Ibu
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sarisari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang meyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sarisari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang meyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu
Di Sebuah Tikungan
Di sebuah tikungan aku bertemu seseorang, sambil
menyebutkan namanya yang tak mungkin kuhapal
ia mengulurkan tangan
Tapi tangan kananku sedang kutinggalkan di rumah
menepuk-nepuk paha anakku yang hendak tidur,
terpaksa kuulurkan tangan kiriku
Orang itu marah, seketika tangannya berubah menjadi
cakar harimau, dengan kuku-kukunya yang tajam
bersiap untuk menerkam
Aku lari. Begitu ia mengejarku dan mengejarku, untunglah
segera kutemukan tempat aman dalam kidung
yang disenandungkan ibuku setiap larut malam
1978
Pesona Itu Melompat
pesona itu melompat
dari pematang ke pematang
(seperti kupu-kupu yang ditangkap
anak di taman
menabur serbuk-serbuk sanubari)
laut melambai
ketenteraman
-siapakah engkau ?-
tanya roh kepada badan
badan pun lalu menari
sedang roh memukul gendang
sekaligus melagukan nyanyian
pesona itu melompat
dan terus melompat
melumat-lumat kenyataan
1978
Dikenal sejak Temu Penyair
10 Kota di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1982), Tahun itu terbit kumpulan
sajaknya “Bulan Tertusuk Lalang” (Balai Pustaka). 1987, “Nenek Moyangku
Airmata” dapat hadiah Yayasan Buku Utama. “Celurit Emas” dan “Nenek Moyangku
Airmata” (1990) terpilih buku terbaik Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Penyair tinggal di Batang-Batang, sebuah desa ujung timur pulau Madura. Zawawi
banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS.
Surakarta, UNHAS Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara
pertama nulis puisi di AN-teve (1955). Pembicara Seminar Majlis Bahasa Brunai
Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majlis Asia Tenggara (MASTERA) Brunai
Darussalam (Maret 2002). Kumpulan-kumpulan sajak “Derap-derap Tasbih”,
“Berlayar di pamor Badik”, “Lautmu Tak Habis Gelbis Gelombang”, “Bantalku Ombak
Selimutku Angin”, “Madura Akulah Darahmu”.
Catatan dari si Tukang
Arsip: puisi-puisi penyair D.Zawawi Imron ini, diposkan pertama kali oleh
Arsyad Indradi di penyairnusantaramadura.blogspot.com pada Senin, 07 Maret 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar