di
sebuah terowongan panjang riwayat dimulai.orangorang berjatuhan dari sebuah
metabolisme tubuh di antara bising mesin dan gelegak ombak menghubungkan antara
lapar dan kenyataan,
kenyang
dan bebusukan. Jembatan yang mengular antara harapan dan kekalahan tempat
meniti ketidakpastian tanah. Di bawah jongkokan, tubuh itu nyemplung
meninggalkan bunyi dan dengung tanah jauh
lapak-lapak
biru menggelar haru di sepanjang jalan ke gerbang Madu. aku lukis laki-laki
memakai udeng memainkan layang-layang tanpa kekang di belang langit harapan.
sejenak mereka berpose di depan pintu. batik nasib yang merah pucat dipanggang
matahari naas. ornamen daun dan bunga, sulurnya membelit pikiran, menjalari
lapak-lapak kusam, dengan warna hitam bayang-bayang.
papan-papan
reklame mengangkang di atas jalan menjatuhkan kotoran ke atas para pejalan.
papan yang saling menusuk mata di antara geliat lapak yang kian sekarat.
Tulisan selamat datang bersebalik dengan selamat jalan di antara papan-papan
muram dengan tulisan besar-kasar tak beraturan menawarkan tempat buang air
besar. Metabolisme kota yang resah, semerbak bau merebak antara bumbu dan basi
ketumbu di pangkal paha, sebelum kelamin laut menyambut dengan gerai rambutnya
yang takpernah surut, dan ikan Sura berlompatan memamerkan sirip bergambar
gedung-gedung, dan perempuan timbul-tenggelam menyalakan lampu petang
yang
memilukan.
2012
Sungai
itu menjadi ular, terbang ke bukit babaran.menguburkan kisah para dewa dan
tentara yang usai melakukan pembunuhan massal di punggung kota. Semboyan 35,
aku dengar peluit kata yang telah lama mati mengusung tumpukan gerabah kenangan
di stasiun kotamu. Sebuah langgar tua tergolek dalam televisi memperdengarkan
lagu kasidahan mengurai cinta murahan.
Kota
itu bangkit menjadi seekor sapi hitam berlari sepanjang jalan sunyi, membajaki
jalan raya dan tanah-tanah kosong dalam hatimu. Luka-luka di pantat membentuk
sebuah pulau yang cukup aku kenal, tanah kelahiran.Tanah yang sama.
Aku
kembali bertani menggali batu jadi berkah, menjadi pedagang, tawar-menawar,
mematok harga diri. Lalu, menanam benih kata-kata di gembur kepala, tumbuh uban
merah dan bunga tembelek di tepian jurang. Lubang yang menganga di dada malam.
2012
Inilah
perjalanan waktu, tanah-tanah pertanian
jalanan
melebar ke tepian mataku.
Tubuh
buruk dengan sisik beretakan
bertabur
sekujur badan. Penyakitan?
Bukan
sayang, inilah ketam waktu merajah
baik
dan buruk di antara musim hiruk.
Daging
yang kasar, telah aku sematkan rasa lapar
dan
nista di antara angin barat menisikkan jejarumnya
di
antara batas sakit dan harga diri. Serat-serat yang siap
mengakhiri
kisah di atas tungku bahagia yang tersalib.
Maka,
aku ceritakan kembali tentang biji hitam
yang
terselip dalam sela kunyahan
yang
luput dari tafsir kematian.
Biji
yang menunaikan janji hidup
kepada
seluruh makhluk.
Serabut
akar memeluk butiran-butiran kerikil naas
hingga
kuat manahan badai dan hujan malam yang deras.
Akar
kurus menyusu sela-sela butiran tanah
mencari
air dan seresah.
Akar
menggeliat terpental batu ganjal yang nakal.
Aku
kirim mata air dan bebutir makanan ke dedaun
yang
merimbun di atasan.
Bunga-buga
bermekaran
menebarkan
dingin angin malam
mempererat
sedekapmu pada kekasih.
Bunga-bunga
merah di antara hehijau tunas
yang
terus tumbuh di musim unduh. Lalu,
mereka
berayun menirukan suara angin
berlayangan
ke atas batu meremukkan badan.
Di
dalam sakit bijiku kembali bangkit
menyusuri
sela bebatu gunung, mengeja hidup
tumbuh
dari belahan kepingan kecut waktu
dan
manis harapan di pasir takdir.
DONGENG
ANAK
Susunan
geligimu membuka masuk ke dalam jantungmu.
Rumah
mungil yang benderang dengan sepuluh pintu
terbuka
ke angkasa. Dari kelopak matamu warna-warni
melengkung
di depan gerbang. Cinta mulai tumbuh,
aku
tuliskan riwayat rumput mencengkeram tanah latar
bertahan dari lapar dan cakar; mawar selalu
mekar
ketika
senja membuka pintu malam.
Serambi terbuka, tetamu datang dan pergi.
Aku tuliskan alamat singgahmu. Tempat kau
membuka-buka kitab hayat, tanah-air, udara,
dan api. Tarian kayu dan besi di masa kecil
yang melengkung ke bintang berpendaran.
Serangga
bergigi besar itu menggambar di atas
daun,
sungai, bukit, dan lembah membentangkan
arah
ke setapak yang bercabang arah hutan.
Bila
malam, serangga dan kelelawar beterbangan
dihantar
kunang-kunang kuning dan kecoklatan
melukis
gelap dengan cahaya paling cerah
Dari bintik matamu yang tak pernah menyerah,
memecah sunyi dan membagi sepi dalam
potongan-potongan kecil buah yang
aku amini.
Ekor
bulan yang tajam menusuk lambung sunyi,
rerambut
tengkuk pagi memanggil matahari,
matahatimu
paling kiri.
2013
UPACARA
Batu-batu
bernama dan bunga-bunga
menyiram
warna, matamu. Dua bongkahan menyala
membasuh ruang dan rindu. Batang-batang meliuk
menari di atas kebun tubuhmu yang bongsor.
Memanggil
pulau-pulau jauh dan hati sauh.
Menara
putih dan biru
suara-suara
yang menjalar dari liang tubuhmu yang beku.
Suara
pasar dan malam berpendaran menjadi lambung kota.
Anak-anak
berdendang tanah lapang
suara
gemerisik yang terus menembus jauh
ke
dalam bilik tubuhku. Bilik yang berpenerang
lima
kaleng cat bersumbu.
Kau
membaca kitab pulang yang lama
tersimpan
di rak dada di antara sendok-garpu
dan
piring yang selalu berdenting.
Dering
suara, dan gemerincing matamu
di
depan pintu pusat belanja. Di antara bungkusan
plastik
dan aroma penyejuk ruang. Buah peer,
limau,
manggis, semangka, pisang raja,
dan
aneka pakaian dalam.
Di
atas dinding yang mengarah ke telingamu
suara
rumah, kamar, mandi, toilet, dapur, ranjang, kursi, pembersih badan, pengharum
perempuan, dan sebuah mesin gesek uang plastik berdering.
Ada
gambar kepala dan burung terpampang
di
atas pintu, gambar yang mengingatkan kepada
lukisan
kaca yang dibuat kakek.
Dari
jauh lambaian tangan para pendahulu
di
sesobek kain berdarah itu. Di kepalanya
dentang
hiphop, dangdut koplo, dan
house
music menarik ingatan
keluar
dari laci waktu.
2013
KEMBANG
ASAM
Aku
bertanam melunasi janji pada matahari, menari mengikuti arah angin. Masih
kuingat janji yang pernah kita ikrar di
antara tongkol jagung yang tengah terbit di ketiak pagi. Saat pohon asam
memekarkan kembang bersama guguran angin yang gigil memasuki beranda.
470
bebatang kian tinggi cecabangnya mengarah ke berbagai mata waktu. Batang yang
menyimpan gairah di tepian jurang yang mengubur ribuan kisah. Bunganya jingga
seperti riang semu wajahmu memanggil kekumbang menari dari arah pancaran
matahari. Tarian dari sebuah rumah yang membuat kita betah menunggui sampai
subuh berganti.
Kawat-kawat
bersilangan di atas awang mengirimkan alamat dan percakapan yang terekam dari
ruang tidur. Kita bikin janji di sebuah kafe kampung dengan menu ikan bakar dan
ayam bumbu. Sepiring gumpalan cahaya berkilauan dan onggokan kakap karang yang
terbakar bumbu malam bergilap,
melelehkan bulan di atas piring bergambar mawar.
2013
Hidayat
Rahardja,
lahir di Sampang, 14 Juli 1966. Lulus D III IKIP Surabaya. Tulisannya
dipublikasikan di Karya Darma, Surabaya
Post, Republika, Swadesi,Pikiran Rakyat, Singgalang, Horison, dll. Karyanya
: Puisi PariwisataIndonesia (ap), Tanah Kepahiran (ap), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (ap),
Songket
(ap), Negeri Banyang-Bayang (ap),
Negeri Impian (ap), Memo Putih (ap, 2000), dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar