sumber: Withered-By-The-Greed2-2005-Oil-on-Canvas-100x120-cm |
/1/
--toman café bersama byan
ini malam untuk pelarian tanpa nama,
selain kesepianku
yang telah mencatatnya
pada selembar bulan sabit yang tertusuk
daun. Engkau terus
meminta cahaya
pada guguran debu-debu merapi yang
telah mengabukan
kotaku, kota yang dulu
kau singgahi untuk kesepian yang sama,
untuk pelarian
yang sama, jangan selalu
menuntut apa pun dari kota yang telah
lama kau tinggalkan
namanya. Juga cintanya
jika engkau datang malam ini, malam
setelah warna kelabu
mengguyur kotaku
akan paham makna kesepian ini, tentang
masa lalu yang
jauh, dan menggobang
semua yang telah dilahirkan, menjadi
serpihan-serpihan sepi
yang menggiris
lalu berterbangan ke setiap daun dan
hingga pun ke helai
demi helai rambutmu
lalu kau mudah berucap:
“semestinya kau tak di sini!”
lalu kau cabut dihantar kereta
ke Tugu atau Lempuyangan
dan kota ini semakin malam
ini kota sekian kubik cinta, dan juga
puisi-puisi,
dari rahim murung
mengintai setiap dengih rajuk yang
lenyap di pelataran
senja, terbawa kereta
ke ujung yang sepi, tapi selalu meronta
seperti ada yang hilang
lalu dibiarkan pergi
dan kota ini, selalu
marejuk luka
/2/
--perangai
sungai
di kota ini,
aku tiba-tiba takut pada hujan
bukan pada dingin yang diperah
atau haus tanah yang terjarah
tapi sungai yang membesarkanku
dan mereka dari tengah bukit itu
mengenang api yang baranya
terendap di dada-dada mereka
juga pada lembar dedaunan
yang hanyut ke atas bantalmu
sapalah ia, sebnelum engau ninabobo
menjadi kisah tentang sebuah kota
yang sangat mencintai sungai
dengan alirannya yang berderai
aku tahu sungai selalu akan menelan
apa saja, atau bahkan alidannya sendiri
tapi kota ini, selalu akan sabar
mununggu
dan menjemputnya kembali menjadi tugu
siapkan perahumu
lalu datanglah ke kotaku
cinta dan murung
akan mengisahkanmu
semua tentang makna
Yogyakarta, Desember 2010
Setelah Dari Rumah Atas Bukit
:Kepada Raudal Tanjung Banua
jika ke pasir selatan, terbayanglah
ombak
menjahit langit dengan tungkai bukit
taratak
ada kuda yang berkelebat di balik saga
senja
“tabik bagi orang-orang rantau!” kata
mereka
dari atas bukit itu, si kota, mengurai
kisah
jarak pandang antara laut dan beranda
rumah
tengarai pelangi, bersambut warna-warna
sisik
ikan di langit, sketsa kapal-kapal
perantauan
yang tak pernah bisa ditambatkan
laut, di sini, lebih setia menyimpannya
sebagai rahasia yang tak tersebut
namanya
di ujung april sebelum ke payakumbuh
kelahiran itu kutemukan seperti
selendang subuh
mengakrabi daun yang uratnya kini menjadi
pohon
dan di tengah pagi ia akan pecah
menjadi awan
terbanglah ke semua sudut langit, yang
begitu dekat
danri atas bukit bekas rumah rehat
kisah kasih
dan, jalan ke bukit itu setiap hari
berubah’
sukma tertusuk duri hingga kerkali-kali
seperti tak sanggup melayar kemabli
setelah dari rumah atas bukit itu
jarak bukit dan laut begitu dekat
jika orang memanggul rotan, ia
pasti baru saja berlayar di laut
jika mereka membakar ikan, ia
pasti baru saja berburu di bukit
(Padang, April 2008)
Menemani Keberangkatanmu
(untuk almarhum k.h.a. hamidi hasan)
/i/
tibatiba aku ingin sekali dating ke
stasiun
tanpa karcis di tangan. tidak hendak
kemana
selain menunggu kereka demi kereta
melintas
dan menemukanmu mendaras rel yang sama
o, ini pagi aku menyaksikan
keberangkatanmu
jadwal yang kau sebut begitu cepat
tak dapat kujabat tanganmu erat
lengking peluit keburu mengkilat
//ii//
pagi dinihari pukul 2.30
laman kusam stasiun tua
temaram lampu perlahan tertahan
menyulam kemparan masa silam
sebiji arang pada secangkir kopi
menemani keberangkatanmu
dari stasiun yang lain
selamat jalan guru…
aku dari kota tugu
segera menyambut
sebuah kereta
kau namai
sendiri
arang hitam mulai tenggelam
merenangi kantukku yang hilang
music jalanan dan parfum malam
di sini kami bertiga (aku, sabri,
ruslan)
dari ruas masa silam yang sama
meniti pematang di belakangmu
///iii///
riuh rendah kereta malam
dating dan tenggelam
cangkirku tibatiba hitam!
Stasiun tugu, Jogja, 26 Mei 2012
Malam & Kesepian
rindu jauh kekasih
1/
akan kukemas senja
jika malam
disangsikan
hingga kau benar
paham
bulan lengkung
tanggung
dalam sakuku
memagari senyum
riak kecil yang
ranum
dan wajahmu
menjauh
mengarsir
garis-garis subtil
di balik cahaya
bulan yang dingin
aku menggigil
mengiris sepasang alis
yang perlahan
pudar tersepuh senja
2/
rindu tak perlu
disangsikan, byan
saat malam adalah
sepotong pizza
di piring makan
malamku yang putih
sebiji sendok
menyapih suara riuh
membiarkan denting
mellow dari entah
pada meja yang
melengkung tanggung
seperti bayang
bulan di langit malam ini
aku menikmati
makan malam setulus senja
yang sebentar lagi
akan lenyap tergesa
dimamah malam
dengan sepotong bulan
melengkung
tanggung di alismu
3/
senja itu akan
kusublim, byan
menjadi cincin
lentik bermata akik
dari secarik
garis-garis senyuman
berpendar
menggantikan malam
di jemarimu!
Cliff Apart, Columbia, 2010
Sore Sebelum Blues Concert
-Finlay Park
sore hari sebelum
blues concert itu memanggilku dari jauh finlay park
kupastikan berapa
gerimis yang sudah berlaru sore ini. biar aku semakin
yakin bahwa cuaca
telah menamakan semuanya. aku tetap yakin kepada
musim meski kini
telah didustai. musim panas yang kau ceritakan—daun
daun yang melepuh
atau bunga-bunga yang enggan tumbuh—kutemui
di sini, meski
tidak semuanya benar, di balik riuh sabtu sore yang lengang
dalam bola mataku
pada hamparan taman luas yang ujungnya mengalir air.
mungkin sebentar
lagi, taman itu akan meremang di balik dada mereka
yang telanjang,
dan matahari akan tenggelam ke tengah celana dalam
hingga malam
benar-benar dimulai dari bali tubuh mereka, dari denguh
nafas yang tak
utuh atau dari nyanyian blues yang datang dan tenggelam
aku di sini ingin
mendengarkan birama lain: dari tubuh mereka senidri!
South Carolina, June 2010
Catatan si Tukang Arsip: Puisi-puisi ini ditulis ulang dari Antologi
Puisi Prosenium (Divisi Sastra Teater
ESKA & Kendi Aksara: 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar