Satu Ranting Patah
Satu ranting patah
Lalu angin terasa kering
Air mata tersapu awan
Sendu
Satu ranting patah
Gerimis menjelam gigil
Sunyi
Sendandung jatuh
Di taman basahm merah
Satu ranting patah
hari-hari terasa kerontang
Madura, Desember 2000
Koran Hari Ini
Sebaris puisi luruh
Gugur sebelum terbaca
Seperti daun kering, ranting kering, puing-
puing
Lebur di debu
Perih di kalbu
Malang, Agustus 2001
Bagi Seraut Wajah
Aku memahat wajahmu telah lama di sini
Kuwarnai dengan kesabaran waktu
Kau tak kunjung menjelma
Di laut aku temukan pecahan karang
Seruncing kisah hidup sepanjang usia
Di gunung aku jumpai serakan ranting
Serapuh kisah hidup sepanjng usia
Aku belum menemukan yang kucari
Aku memahat wajahmu tleah lama di sini
Lama sekali
Sejak aku belum mengerti warna
Tetapi waktu terus belum menentunku
memilih warna
Meski kau tak kunjung menjelma
Aku akan tetap memahat wajahmu di sini
Entah beberapa lama lagi
Keabadian mimpiku
Madura 17 juli 2001
Juwairiyah Mawardy, tempat tanggal lahir
Sumenep 25 Juni 1977 Pendidikan Akhir Fakultas
Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang. Pengalaman Puisinya dipublikasikan
pada majalah Mimbar Pembangunan Agama (majalah milik Departemen Agama Jawa
Timur), media lokal kampus, aktif di forum lingkar pena cabang Malang, aktif di
sanggar nuansa dan dalam antologi bersama Nuansa
Diam.
Catatan
Si Tukang
Arsip : puisi ini diketik ulang oleh Haryono Nur Kholis dari kumpulan puisi Surat Putih 2 –25 Perempuan Penyair (Jakarta: Risalah Badai, Mei
2002).
Antologi puisi ini kami temukan dari seorang rekam kami yang aktif di Teater Eska dan
meminjamnya dari Perpustakaan Teater Eska UIN Suka Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar