Patung Ikan Paus Dan Taman Kota
Dari Kain Perca
:kutukan jaring batu.
aku. seperti di tengah laut. timbul
tenggelam bersama ikan paus biru tua. mengintip langit pecah. susunan
mantramantra di bibir peramal; tangannya gemerincing gelang. kakinya
tonggaktonggak kayu mahoni di beranda. di tengahtengah putaran tasbihnya paus lahir
dan besar. siripnya sebesar pohon siwalan, ekornya dua gunting raksasa. besar
dan tajam.
pada sebuah gelombang. kepala ikan
paus menyembul, seperti mengintip sorga.aku, ikut mendongak, meminta gelombang
datang. berharap kota baru dari kematian. kota dengan patungpatung paus bergigi
parang. kesandung sumpah kutukan jaring batu. dan untuk itu, kita tak menyebut
kejahatan ditengah pusaran arusnya.
(“ya, atau tidak. Selebihnya
kejahatan!”,dari jauh matius mengangkat tongkat di atas kepalanya, seperti
antenna)
paus kembali menyembul, sorga
terlempar dari kepalanya; tumpukan taman dari kain perca di wajah lena. aku
terus tenggelam. semakin dalam hingga sungaisungai di jantungmu. menemukan
paus, ekornya di kibaskibas, merobohkan kota, menciptakan taman dan kanalkanal
dari tumpukan sampah. sepertijakarta.
Sumenep 2010
Batubatu
Prabanca
ia batubatu. seperti manusia
menulis takdirnya. berdiam dalam kerasnya karang. menghunjam kedasar karam. di
liputnya lumutlumut tua, sejarah pada lipatan kulit tanah. karangkarang wajah
yang mengerut kelam derita. dan kita memungutnya sebagai namanama kata. batuku
adalah dendam waktu di bunuh nafsu, dan kelahiran gemuruh demonstran menyebut
ketakutannya. batu berjatuhan dari lengannya, burungburung nasib yang mencari
tanah petaka di lekang dunia.
mungkin. dalam tidur panjang ,
tubuh kita telah menjelma fosil. kerakkerak waktu memakan dirinya. yang ada
akan menua dan binasa. –sebagai tanah, sebagai batu, sebagai darah, dan luka- :
serupa sungaisungai mengalir panjang dari tubuhnya, menghidupkan rerumput,
daundaun, kulit pohon, bebukit dan gunung. gelombang sabda terlempar dari
mallmall golgota. keinginankeinginan yang mengeras sebagai badai pradaban.
aku
batu bulan,
aku
pualam pancasona.
batu merah delima di jari aisyah.
“I consume be fore I am”
batubatu dalam kaca dirinya terlempar ke rumahrumah.
aku batubatu yang mencari lumut .
hanya lumut, sebagai sejarah.
batu. batubatu memenuhi dadaku,
seperti prabanca menjadi batu dalam kanfasnya. hidup terus berlaku, entah
sebagai apa, layaknya batu sebagai batu.
sumenep 2010
Lelaki
Sampan
:wijaya
inn!
di ceritakan, seorang lelaki dengan
cadik yang panjang di punggungnya; lengannya ruas gelombang dengan cakarcakar
takdir yang kejam, kakinya sepasang palka menghunjam karam. ia menulis nasibnya
dengan kehendak angin dan ruasruas karang. ikanikan mengenalnya sebagai jaring
kematian.
jan-onjan langkocepa’ lang kocebung
nyello’ aeng gan sabagung
kapandhiya jagana tedhung,
jabbur! pada
setiap goyangan kita lahir dan besar.
lelaki berayun di atas gelombang.
di antara air dan tanah. nafsu yang siap menghantam sekeras badai. lelaki, oh
lelaki. kau arungi tubuhmu dengan janji. menemukan pulau dan terumbu. mencium
amis ikan di sekujur tubuh. tapi, laut telah susut. gelombang tumbang di ujung
kalut. orangorang menyelam dalam laut. bermimpi sebagai ikan paus. lelaki
menggambar pasir pantai; merah putih, hijau, biru dan kuning kemerahan setiap
senja datang. camar pulang, matahari mulai tenggelam. lelaki bergoyanggoyang di
atas ranjang.
laut menulis lelaki dengan sampan
batu di bukitbukit tubuhmu. menancapkan nasib ke puncakpuncak gedung, -di
genggamnya batubatu takdir dengan kakikaki paku tertanam pada kayu geladak-
sampai laut menyeretnya menuju senja yang keriput.
aku lelaki dengan sampan yang terus
muda, memasuki jalanan dengan kemarahan dan derita. mengutuki batu, laut dan
gelombang pecah. kemudian sampansampan berlayar dalam hatinya dengan luka yang
terus menganga.
lelaki masih bergoyanggoyang. hari
berlalu seperti biasanya. lelaki mengikat sarungnya, tangannya angkasa. langit
lesut. lelaki menjadi sampan yang terbakar, dan di tengah kobaran apinya. laut
menulisnya sebagai peristiwa.
sumenep 2010
catata: bait yang dicetak miring diambil dari lagu
daerah sejenis folklore, yang biasa
dinyanyikan oleh orang-orang tua ketika menggendong anaknya dengan
mengayun-ayunkannya agar cepat terlelap.
MAKAR SEEKOR IKAN GABUS
"ikan
dimana kau?"
"di hatimu!"
perlahanlahan tubuhmu berlendir dan amis, seperti ikan.
seperti tiap pagi datang dan matamu meremang. bermunculan ikaniakan dari hatimu. serupa gamang -remangremang cahaya teplok di atas perahu, menjauh di ujung selat- laut biru menunggu lesu. diteluk orangorang memanjat hajat. mengirim do'ado'a ke punggung bukit. di lebak, berloncatan ikanikan dari bibirnya; memanggil kilat dan petir agar datang membawa murka. kemudian diangkat tangannya: menunjuk ke langit. langitlangit rumah coklat tua di balebale kapalnya. ke barat- timur ke selatan-utara pukat di sebar menutupi mimpimimpi menangkapi kutukan di teluk, bubububu berlumut di rendam rindu: "bismillah, kan-ikan, ikan gabus, janji di bawa sampai mati. jika engkau datang, tinggallkan angin sakal di negeri eberang. di sini, siwalan akan aku bawa berlari".
di tengah air ini. arus begitu kuatmenarikku. seakan masa lalu yang kelabu. bau amis memasuki hidung, persis sekelompok orangorang gelap; dengan senapan dan bayonit merayapi ketakutan warga. di tengah ketakutanku, seketika rumahrumah sepi, sekolah dan madrasah, dangau, musallah dan biara sunyi. meninggalkan gaung do'ado'a dalam diri. do'ado'a, sebelum air keramat di basuhkan ke kapal, jika para nelayan pergi nyampan.
ditengah air ini. di tengah arus yang membawa ketakutanku. kemudian aku hanyalah lukaluka waktu. bergetar par-exellence memadati hatimu. seperti ikan gabus di kepala ibu-bapakmu.
"di hatimu!"
perlahanlahan tubuhmu berlendir dan amis, seperti ikan.
seperti tiap pagi datang dan matamu meremang. bermunculan ikaniakan dari hatimu. serupa gamang -remangremang cahaya teplok di atas perahu, menjauh di ujung selat- laut biru menunggu lesu. diteluk orangorang memanjat hajat. mengirim do'ado'a ke punggung bukit. di lebak, berloncatan ikanikan dari bibirnya; memanggil kilat dan petir agar datang membawa murka. kemudian diangkat tangannya: menunjuk ke langit. langitlangit rumah coklat tua di balebale kapalnya. ke barat- timur ke selatan-utara pukat di sebar menutupi mimpimimpi menangkapi kutukan di teluk, bubububu berlumut di rendam rindu: "bismillah, kan-ikan, ikan gabus, janji di bawa sampai mati. jika engkau datang, tinggallkan angin sakal di negeri eberang. di sini, siwalan akan aku bawa berlari".
di tengah air ini. arus begitu kuatmenarikku. seakan masa lalu yang kelabu. bau amis memasuki hidung, persis sekelompok orangorang gelap; dengan senapan dan bayonit merayapi ketakutan warga. di tengah ketakutanku, seketika rumahrumah sepi, sekolah dan madrasah, dangau, musallah dan biara sunyi. meninggalkan gaung do'ado'a dalam diri. do'ado'a, sebelum air keramat di basuhkan ke kapal, jika para nelayan pergi nyampan.
ditengah air ini. di tengah arus yang membawa ketakutanku. kemudian aku hanyalah lukaluka waktu. bergetar par-exellence memadati hatimu. seperti ikan gabus di kepala ibu-bapakmu.
Sumenep 2010
Catatan si Tukang
Arsip: Puisi-puisi ini ditulis ulang dari Antologi Puisi Prosenium (Divisi Sastra Teater ESKA
& Kendi Aksara: 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar