BULAN BIRU
Hujan yang pertama jatuh
adalah tubuhku di tubuhmu. Menggenangi persawahan di saat langit memerah di
pipimu. Bulan mengambang dari dua matamu yang sedikit tertututp dan setengah
terbuka. Genangan terus meluap jadi sungai. Jadi laut. Kita tenggelam, memanen
karang dan terumbu, ikan-ikan dan semua yang bernama bahagia. Lelambai obelia
dan uburubur, salam lili laut dan akar bahar. Semua penuh debar. Sebagai kerang
kau dan aku mengeram. Julur-sembunyikan tubuh mengikuti irama ombak menempuh.
Pantai yang kukuh. Kita bikin jukung dari kekayu diri, seberangi laut. Hujan yang
pertama,
Matahari terperangkap, ia
tak bisa lari dibenturkan ke dinding batu, hingga memuncratkan darahnya yang
kekuningan. Darahnya meleleh dan terus meleleh membasahi ruangan dan
menggenangi bunga-bunga yang tengah menerbitkan kuncupnya. Matahari
terperangkap, dijaga oleh Tuan Mulia dan Nyai yang setia. Sepasang kekasih yang
cintanya selalu bercahaya.
Cahaya memantul dari
wajahnya, ada namamu di situ. Nama yang kerap disebut, nama yang selalu
disambut. Nama yang juga memantulkan cahaya biru. Cahaya yang meresap ke lembar
dedaun dalam ruangan, bergerak melewati pintu, jendela dan ventilasi yang
selalu terbuka. Memeluk batang-batang asoka, dan euphorbia. Cahaya yang
memekarkan kembang merah di ujung pagi. Kembang-kembang yang tak pernah disebut
dalam doa, namun selalu menyerbuki pagi.
2011
Aku
menunggangi lembu hitam yang telah kau siapkan sebagai penarik barang. Tubuhnya
kekar mengikuti langkah ke berbagai arah. Lembu hitam, lembu yang pernah
digembalakan di rumput belukar sumekar. Lembu yang urung disembelih buat
memperingati seribu hari kematian kakek. Lembu hitam, yang kerap mengawini
lembu betina tetangga dengan ganjaran 15 butir telur ayam kampung atau 10 butir
telur bebek.
Lembu
itu menjadi pulau, yang ditumbuhi nyiur, tangannya selalu melambai ke arah
kampung pesisir. Hutan santeki yang anggun dan cantik. Pulau yang cantik,
wanita-wanitanya selalu berbedak dan bergincu sambil menunggu kabar dari
rantau. Di pulau itu, lembu berpesiar ke balik balik karang dan belukar.
Sembunyi di lubang bebatuan yang belum diruntuhkan. Berjalan mencari padang
baru, rumput haru.
Memasuki
perkantoran, lembu itu tak bersuara tetapi kuku kakinya berderap bersintuhan
dengan muka ubin. Bunyi yang mengingatkan jam-jam masuk, bunyi yang
mengingatkan jam kedatangan. Juga bunyi yang menggetarkan diam-diam
perselingkuhan dan pembunuhan dalam film koboi. Lelaki dengan celana jeans,
spatu warrior menunggang kuda jantan dengan rerambut berurai.
Di
tengah lapar, lembu dan penunggang memasuki restoran cepat saji. Gorengan,
panggangan, dan bakaran. Secepat kilat. Sebuah meja dengan baris menu
dihamparkan sambil mendengarkan instrumentalia dari pemutar cd. Di nampan
gumpalan-gumpalan cahaya disanding semangkuk kilau sop buntut, bagai kawah
gunung api yang siap erupsi. Potongan daging merah di ujung garpu berlumur
kental kecap pilihan, gugusan senja yang ditangkap petang. Gugusan yang dibakar
hangat rerempah meriangkan malam. Seriang lembu yang bertemu di meja makan,
mengenyangkan bahagia.
2011
(1)
Siput
yang perut berkaki perlahan melewati jalanjalan tajam dan nyeri. Tubuh yang
berlendir melumuri takdir. Takdir baik dan takdir buruk. Dalam cangkang
menungging langit.gelap dan terang . sepasang mata tak terduga, membaca bumi
dan langit dalam redup cahaya tak pernah padam, selain kematian.
(2)
Ahai
si cumicumi yang kepala berkaki dengan sepuluh tangan berakar menarik lautan.
Menarik kapal-kapal nelayan dan jaring-jaring lautan. Semprotan darah yang
hitam, darah yang menyemburkan malam menyesatkan hiu dan pari. Jalan ke
belakang, jalan ke rumah karang yang berpintu di depan. Jaket merah. Jaket yang
menarik kapal selam mengarungi biru rumpun karang dan terumbu. Kapal yang
membawa kabar, mengusung bulan dan matahari di atas sampan. Kabar kedatangan
dan kepulangan, kabar yang membawa bekeranjang matahari dan berpikul bulan
dalam pangkuan.
(3)
Selamat
datang di kerang dua pintu, terkatup jadi satu.menghitung kedalaman dan
hempasan di atas gelung karang. Hutan-hutan terjal tempat mengeram dan
membiakkan keturunan. Di bawah sinar bulan saling berpagut, membuka pintu dan
lendir pun berlekatan. Mengukuhkan getaran-getaran yang berpusaran di rahang
laut yang tak pernah surut. Sepasang kelamin mengintai di bakau pantai tempat
matahari bertumbuhan dan masa depan berurai.
(4)
Selamat
menuai bahagia, Gurita. Onggokan derita dengan sepuluh lengan-liar membelit dan
menggulung ikan-ikan kecil dan dekil. Lengan yang lekat dan liat licik
menggeliat. Di atas batu-batu petang dan hamparan buraian usus matahari di atas
perairan kelabu. Kau telan. Tentakel-tentakel memanjang menekuk
buntalan-buntalan daging nasib. Gumpalan yang bertenun cacing, berserat malang
kawat- karat. Kawat-kawat yang membentang di atas perairan. Di atas pulau dan
diatas pukau. Negeri para peri yang menyulap batu-batu jadi air. Hutan-hutan
jadi kubangan lumpur, dan perkampungan jadi kubangan kerbau. Kerbau kuning dan
kerbau biru yang bersepatu melintasi tanggul di sepanjang kolam panas. Kolam
buas. Selamat menuai bahagia. Bahagia,
2011
1/
Inilah akhir pertemuanmu dengan teman kerabat
Kau yang beku memutar masa lalu
Saat-saat akhir ke awal kita bertemu
Inilah akhir pertemuanmu dengan teman kerabat
Kau yang beku memutar masa lalu
Saat-saat akhir ke awal kita bertemu
2/
Wajah paling mengesankan yang pernah kupandang
Kau dengan pakaian paling mapan putih kafan
Tujuh meter bersegi kekanan dan kekiri
Menggulung gelondong tubuhmu sendiri
Wajah paling mengesankan yang pernah kupandang
Kau dengan pakaian paling mapan putih kafan
Tujuh meter bersegi kekanan dan kekiri
Menggulung gelondong tubuhmu sendiri
3/
Di luar ada perjumpaan antara kawan lama
Mengurai waktu ke lalu masa
Saat-saat masih berhujan-hujanan
Sampai kerutan waktu menempel sekujur badan
Di luar ada perjumpaan antara kawan lama
Mengurai waktu ke lalu masa
Saat-saat masih berhujan-hujanan
Sampai kerutan waktu menempel sekujur badan
4/
Ah, yang menangis berhentilah
Biar dia pergi dengan pasrah
Air matamu takkan menjagakannya
Pun takkan membahagiakannya
Ah, yang menangis berhentilah
Biar dia pergi dengan pasrah
Air matamu takkan menjagakannya
Pun takkan membahagiakannya
5/
Dia pergi sendirian membawa bayangan diri
Yang selama ini dipanggangnya di bawah matahari
Hanya sunyi, hanya sunyi, hanya sunyi
Mengantar dalam kegelapan bumi
Dia pergi sendirian membawa bayangan diri
Yang selama ini dipanggangnya di bawah matahari
Hanya sunyi, hanya sunyi, hanya sunyi
Mengantar dalam kegelapan bumi
6/
Perempuan paling cantik dan lelaki paling tampan
Biarkan aku mengenang bulan dan bintang
Yang pernah kau semat di badan
Semoga menjadi penerang dalam kegelapan
Perempuan paling cantik dan lelaki paling tampan
Biarkan aku mengenang bulan dan bintang
Yang pernah kau semat di badan
Semoga menjadi penerang dalam kegelapan
7/
Sepergimu ada yang selalu menahan rindu
Di atas pusara waktu berlamat buntu
Tangis menggemburkan kenangmu
Dan doa selalu menguatkan rasa haru
Sepergimu ada yang selalu menahan rindu
Di atas pusara waktu berlamat buntu
Tangis menggemburkan kenangmu
Dan doa selalu menguatkan rasa haru
2011
DURIAN
MERAH
Inilah
jantungku kedalaman rimba dalam diri. Hutan-hutan diam dan sunyi mengerami
matahari. Darahku menyala dalam daging menerangi jalan trenggiling. Dukadan
suka yang kuperam dalam tabah musim pun rebah dan rekah. Mematangkan bebijian
hati yang sembunyi dan sepi. Duri-duri tahun mengerubung kau sangka, aku
sombong. Betapa cuaca mengajarku ramah menerima sangkamu entah. Bunuhlah aku
dalam kilau pisau hasratmu. Sebab, aku telah tuntasi sedekah tanah dan kenduri
matahari. Di merah dagingku, selalu kutunggu kisahmu, kekasihmu mengelupasi
kulit rindu.
TRETES
Tebingtebing
miring di antara dingin yang berduri
Pohonan melambai di sepanjang malam, jerit angin di antara lenguhan musik dangdut
Dalam merah cahaya unggun. Gunung-gunung berasap menebarkan cuaca pucat gemetar bintang-bintang meraih hutan hitam jagakan singa yang tertidur di jantung sepi. Bulan merah menjamah belukar di antara dengung kumbang menyerbuki putik bangkai. Bukit petang mengandung kutuk matahari di kelokan sungai-sungai menuju pilu. Tepat dipoucuk pagi batu-batu menggigil getarkan kelamin memuntahkan air mata
Pohonan melambai di sepanjang malam, jerit angin di antara lenguhan musik dangdut
Dalam merah cahaya unggun. Gunung-gunung berasap menebarkan cuaca pucat gemetar bintang-bintang meraih hutan hitam jagakan singa yang tertidur di jantung sepi. Bulan merah menjamah belukar di antara dengung kumbang menyerbuki putik bangkai. Bukit petang mengandung kutuk matahari di kelokan sungai-sungai menuju pilu. Tepat dipoucuk pagi batu-batu menggigil getarkan kelamin memuntahkan air mata
Hidayat
Rahardja,
lahir di Sampang, 14 Juli 1966. Lulus D III IKIP Surabaya. Tulisannya
dipublikasikan di Karya Darma, Surabaya
Post, Republika, Swadesi,Pikiran Rakyat, Singgalang, Horison, dll. Karyanya
: Puisi PariwisataIndonesia (ap), Tanah Kepahiran (ap), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (ap),
Songket
(ap), Negeri Banyang-Bayang (ap),
Negeri Impian (ap), Memo Putih (ap, 2000), dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar