Ringkik
kuda itu memekakkan malam, berderap menyusur aspal jalanan. Pekak ladam memukul
pendengaran. Payung hitam di atas ribuan kepala diguyur lampu jalan,
mengabadikan pasangan remaja yang tengah menabur kembang merah. Lengan sungai
merngkul dingin, dan kesunyian yang hijau bersama tumpahan gerimis berjatuhan
dari rambutmu. Dan dua mata mengintip dari cadar malam, menghitung guguran
pedih dari atap-atap waktu yang berkarat.
Angin
mematahkan pegangan
Tangkai melepas lekatan
Aku berlayangan
Rebah mencium daratan
Tangkai melepas lekatan
Aku berlayangan
Rebah mencium daratan
Dentang
genta dalam jantungku
selalu berpacu dengan waktu
menggugurkan angka-angka
yang berlekatan pada usia
selalu berpacu dengan waktu
menggugurkan angka-angka
yang berlekatan pada usia
Daun
yang melekat pada tiangmu,menjaga waktu,
serta lalu-lalang di situ
jalan masuk sebuah kamar jalan keluar ke halaman
celah, tempat orang-orang lewat
celah, tempat hati tertambat
serta lalu-lalang di situ
jalan masuk sebuah kamar jalan keluar ke halaman
celah, tempat orang-orang lewat
celah, tempat hati tertambat
Mamalia
hitam itu keluar dari rongga dada mencari buah cahaya yang matang di ranting
malam. Kelepak sayap bersedekap di antara putikan doa yang berguguran disela
dedaunan rindu. Hanya kemeresak yang terdengar dan gedebuk ranum buah
berjatuhan di pungggung petang.
Bebijian
berserakan tersesap tanah seresah, menunggu musim basah. Ada dengkur di antara
gairah gemuruh angin di musim kering. Saat-saat dingin memekarkan kembang asam.
Kembang kecut yang harus dihirup. Namun bukan itu makna hidup. Kembang yang menunggu
waktu berbuah tiba dan biji-biji kembali menjatuhkan diri di haribaan bumi.
Bumi yang menyimpan daging buah kesabaran. Buah yang bergelantungan di
tangkai-tangkai bulan. Di kelembaban air mata, bebijian menyuburkan belantara
dan butir-butir cahaya berjatuhan dari lancip umur bersama ceriv\cit mamalia
menggelantung di lubang matahari.
2011
Mahkota
merah muda menyala, di atas junjungan kepala sang raja.
Mahkota yang ditopang batangan cuaca yang terbakar
dan guguran prajurit hijau di bawah terkam pisau cahaya.
Bila kau cium wanginya, jangan lupa mengiriminya segenggam cahaya pagi
dan sedikit airmata, sumber mata air yang akan mengambangkan bahagia.
Mahkota yang ditopang batangan cuaca yang terbakar
dan guguran prajurit hijau di bawah terkam pisau cahaya.
Bila kau cium wanginya, jangan lupa mengiriminya segenggam cahaya pagi
dan sedikit airmata, sumber mata air yang akan mengambangkan bahagia.
2011
Bulu-bulu
berledakan dari tubuhmu. Tubuh yang telah kehilangan keseimbangan dan
terkontamninasi; sacharine, pestisida, formalin dan toksin biokimia. Butiran
borax menetaskan ulat. Fungisida menjamurkan belatung. Tubuhmu meledak mencari
dedaun. Memburu anghin dan memburu air. Bulu-bulu tubuh menjadi semak belukar.
Menyimpan bisik-bisik, juga rencana meniadakanmu. Kupu-kupu tak lagi mencium
putik madu, kehilangan norak bunga. Maka, di hijau daun-daun muda ia letakkan
ratusan bom yang siap diledakkan hujan dan matahari. Bom yang menyimpan dendam
juga rindu. Serindu kau tak berbagi dengan kekasih.
Serpihan tubuhmu berledakan,
bulu yang berwarna kelabu di batang-batang syahwat dan hasrat. Di batang
ingatan yang lupa. Di reranting usia yang sia. Bulu-bulu menjadi duri-duri.
Jadi pepohon yang berderet di tepian kali dengan tangan-tangan hitam oleh
kenangann yang tenggelam dalam lumpur kalimarengan. Kali yang dipenuhi rerambut
gimbal Hydrilla yang merambat di antara bekas bungkus swalayan.
Serpihan bulu memenuhi jalan
raya menjadi rambu-rmabu, marka jalan. Memanjati dinding rumah membentuk sketsa
pemburu di dinding gua zaman batu. Memasuki lembaran-lembaran kitab yang selalu
dilantunkan di deret waktu. Ia memakan abjad, tanggallah potongan ayat. Ia
hisap tintanya hingga kalimat jadi senyap. Memasuki matamu, menutup pandang
lalu memasuki kepompong waktu.
Tubuhmu bergelantung dengan
seutas nilon menjerat leher. Dari setiap pori tubuhmu ulat-ulat bertetasan
dengan cairan coklat kehitaman menggenangi ruang, memasuki gorong-gorong.
Menyusuri sungai, menuju laut pasang dalam dadamu.
2011
Hidayat
Rahardja,
lahir di Sampang, 14 Juli 1966. Lulus D III IKIP Surabaya. Tulisannya
dipublikasikan di Karya Darma, Surabaya Post,
Republika, Swadesi,Pikiran Rakyat, Singgalang, Horison, dll. Karyanya : Puisi PariwisataIndonesia (ap), Tanah Kepahiran (ap), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (ap),
Songket
(ap), Negeri Banyang-Bayang (ap),
Negeri Impian (ap), Memo Putih (ap, 2000), dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar