Add caption |
MENULIS HUJAN BERSAMA [ i ]
sehabis kita
menghindar 20 meter dan menepi dari hujan
kita meluncur ke warung minang yang menawarkan teh telur
mungkin, asmara dan kehangatan mendapatkan ruangnya sendiri
kala dingin menubuh. pada beku lampu-lampu di tiang seberang
hujan menyalakan bulu kuduk kita.
dua lelaki memandang ke tengah hujan, disana kecemasan merayap,
seperti gerbong kereta tua dan karatan lelah bawa pergi mimpi-mimpinya.
aku menulis hujan bersama [ i ]
aku ingin menulis hujan
menghitung 5 helai rambutku yang rontok dan mensisirnya berkali-kali
menghidupkan sebatang rokok dengan migrasi bayangan orang-orang kota
lalu mulai bercerita tentang pedalaman waktu, kampung kelahiran
dimana kita bebas berlari mengejar matahari sambil kencing berdiri
rindu terendap dalam gelas-gelas kosong. terbentur keras ke tembok
seperti teka-teki silang, kita mengajukan jawaban atas sebuah pertanyaan
tak pasti.
kita meluncur ke warung minang yang menawarkan teh telur
mungkin, asmara dan kehangatan mendapatkan ruangnya sendiri
kala dingin menubuh. pada beku lampu-lampu di tiang seberang
hujan menyalakan bulu kuduk kita.
dua lelaki memandang ke tengah hujan, disana kecemasan merayap,
seperti gerbong kereta tua dan karatan lelah bawa pergi mimpi-mimpinya.
aku menulis hujan bersama [ i ]
aku ingin menulis hujan
menghitung 5 helai rambutku yang rontok dan mensisirnya berkali-kali
menghidupkan sebatang rokok dengan migrasi bayangan orang-orang kota
lalu mulai bercerita tentang pedalaman waktu, kampung kelahiran
dimana kita bebas berlari mengejar matahari sambil kencing berdiri
rindu terendap dalam gelas-gelas kosong. terbentur keras ke tembok
seperti teka-teki silang, kita mengajukan jawaban atas sebuah pertanyaan
tak pasti.
pada denting segelas kopi
kita asyik melukis pelangi malam-malam pada ampasnya
dan pikiranmu yang basah bertukar ingatan di atas meja panjang
Yogyakarta, 2011
Qie
Pada notasi
nyanyian kelabu, kelam karena rindu
seorang lelaki berdiri di bawah tiang dan lampu temaram
membaca kembali 55 sajak yang ia pungut dari reruntuhan cahaya
memanggil-manggil nama, Qie!
maka kupenggal engkau tulus
Qie,
adakah cinta yang lebih binal dari persetubuhan sepi ini?
Aku menjelma apa saja
sering pula menakar luka atau sekalipun maut datang secara tiba-tiba
cintamu lorong-lorong panjang. Aku adalah pejalan kaki setia
datang dengan lipatan cemburu-cemburu kecil
kau sepi dan kau menangkapku perlahan
aku berjalan ke utara hingga malam berpeluang meninggalkan romantismenya
aku pun lupa cara memejamkan mata darimu
seorang lelaki berdiri di bawah tiang dan lampu temaram
membaca kembali 55 sajak yang ia pungut dari reruntuhan cahaya
memanggil-manggil nama, Qie!
maka kupenggal engkau tulus
Qie,
adakah cinta yang lebih binal dari persetubuhan sepi ini?
Aku menjelma apa saja
sering pula menakar luka atau sekalipun maut datang secara tiba-tiba
cintamu lorong-lorong panjang. Aku adalah pejalan kaki setia
datang dengan lipatan cemburu-cemburu kecil
kau sepi dan kau menangkapku perlahan
aku berjalan ke utara hingga malam berpeluang meninggalkan romantismenya
aku pun lupa cara memejamkan mata darimu
Yogyakarta, 2012
LAUT, MUARA SEGALA IBA
:Paox Iben
laut,
muara segala iba
: laut riuh
seperti
gimbal rambutmu menyimpan peristiwa
aku
mengandaikan ikan-ikan bergelantungan di sana
ingin
aku berenang, meloncat dan bermain-main
lalu kau
tersenyum mendapatiku dengan jaring
begitulah,
laut dan rambutmu sama menjebaknya.
Yogyakarta, 2011
JARAK ANTARA LAUT DAN PULAUMU
: Rindu
Kepada Ibu
I
Ibu, aku ingin segera
mendarat di pulaumu sehabis laut mengirim gelombang dan sebelum pasang
benar-benar menerjang. Ada yang bergerak perlahan menyeret perahu jauh. Lama
layarku sobek ditembus bulan dicabik ikanikan lapar. Yang diapungkan jadi
lampau dan yang
hanyut tak kembali akan
biarkan ia memilih jalan pulang sendiri. Bukankah cinta hanya persoalan
resiko kesakitan semata,bu? Dan kau
masih berusaha menjahit layarku bukan? Kau seprti ibu pada umunya, suka naik
darah. tak suka dibantah. tetapi senantiasa menekankan perasaan ketimbang
pikiran-pikiran.
II
Jarak antara laut dan pulaumu
itu, rinduku.
III
Ibu, bila aku pulang dan tiba
dihalaman pertama hatimu, seketika aku
ingin menjelma bocah kecil lagi, sebab jarak antara laut dan pulaumu
dipisahkan gelombang badai yang mengancam usia. Ibu, aku rindu padamu. Dan aku
hanya mengakrapimu dari jauh sekali. Kadang ingatan padamu membikin cemas dari
celah kecil bola mataku. Tapi ibu selalu dengan seiris senyum. Kau tak pernah
getir. Teguh. Seperti kesetiaanmu pada kebaya sederhana bergaris biru laut.
Barangkali perempuan punya hati sedalam laut dan perasaan yang rumit. Ah, ibu
selalu mengirim kabar pada angin yang datang padaku. Aku pun sampai kehatimu
sebelum laut menggirim senja angslup di dadaku.
IV
Jarak antara laut dan pulaumu
adalah riak mengelembungkan cemas. Dengan segumpal penuh pasrah pula kau lepas
pada surut laut, agar aku lebih menghargai hidup, tumbuh jadi karang.
Kampung halaman seasin
ingatan pada perempuan tua diujung kepulangan. Ingin segera aku melompat
sebelum perahuku merapat. Ibu, aku pulang tanpa setangkup berlian, tapi
kubawakan untukmu rindu berkepanjangan ini.
Mei 2011
Catatan si Tukang
Arsip: Puisi-puisi ini ditulis ulang dari Antologi Puisi Prosenium (Divisi Sastra Teater ESKA
& Kendi Aksara: 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar