Salah satu puisi dari Enam Puisi
yang didiskusikan dalam Diskusi Sastra Bulanan Pusat Kebudayaan Koesnadi
Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Selasa Malam, 23 Desember 2014.
Lelaki yang
Pergi Malam Hari
Ke barat ia pergi, arah yang
ditunjuk perantau abadi
di
pantai rumah telah terbakar, pulau dikepung api
laut
pasang memberi isyarat untuk segera menyeberang
angin
seperti lirih bisikan nenek moyang, memberi petuah
nasihat-nasihat
yang hidup ribuan abad, serupa gelombang:
“Rumah
sejati ada dalam diri, bukan sekadar tanah
dan
tempat singgah. Maka pergilah!”
Pergilah
ia di malam hari, agar jejaknya di pasir lekas-
terhapus
air. Tanpa dayung dan mesin pemutar baling-baling
perahu
berangkat ke negeri jauh. Tak ada isyarat dan pesan
kepergian—juga
prosesi pemberkatan. Pandang tiada berpaling
tertinggallah
segala yang dikenalinya sebagai masa lalu
usia
remaja yang kelewat naif dan lugu, menjadi luka waktu
Badai membangun siasat
seperti mata pancing dan tombak
tajam
dan runcing. Hanya hening, hati sebening telaga
menuntunnya
menerka lekuk laut dan gelap semesta
lalu
hamparan kabut membuka diri serupa gerbang
menyambut
kedatangan pelayar baru, gemetar dan ragu
tapi
perahu telah jauh berangkat, tak ada alasan kembali
sebab
di pantai rumah telah terbakar: pulau direnggut api.
2013
Lima
puisi yang lainnya adalah “Sungai
Berkelok, 2013” – “Selat Madura, 2011”
– “Aku Telah Jadi Ikan di Sungai Kecil
Ini, 2012” – “Mula dan Berakhirnya
Sebuah Kota, 2012” – dan “Sonet
Pengembara, 2014”. Bagi yang ingin membaca puisi-puisi ini, bisa
menghubungi si penyair.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar