OTE-OTE
Inilah
rajangan tubuhku renyah kobis dalam lumuran terigu yang dikulak dari pasar
baru. Ada pedih merintih dalam cacahan kulit dan daging, adukan tangan cekatan.
Mengaduk nasib dari ladang-ladang di lereng gunung dan hamparan gandum di
padang jauh. Getah darahku yang bening menggantikan airmataku yang tak lagi
mampu menadahi nyeri. Hanya tinggal kepasarahan yang paling dalam membaluti
kulit telanjangku di atas panggangan bara api. Dalam kubangan didihan minyak
sawit yang sengit. Tubuhku hangus di antara gelembung minyak yang meletup.
Meletupkan gairahku untuk memasuki tubuhmu. Kemudian lenyap dan kau lupakan
dalam lelap.
Pada
tubuhku yang berminyak
melebur segala sayurmayur,rempah,dan tepung gandum
Riwayat pasar yang terbakar dan ladang yang tergusur
aku ingat kembali riwayat nasib yang beredar dari musim tanam
ke musim tebang
melebur segala sayurmayur,rempah,dan tepung gandum
Riwayat pasar yang terbakar dan ladang yang tergusur
aku ingat kembali riwayat nasib yang beredar dari musim tanam
ke musim tebang
Ladang
gandum yang terbakar menerbangkan ribuan serangga di langit yang kelabu
Gugusan asap menebar aroma yang hangus berbaur letukan kembang coklat yang meleeh di kebun belakang. Panas yang membara, tanah hitam dengan luka karbondioksida. Dalam udara ruangan yang memanas di atas seratus derajat celsius. Tanah-tanah merekah siap menelan apa saja dengan aroma wangi senja.
Gugusan asap menebar aroma yang hangus berbaur letukan kembang coklat yang meleeh di kebun belakang. Panas yang membara, tanah hitam dengan luka karbondioksida. Dalam udara ruangan yang memanas di atas seratus derajat celsius. Tanah-tanah merekah siap menelan apa saja dengan aroma wangi senja.
Sepotong
garpu dan sebilah pisau di genggaman siap menyayat kulit tubuh yang melepuh di
meja yang angkuh. Di atas taplak bersulam bunga tropika segelas teh hangat
dituangkan dan bilah pisau menyayat hamparan tubuh yang coklat kehitaman. Aroma
vanila dan kacang merah meruap menusuk ingatan yang lama tenggelam di masa
silam. Membuka kenangan satu poer satu, perjumpaan denganmu. Membuka kembali
tanah-tanah jauh dari lereng kebun coklat yang rindang menatapi ladang gandum
yang berebahan dibelai angin selatan. Di ruang tamu semua hadir kembali
melompati jendela ke arah bukit itu, tempat kau dan aku pernah menyarangkan
madu.
Kuning
langsat kulitmu menyimpan daging tubuh ranum. Lendir gula
membasah di sekujur badan menggetah dalam lidah ingatan yang menjulur
ke belakang.Biji hitam jazadmu simpan musim yang berguguran dari
rerimbunan waktu. Buah-buah berlekatan pada tangkai di batang ketulusan
yang pernah kutanam di pematang sabar. Di hujan pertama saat mendung berderai
sambut musim semai
membasah di sekujur badan menggetah dalam lidah ingatan yang menjulur
ke belakang.Biji hitam jazadmu simpan musim yang berguguran dari
rerimbunan waktu. Buah-buah berlekatan pada tangkai di batang ketulusan
yang pernah kutanam di pematang sabar. Di hujan pertama saat mendung berderai
sambut musim semai
2011
Gelisah
laut hitam dan pantai hijau meniciumi karang.
Kepiting buta menyeret punggungnya
simpan kegelisahan yang merah. Ada aroma luka ketika aku
menyusuri bakau, tinggal desau. Akar matahari merah menembus
batu senja, semburan darah jingga di sekujur ketam bakau.
Makan malam yang pedas di ruang remang, menelan bayang
jejak dan desis lidah. Cecabang bolamatamu tertahan
seraya nahan nafas menunggu jatuhnya malam di bandaran.
Kepiting buta menyeret punggungnya
simpan kegelisahan yang merah. Ada aroma luka ketika aku
menyusuri bakau, tinggal desau. Akar matahari merah menembus
batu senja, semburan darah jingga di sekujur ketam bakau.
Makan malam yang pedas di ruang remang, menelan bayang
jejak dan desis lidah. Cecabang bolamatamu tertahan
seraya nahan nafas menunggu jatuhnya malam di bandaran.
2011
Di
gempuran arus aku bertahan hidup
telan plankton hindari sergapan ikan besar
Air asin mengepung memasuki tubuh
namun tak merubah jazadku
Di debar jantung aku redam gelegak gelombang
membuatku seteguh karang
Di meja makan kita bertemu
bercakap sambil berbagi
memulangkanku ke lubuk
Lambungmu
telan plankton hindari sergapan ikan besar
Air asin mengepung memasuki tubuh
namun tak merubah jazadku
Di debar jantung aku redam gelegak gelombang
membuatku seteguh karang
Di meja makan kita bertemu
bercakap sambil berbagi
memulangkanku ke lubuk
Lambungmu
2011
PODIUM
Di
tubuhku ribuan janji didengungkan
Ribuan kepala mengangguk menahan kutuk
Ribuan kepala mengangguk menahan kutuk
2011
Hidayat
Rahardja,
lahir di Sampang, 14 Juli 1966. Lulus D III IKIP Surabaya. Tulisannya
dipublikasikan di Karya Darma, Surabaya
Post, Republika, Swadesi,Pikiran Rakyat, Singgalang, Horison, dll. Karyanya
: Puisi PariwisataIndonesia (ap), Tanah Kepahiran (ap), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (ap),
Songket
(ap), Negeri Banyang-Bayang (ap),
Negeri Impian (ap), Memo Putih (ap, 2000), dll.
Catatan Si
Tukang Arsip
: Puisi ini diambil dari blog pribadi pengarang. Diposting pada tanggal 24 Oktober 2011 (Ote-Ote), 13 Oktober 2011 (Gorengan), 03 Oktober 2011 (Black Forest), 11 September (Kelengkeng| Kepiting Buta| Ikan Laut |
Podium). Biografi Penyair di ketik ulang dari : Korie Layun Rampan, Leksikon Susastra Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, ), hlm. 195-196.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar