Lima Sungai
:Lebak
Air bergerak kea rah yang tidak
dimengerti. Sore terbuka
jembatan patah
oleh sisa hari. Hari bernama jumat.
Jumat yang kumat oleh
hawa racun dari
setumpuk sampah serapah. Janji tanah
dibangkitkan, ke
lumut tua batu bata
hingga malam gerhana.
:Bancaran
Sunyi sungai itu mengalir ke mimpi
mati. Sudut menyudut
hanyut ke barat laut.
Siang mau tiba, dari utara. Dan utara
yang berjengkal dan
hangat itu, tak terhitung
berepa kali melambatkan diri
Dari timur udara mengiri pagi, pelan
dan sejumlah saksi
Nelayan pun
mengiring diri. Tapi tak mengayuh rayu
dengan bahasa
kesabaran seperti yang
dipunya tali jala pemakan.
Jalang titik hari panas memadat. Angin
menyamar
ke pinggir serambi
Dan kurus waktu jadi beku, disihir
burung dari hulu-hulu perahu
:Ringrud
Laki-laki berkeringat itu memutuskan
menaiki perahu.
Pulang, katanya
Air berpusar di bawahnya, kampong di
tangannya bunting.
Mengisar kelakar detak jantung. Dari
ladang jagung ke gunung.
Serpilah waktu ditukar ke palung.
Demdam diam maka ia pun diam seperti
Patung legam habis membunuh.
:Ketengan
Di jalan yang tinggi itu sekelompok
anak berlari. Berlari saja tanpa suara.
Mencari ujung sungai secepat tupai
Saat sore adzan maghrib menguning,
bayangan rumput dan isak bayi
Bertemu di ranting kering.
Satu isyarat tumbuh di perkeburan.
Melesatkan sesuatu ke air buntu
Sahut-menyahut . tinggi meninggi, arus
pun berdiri seperti bisik-bisik
Pohon berduri.
:Junok
Pagi kembali, pagi menelungkup.
Seoarang istri menangis ketika tahu
ditubuh anak yang dicintainya tumbuh
bintik
dan sisik. Ia ingat-ingat sejarah dengan mencongkel tanah.
Ia teriyaki suaminya ketika air beriak,
Ia cari-cari suara di antara benturan
Benda-benda yang menerpa ditubuhnya.
Tapi taka da yang membawa tiba.
Dan cuaca tetap gembira.
Bangkalan, Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar