin
di jalan ini, luka duka lungkrah abadi
di tapal batas ini, bersemayam dalam malam pertapaan
akan melambungkan gugusan doa pengabdi
berjaga antara buncahan buih
luruh senja blambangan
tinggallah di sini, di atas tanahku maka akan kau temui
cerita-cerita pelaut saat menyeberangi gugusan pulau-pulau
dan sarapan sepotong ikan kering
sebelum asin laut tinggal seujung kuku
Gugusan
:are timur daya
sebelum pagi menepikan mimpi gugusan waktu berkelindan dalam igauan-dalam batas dan, gumpalan kekalutan yang terus menuntunku meniti rentangan pedang
dan bersiasat penuh awas agar seluruh gerak leluasa menembus batas kelam
Batu Ampar
I
diapit bukit makam-makam keramat
di atas reranggas tanah tandus
musim memaksamu menjejaki ujung ajal
kubiarkan lelehan keringat mengering
hingga saatnya tiba doa-doa, mantra-mantra
terucap meski dalam gumam
II
kutuklah aku jadi batu, dari celah kabut kau berteriak
meski suaramu tak senyaring tukang azan
tapi angin memapah jasadmu ke tempat keramat
hingga tak bersisa segala yang kau risaukan
dan nyanyian kotamu jadi langgam
bagi yang tak pernah setia menziaruhi
hidup yang tak berdegub
Ritus Kehilangan
hujan sepotong-sepotong
melubangi genting kamarku
seperti malam malam sebelumnya udara masih beku
angin pun seperti malas menyingkap tirai jendela
udara membeku antara ventilasi, pintu
hingga dini hari sepi bergelayut
kabut mengendap
di ranting hatiku yang limbung
Rumah Singgah
anas, nunu, iqbal dan harmono
kilatan mata pedang mencuat dari
jantung hari-harimu, dari sebuah rumah
yang kosong pecahan-pecahan kaca
yang berserak pada retakan lantai
menjelma peta:
jalur-jalur terus membenam
dalam kelokan jalan yang tak pernah kau tahu
arah dan tujuan
hiduplah kau di rumah tak berpenghuni
di mana segala asal mula jadi seserpih kisah pedih
pengembara yang berpeluh letih
meniti landai hari memasuki rumah sunyi-
kosong dan hampa!
Tepi Kali Bedog, 060210
Mahwi Air Tawar Lahir dan besar di Madura. Menulis puisi dan cerpen. Puisi dan cerpennya terkumpul dalam antologi bersama. Buku kumpulan cerpennya Mata Blater, 2010. Kini bermukim di Tepi Kali Bedog, Jogjakarta.
Sumber: http://subawehsastra.blogspot.com
(sule subaweh )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar