Umbu Landu Paranggi
Kekasihku, di
jalan ada perjumpaan dan sua kembali.
Tetapi kita
berjalan sendiri-sendiri.
Kubawa ragaku
menempuh kemegahan Suluk,
dan kamulah
tembang laras Suluk itu.
Kau mengira aku
pergi,
Umbu berlagu di tapal batas
Sumba, Sabana, berselempang rindu
Bunda terkasih sandaran kalbu
Di tujuh pintu sebelas kidung
Tujuh ketukan menderas petang
Tujuh kelokan cinta dan gandrung
Anak, cucu, dan pilu menggenang.
Murung hati sang Bapak meradang
Ditinggal berpacu anak tersayang
Ke laga rimba, laga usia nan rawan
Menyeberang gelombang laut selatan[2].
Suar sajak bening dan pedih
Nestapa sunyi terburai berserpih
Di tubir malam di tubir pagi
Umbu, Umbu Landu Paranggi
Senyap harap terdedah perih
Persada ditimang puisi gamang
Sabana dipeluk mesra berkobar
Umbu menderu
batin terbakar:
Tebarkan cahaya di menara waktu
Tembusi untung
malang nasibmu[3].
Olideli! Olideli![4]
Kudaku Janggi
Umbu Sumba Landu Paranggi
Umbu menderu Umbu berlari
Di baris hening nyanyi puisi.
Kami anak-anak rantau
Disekap nasib ketat dan parau
Peluh dan sunyi berteriak nyaring.
Kami pelbagai tanaman riuh
Sepanas secangkir minuman uwuh[6]
Semak ilalang dari imogiri
Menjadi segelas wayang sang resi.
Tuhan! Alangkah tak tertahankan
Ini tetek bengek kehidupan
Andai dari bentangan misteri
Kami tak Kau beri sebaris puisi!
Maka dengan puisi kami bertahan
Jalani ganas
hari laut selatan.
Beliung bahasa menggali diri
Dalam meditasi serupa paderi
Babad dan abjad sepekat abu
Di Jogja, di Jogja segala termaktub
Menjelma saudara senadi serabu
Meniti nyeri jeruji puisi
Mendekap harap Pati menanti
Tempe, bayem, nasi, dan ubi
Bersama doa hangat tersaji
Di meja makan
kesunyian abadi
Olideli! Olideli! Kudaku janggi
menghela sangsai Malioboro
Canting terbakar lilin puisi
Kami orang-orang terusir dan demam
Di sepertiga jalan, di sepertiga malam
di sepertiga
goresan kalam.
Kami orang-orang terusir
Di sepertiga malam, di sepertiga takdir
Di sepertiga
jalan, nasib mendesir
Dengan segala daya dan lapar
Kami buru nasib menggelepar
Gairah tersirap di gang-gang senyap
Di labirin harap kami kepakkan sayap
Terbang! Terbang! hasrat meninggi
Puisi tak
pernah enggan mencari.
Menjahit sobekan kelambu Pariyem[11]
Menggelinjang di ranjang Pakualaman
Diremuk syahwat
Sang Abdi Dalem.
Gending bertalu, gendingku rahayu
Linus menembang mainkan wayang
Karawitan sumbang Pariyem Umbu
Dicumbu puisi langit berbayang.
Duka dan rasa Iman Budi Santosa
Meluku sejarah tanah Jawa
Kuda Sumba meringkik di dada
Madahkan syair
rama dan sinta.
Penyair dan pengamen tembangkan bolero[12]
Tak putus-putus
mewiridkan Malioboro
Mata kami Malioboro
Hati kami Malioboro
Buku kami Malioboro
Puisi kami
Malioboro[13]
Maka, susurilah tubuh kami
Singkaplah tirai dan masuki kami
Meski diri kami centang perenang
dipenuhi jejak
riang para pendatang.
Di dinding-dinding kusam
Ada secarik pesan rahasia
Terus digumamkan diam-diam
Nyaring bergema
di puat dada:
Bagaimana belajar menjadi batu
Yang tak lapuk diterkam waktu. [14]
Di gang belakang Pasar Kembang
Gadis-gadis
mekar menanti kumbang:
Betapa, keperjakaan dan keperawanan
selusuh sehelai celana dalam
Malang dan untung saling berlawan
Prosa dan puisi terjang-menerjang
nilai-nilai bergulat di ranjang
Benar dan salah
setipis kutang.
Di depan museum benteng vredeburg[15]
Emha Ainun Nadjib melawan pageblug
Gelandangan pun berdendang gayeng
Dalam suluk
puisi Sang Kyai Kanjeng
Kepada engkau yang diam-diam
menyimpan kesengsaraan dalam
kebisuan
Kepada engkau yang menangis
malam-malam
Di resahnya batin karena kerap
dikalahkan
Kerap diusir dan disingkirkan,
kerap ditinggalkan dan sulit
menjumpa keadilan
Aku ingin bertamu ke lubuk hatimu,
saudara-saudaraku
Untuk mengajakmu istirah ke lubuk
paling sunyi
Untuk sejenak
mengendapkan hati dan bernyanyi.[16]
Sementara diam-diam,
dari stasiun kehidupan
Umbu berderap melintasi palang
Susuri jalur hening dan gamang
Susuri rel silsilah tanah kelahiran
Bersungkup
cerobong tanah perantauan.
Olideli! Olideli! Kudaku Janggi
Umbu Sumba Landu Paranggi
Umbu menderu Umbu berlari
Di baris hening
nyanyi puisi
Asap membubung ke angkasa Yogya
Di langit biru yang diharu-biru masalalu
Di kedai penjual nasi, puisi, dan cinta
Di atas tanah
keluhan gempa dan rindu.
Pertapa muda meraba stupa
Penyair nyinyir hembuskan dupa
Guru agung, Umbu nan dewa
Duh, penyair
langit kesumba.
Sampai kapan haru-biru masa lalu
Memburumu ke padang-padang kelu
Seribu kuda Sumba berderap memburu
Langit batinmu yang terdedah selalu
Kudaku janggi, kudaku janggi
Umbu Sumba
Landu Paranggi.
Di rimba raya hutan bahasa
Di dalam gua-gua sunyi puisi
Pertapa muda tundukkan kepala
Menggosok lumut
di dinding hati.
Olideli! Olideli! Kudaku Janggi
Umbu mendaki lembah Merapi
Olideli, Umbu bernyanyi
Lagukan puisi
gunung berapi.
Hembuskan nafas kuda Sabana
Bagi pertapa belia sengsara
Dengus dan makna bersalin rupa
Surai berkibar
Umbu kesumba.
Penyair sunyi terbakar api
Di riuh nadi jantung puisi
Didera kelu masalalu
Merayakan pedih langit biru
Taji puisi mimpi mimpi
Mimpi taji puisi puisi
Sembunyi, sembunyi dalam diri
Di sela
sempalan hati baiduri.
Dalam gusar hari-hari penyair
Samar kudengar Umbu berkabar
Ke laut selatan berhembus syair
Menyelinap ke
helai-helai lontar
Waktu liurkan busa cerita ngungun
Dalam puisi-puisi fana dan anggun
Tentangmu, Umbu, jejakmu, Umbu
Di kusam gang Pasar Kembang
Birahi dan puisi mencari arti
Riwayatmu gelisah menggelinjang
Gelandangan sejati mencari diri
Dalam kerja lumuran duka dan riang
Dalam sunyi dan rindu dan nyanyi
Hikmah rahasia
melipur damai puisi.[18]
Duh, Penyair!
Pulangku ke Yogya menjadi rerasan publik
Kantor-gaji-jabatan
kucampakkan. Anak-istri kutinggalkan
Kugelandangi
Yogya tanpa KTP dan uang, berpuasa 55 bulan
Dari kawan ke
kawan aku jualan khayal dan dustaku memelas
Sajak-sajakku mbludak,
oleh sengsara dan kehidupan bebas|19]
Di manakah Umbu Landu Paranggi?
Aku yang berjalan resah di jalur puisi
Tak bisa mengelak runcing sosokmu Olideli
Yang terus ditancapkan ke batin generasi kini
Alangkah gelap mata, alangkah buta
Di bawah
benderang kau punya cahaya!
Di manakah Umbu Landu Paranggi berdiam?
Adakah dia melintas batas lautan selatan
Menembus gelora samudera pasang
Menyebrangi
ganasnya alun gelombang
Lanjutkan pelayaran, menyusul teman
Si penyulam layar kapal puisi kelam?
Di sana Ragil Suwarna Pragolapati
Moksa ke dalam
baris-baris puisi.
Syair penyair
Penyair syair
Enggan berlari
Enggan berbagi.
Hidup memang fana, duhai Umbu
Tapi engkau menjelma waktu
Terus bersyair terus berlagu
Sampai bila,
aku tak tahu.
Tapi siapa menyimpan getir
Di lubuk rahasia kalbu penyair
Masih terdengar panggilan mair
Dari tanah
tandus tempatmu lahir.
Lonceng-lonceng yang bertalu,
Asahlah pedang puisimu
Di sini, di medan pertempuran usia insan
Di titik kata penghabisan sekali
Pertapa muda
sedia menanti.
2
Umbu, di titik nol dan kantor pos besar
Jejak dan surat-suratmu hangus terbakar
Puisi-puisimu tinggal rangka
Di desau angin
tenggara.
Di punggung kuda Sumba
Penyair getir berpacu jiwa
Memburu bayang-bayang bahasa
Sebatas pandang
sekedip mata.
Seakan waktu: hari-hari, tahun-tahun
Tak pernah bergulir, berdiam ngungun
dan penyair-penyair enggan
bertukar kabar getir rawan.
Di remang pelataran hotel Garuda[21]
Bahasamu
terburai ke angkasa.
Dua sajak adik yang pertama berhasil
untuk Persada:
Sajakmu untuk Sabana, sayang belum
apa-apa.
Adik terlalu tergesa, kurang
pengendapan,
dan minim sekali perbendaharaan
kata.
Tapi, jangan putus harapan.
Satu bulan lagi asal adik terus
berlatih
dengan keras pasti adik berhasil.
Sebab kemauan kamu besar, tapi masih
belum tergali.
Sabana dengan
Sabar menanti kehadiranmu.[22]
Tapi kini surat-surat nasihatmu tersirat
Di Minggu penantian penyair nan pucat
Di punggung Persada dan padang Sabana
Kami menanti
kematian di dada.
Kuamini kepergianmu, Umbu
Tinggalkan muram tanah Mataram
Suram mata penyair tambal-sulam
Melulu
berharu-biru dengan hati beku
Emha Ainun Nadjib meniti jalan sunyi,
Iman Budi Santosa menziarahi tanah Jawa,
Linus Suryadi AG, Ragil Suwarna Pragolapati
Dan WS. Rendra bermuka-muka di alam baka
Diskusikan puisi-puisi Indonesia terkini didera
nestapa:
Rendra melihat
ucapan dan keprihatinannya
Membentur jidat penyair-penyair
salon,
Yang bersajak tentang anggur dan
rembulan
Sementara ketidakadilan terjadi di
sampingnya,
Dan delapan juta kanak-kanak tanpa
pendidikan
Termangu-mangu
di kaki dewi kesenian,[23]
Olideli! Olideli! Kudaku Janggi
Umbu berpacu di padang seni
Desah bisik nyanyian sepi
Menyanyikan
gunung lembah puisi.
Di alam baka sana,
WS. Rendra, Ragil dan Linus menerka-nerka
sebab-sebab kepergianmu dari Jogja
lantaran putus asa, tak sanggup lahirkan puisi
yang membuat
berdetak denyut nadi.
Bukankah puisi-puisimu lahir tercecer,
dan tak dikehendaki di tanah lahir?
Oh, Lihatlah, di labirin Persada
Berputaran Teguh Ranusastra Asmara
Lalu Ipan Sugiyanto Sugito merana
Bernostalgia di
labirin kitab Sabana.
Maka, kuamini kepergianmu, Umbu
Sebab di gelanggang, Mingguan Pelopor Yogya
Sabana, dan Persada, lama luluh terserpih jauh
Menghilang di
ketiak waktu, tak tersentuh.
Maka, kuamini kepergianmu, Umbu
Jauh ke selat Bali, ke pusat bisu
Memetik kidung kebeningan embun
Menyusuri jejak
aksara ngungun
Menjaga kemurnian rasa dahaga
Dan lapar gamelan sukma kelana
Jika kematian kebahagiaan kayangan
Maka sia-sia derita mengempang raga
Masih misteri
sisa warna matahari[24]
Olideli! Olideli! Kudaku Janggi
Umbu berpacu menunggang puisi
Di padang gersang Sabana menanti
Umbu, Umbu
Landu Paranggi
3
Antara ringkik kuda dan gumam puisi
Engkau timang angin harapan
Antara kerontang Sumba dan Selat Bali
Engkau timang
nasib dan keberuntungan
Kemarau Sumba yang kau rindu
Nafas tandus bunda tetap menanti
Nyanyian lelaki, berkuda di tepi hari
Di tebing gersang dan risau puisi
Melapangkan gerbang bagi petualang
Yang lupa
mencari jalan pulang.
Olideli! Olideli! Kudaku bertolak
Kitari anak usiran sang Bapak
Di jantung rantau sajak berdetak
Dikoyak risau
hati tak mengelak.
Di kaki bukit bahasa Sabana
Di sunyi puisi kalbumu berkelana
Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi,
Membawa langkah
kemana saja[25]
Di padang manakah engkau berpacu
Memburu hari-hari tak pasti
Menunggang kemarau berdebu
Masihkah kau
daki terjal puisi.
Katamu, hidup tak pernah aman
Kapan pun di mana, cerah pun kelam
Duka dan bahaya
selalu mengancam.
Belas derita, kasih, rindu, dan cinta
Olideli Olideli, tangismu membahana
Hangat mentari padang kasih Bunda
Jinak matamu meramu kelam tahta
Leluhur dan
puisi berebut mahkota.
Tunas luka derita biarlah,
Tegak lurus tanah semadi
Di urat nadi puisi merekah
Dalam racikan puisi abadi.
Anakmu sayang, mengeja cita cinta
Agar ratap tak terhambur sia-sia
Kusesap udara puisi-puisi sabana,
Di sini, di lubuk sajak pengembara
Kurangkum Umbu
dan langit
dukana.
Kepulauan Gili Yang-Cimanggis-Laut
Selatan, April-Juni, 2014
[2] Laut Selatan mengacu
ke laut Parangtritis, yang merupakan empat titik imajiner Yogyakarta: dari
gunung Merapi, Tugu, Kandang Manjangan, dan Laut Selatan.
[3] Dikutip dari sajak Solitude.
Sumber: Linus Suryadi AG, Tonggak, hal 239.
[4] Umbu lahir bersamaan
dengan kuda milik keluarganya yang pada saat itu juga melahirkan, kuda itu
kemudian diberi nama Olideli. Lihat Korrie Layun Rampan: Majalah Sastra Horison,
September, 2006.
[5] Angkringan ialah
sejenis warung dengan memakai gerobak beratap terpal yang biasa dijumpai di
pingggirpinggir
jalan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Makanan yang
tersedia macam-macam: nasi bungkus dengan harga sangat murah, gorengan, dan
cemilan-cemilan kecil. Adapun kaitan dengan konteks puisi di atas, tahun
(1966-1977), angkringan menjadi tempat paling “puitik” bagi teman-teman penyair
yang tergabung dalam Persada Studi Klub. Angkringan menjadi pilihan paling
diminati oleh Umbu dan kawankawan penyair, bukan karena harganya yang
murah-meriah, namun angkringan juga menjadi jembatan, ruang untuk merekatkan
keguyuban antara penyair tahun 1970-an.
[6] Wedang uwuh adalah
jenis minuman tradisional. Di Yogyakarta, wedang uwuh biasa diproduksi
di daerah Imogiri. Wedang uwuh menjadi salah satu jenis minuman yang
unik, jika dilihat dari namanya. Wedang dalam bahasa Jawa artinya
minuman, sementara uwuh sendiri artinya sampah. Namun jangan salah, Wedang
uwuh ini bukan sembarang minuman sampah, tetapi sampah yang dimaksud di
sini adalah dedaunan organik, yang tentunya mengandung banyak khasiat.
[7] Persada Studi Klub
(PSK) adalah komunitas sastra nirlaba yang berdiri tahun 1970-an dan bermarkas
di kantor Mingguan Pelopor Yogya. PSK dimotori oleh Umbu Landu Paranggi
dkk. Pada masanya, PSK mempunyai andil besar dalam pertumbuhan sastra Indonesia
baik untuk skala Yogyakarta maupun nasional. Lihat Mahwi Air Tawar dkk. (ed.).
2010. Orang-Orang Malioboro, Pusat Bahasa, Jakarta.
[8] Penyair Ragil
Suwarna Pragolapati, lahir di Pati, lahir 22 Januari 1948. Sejak raib pada hari
Senin 15 Oktober 1990 di Pantai Selatan Yogyakarta, dia terus hidup dalam
kenangan para sahabat sesama penyair. Ia menjadi mirip sebuah legenda,
melengkapi legenda PSK yang didirikan bersama Umbu Landu Paranggi pada 5 Maret
1969. Ketika Umbu meninggalkan Yogya dan bermukim di Bali, Ragil Suwarna
Pragolapati tetap bersastra di Yogya. Penyair yang dikenal sebagai dokumentator
sastra ini menemukan hubungan yang penting antara sastra, yoga, dan agama. Ia
pun mendalami yoga. Pengalaman beryoga dan pengalaman memandang Indonesia dari
perspektif yoga ia tuangkan dalam puisi-puisi dari tahun 1980 hingga 1989. Ia
kemudian mendefinisikan puisi-puisinya itu sebagai puisi yogawi. Konsep
puitika tentang ini, ia tulis untuk memperkukuh pilihannya.
[9] Nama sebuah daerah/
desa di Yogyakarta. Di jalan Kadipiro ini juga penyair Emha Ainun Nadjib, murid
kesayangan Umbu Landu Paranggi tinggal.
[10] Linus Suryadi
AG. Penyair kelahiran Yogyakarta, 3 Maret 1951. Karya-karya Linus di antaranya,
Citra Kamandanu; Langit Kelabu; dan Pengakuan Pariyem. Ia bersama
Umbu Landu Paranggi, Iman Budi Santosa, Ragil Suwarno Pragolapati, Ipan
Sugiyono Sugito, dan Teguh Ranusastra Asmara, mendirikan komunitas sastra
Persada Studi Klub.
[11] Pariyem adalah tokoh
dalam puisi liris Linus Suryadi AG, Pengakuan Pariyem.
[12] Bolero adalah jenis
musik berasal dari Spanyol dan Kuba. Meski namanya sama, namun relatif berbeda.
Bolero di sini mengacu pada musik Kuba, musik bertempo tenang dan lazimnya
berisi lantunan cinta.
[13] Malioboro, adalah
nama wilayah di Yogya. Ia jadi tempat wisata baik kuliner maupun perbelajaan
batik di Yogyakarta. Di Maliobro inilah pada tahun 1970-an, Umbu Landu Paranggi
bersama teman-teman penyair yang tergabung dalam komunitas Persada Studi Klub
bertemu setiap malam: saling mengasah dan berdiskusi sastra. Hal ini
digambarkan oleh penyair Iman Budi Santosa dengan sangat bagus: Menyusuri
Malioboro, pagar tembok jadi bangku// taman dan pokok asam merangkum sunyi//
lebih indah dan santun dari hening rumah sendiri. // Kadang ada debat, mengadu
kutipan-kutipan dari buku tua// menguji jejak pujangga, menukar pena dengan
tajamnya lidah// yang tak terukur oleh rumus matematika. Sumber: Orang-Orang
Malioboro 1962, Intan Cendikia, Yogyakarta, cet 1, Maret 2013.
[14] Pasar Kembang: nama
sebuah kampung, terletak di belakang Malioboro. Pasar Kembang lebih dikenal
sebagai tempat prostitusi.
[15] Museum Benteng
Vredeburg adalah sebuah banteng yang terletak di depan Gedung Agung dan Istana
Kesultanan Yogyakarta.
[16] Sumber: Emha Ainun Nadjib: Lirik
Lagu, Tombo Ati.
[17] Tahun 1975,
Penyair Umbu Landu Paranggi pergi dari Jogjakarta tanpa banyak yang tahu apa
yang hendak dituju. Baru tahun 1980-an diketahui ternyata Umbu tinggal di Bali
dan membina anak-anak muda. Sumber: wawancara dengan Iman Budi Santosa, 23 Mei
2014. jam, 22.00- 02.30.
[18] Dikutip dan
dielaborasi dari bait puisi “Melodia”, karya Umbu Landu Paranggi
[19] Ragil Suwarno
Pragolapati, sajak “Salam Penyair” dalam Seniman Gelandangan. Yogyakarta:
Bentang Budaya, 2002: 15.
[20] Dikutip dari sajak
Umbu Landu Paranggi: Di Sebuah Gereja Gunung. Sumber: Korri Layun Rampan
(editor), Suara Pancara Sastra, Jakarta: Yayasan Arus, 1984
[21] Hotel Garuda
terletak di jalan Maliobro, konon dulu di pelataran hotel Garuda menjadi tempat
anak-anak PSK berdiskusi. Sumber: wawancara dengan Iman Budi Santosa, 23 Mei
2014.
[22] Surat Umbu
Landu Paranggi kepada seorang penyair yang mengirim puisi kepada Persada ketika
Umbu menjadi redaktur Mingguan Pelopor Yogya.
[23] Dikutip dari
sajak WS. Rendra, 2013.“Sajak Sebatang Lisong” dalam Potret
Pembangunan dalam Puisi, Jakarta: Pustaka Jaya.
[24] Dikutip dari
sajak Umbu Landu Paranggi, “Ni Reneng” dalam Sutardji Calzoum Bachri (editor).
2001. Gelak Esai & Ombak Sajak Anna 2001, Jakarta: Kompas.
[25] Dikutip dari
sajak Melodia, Umbu Landu Paranggi. Andhi Asmara (editor), 1988. Antologi
Penyair Yogya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar