Judul : Potret
Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur, Kumpulan Sajak (1967-1971)
Penulis : Abdul Hadi W. M.
Cetakan : I, 1975
Penerbit : PT Dunia
Pustaka Jaya, Jakarta
Seri : PJ 167
Tebal : 68 halaman (39 judul puisi)
Gambar jilid : Popo Iskandar
Dicetak oleh : Yamunu, Jakarta
Beberapa
puisi Abdul Hadi W. M. dalam Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur
pilihan M. Nahdiansyah Abdi pada 01 April 2014
Langit di Mana-mana
Langit berjalan atas pohon-pohon. Di mana-mana
bayangan mereka di atas air, di atas pasir
dan gelap. Bintang-bintang seperti lampu-lampu yang ditaruh para
nelayan
dan bunyi-bunyian. Ditabuh senja pada batu karang
lapar itu, haus itu! Dan awan cair
menembus hatimu
Ayolah buyung, kaubaringkan tubuhmu
Tak ada bulan, tak ada nyanyian, bagi tumbuhan di bumi
Kami kan tidurkan kamu pada ranjang kayu
muara sungai dan musim kemarau
Ayolah buyung kautembangkan pucung belum tidur
baik di atas mimpimu, putri-putri buih naik ke badan
tengah malam dan jika bintang-bintang menembus sunyi para nelayan
perahu-perahu dagang yang tua, membersihkan laut, bayangan
Mereka di mana-mana. Dan gelap
Ayolah buyung tidur. Ombak sudah siap
menelan lelahmu. Dan dongengmu teramat bagus
Seperti penunggu muara sungai yang ramah itu
Dan bergegaslah pergi, ke mana-mana
Sebab langit di mana-mana. Dan mimpimu di mana-mana
Tanah air di mana-mana
Malam itu datang dengan sayap burung
Yang berisik menuju kota
Di luar daunan menderu
Menyeru kelam
Mengapa lonceng di sana itu bermimpi
Dan rinai jatuh mengabut padang yang sepi?
Betina: berikan aku saat berlupa
Dan firman itu sampaikan
Aku butuh segala rusuh, segala nanar, segala bosan
Aku butuh impian dan dugaan
Menyeru malam dan lenyap dalam rusuk
1971
Malam Teluk
Malam di teluk
menyuruk ke kelam
Dan bulan yang tinggal rusuk
Padam keabuan
Ratusan gagak
Berteriak
Terbang menuju kota
Akankah nelayan kembali dari
pelayaran panjang
Yang sia-sia? Dan kembali
Dengan wajah masai
Sebelum akhirnya badai
Mengatup pantai?
Muara sempit
Dan kapal-kapal menyingkir
Dan gonggong anjing
Mencari sisa sepi
Aku berjalan pada tepi
Pada batas
Mencari
Tak ada pelaut bisa datang
Dan nelayan bisa kembali
Aku terhempas di batu karang
Dan luka diri
1971
Di Tapal Batas, Lalu Engkau
Di tapal batas, matahari melelehkan panas
Sosok tubuhmu melayang dalam gelap
Mengapa ditingkap senyap dan daunan jadi ranggas
Nafasmu luka dan tak lelap?
Pada tidur aku meraba diri. Mencari makna
Pelupuk. Sutra. Mawar. Nanap. Hampa
Dan tak tahu, kota terantuk pada hujan
Menghembus debu dan menghilang
Lindungkan kelambu ranjangmu. Pada sisa
Perempuan bergegas menyusuri malam penciptaan
Menari, menarik remuk, menarik bumi dan akan terbit
Bulan yang menggosokkan gading pada pimping. Langit
Memperlihatkan bintang susu, lalu sengit
Nafasmu yang luka membayangkan rupa
1971
Lagu Bulan
Sajak-sajak Li Po, buku-buku Nietzsche
Bakal jadi apa
Dalam kamar yang kukutuk sebagai dia
Bowo mengajakku pergi lagi
Pergi lagi
Dengan rambut kusut
Angin berkabut
Keriuhan kota yang undur
Dalam mata hati kami yang tak pernah mau tidur:
Tuhan, kami adalah piatu
Bulan yang dingin
Menghampar bayangan rumah
Yang ditinggalkan
Di tengah malam buta
Lewat jembatan
Gang-gang yang melelahkan pikiran
Lagu “Don’t believe….”. Dan
Bunyi langkah kaki kami
Menindas malam yang celaka
Bowo bicara keras dan ketawa
Meneguk bier-nya lagi
Mentertawakan udara yang hampa:
Tidakkah Tuhan juga bersedih
Mencarikan nabi buat kita?
Sajak-sajak Li Po, buku-buku Nietzsche
Bakal jadi apa
Dalam kamar yang kukutuk sebagai dia
Kami yang tersaruk pergi lagi
Dan rumah kami di awan
1971
Lagu Biasa
Musik jazz yang tenang dengan kalimat-kalimat
Chu Yuan yang masih berdebat
Riung Gunung, kabut Puncak dan aku malam ini
Punya langit yang terpejam
Dan bintang-bintang yang menuangkan anggurnya
Kau akan dijemput oleh guide
asing itu
Dan aku diam-diam akan pergi melewati
Tengah malam yang larut sebelum kau tahu
Bahwa aku akan mendapatkan batu-batu karang di langit
Lengking Satchmo, telegram singkat dan daun-daun pinus
Pemandangan yang menyayat
Kau akan ditanya oleh guide
asing itu
Dan diam-diam bulan akan menyoroti wajahku
Sebelum ia menutup matanya melipat selimutnya dan membelakangi
Awan. Dan mereka akan melukiskan malam seperti ini
Dengan hujan yang mulai turun di sebuah kota
Night Club, losmen dan gang yang menuju
ke rumah Fransiska
Sudah lembab dalam langsai Agustus
Aus, dingin, jazz dan engganku
berada di udara beku
Dan guide itu menuliskan namamu kembali di agenda biru
1971
Elegi I
Di sorga: ada juga derita
Ketika keranda-keranda putih
Dalam gelap gulita
Ditarik kereta berkuda
Ke sungai perak
Ruh-ruhpun terbang
Pulang ke sarang senja
Dan matahari pucat
Tuhan berdiri
Di tepi telaga darah
Dan pada nisan seorang Gembala
Tertulis berita:
Di padang Kerbela
Telah terbunuh Hasan dan
Husein
Dengan lidah terulur ke tanah
Dan tubuh yang remuk
Tuhan berduka
Memandang bumi yang jelaga
Di mana Adam telah buas seketika
Dan Hawa melahirkan anak-anak cacad muka:
Muhamad, Muhammad!
1971
Baitl Makdis, Pada Malam Israk
Kita tunggu gemintang, mengerdipkan matanya lembut
kita tunggu angin mencecah arusnya kencang
suara laut di bawah benua dan cuaca
yang membersihkan tanah-tanah di dataran Palestina
dan sejuta suara bagai lonceng berdencang ramai
di mesjid itu, suara para nabi. Terasa waktu
menanti cuaca tiba
Apakah yang bakal terjadi
di benua kita?
di jazirah hitam ini
di mana para rasul dan nabi
diburu dan dibunuh
oleh orang-orang kerdil
dari tengah benua?
Muhammad! Lempangkanlah jalan kami
yang dahulu
(Gaib arwah rasul dan nabi
mengucap salam
waktu shalat selesai) dan di
relung jagad
yang risau
kerdip gemintang memutih
sampai juga ke negeri masyrik
1970
Mikraj
Di ujung musim yang menggasing
bagai dengus gurun pasir
cahaya melompat
dalam laut salju
diseretnya langkah
malam itu
dalam putih waktu
Muhammad, Kutawarkan
padamu:
jenuh semesta itu
Kupenuhi isi dadamu;
nasib manusia
bentangkan kedua tanganmu!
pohon-pohon kurma
di tepi ka’bah
di pusat Mekkah
menyanyi dalam gaib malam
dan mengucap malam
ke seluruh alam
yang mencecahkan kalam
di puncak jagad
leburlah
rindunya
menjadi zarrah itu
marhaban, Kuutus kau
juru selamat
1970
Pertemuan
Ada percintaan gaib
antara dingin yang tiba dan pohon-pohon cemara tua
Ada percakapan gaib
antara bulan dan suara-suara hutan yang mengelana
Ada perjanjian gaib
antara detik lonceng dan suara adan waktu isya tiba
Ada pertemuan gaib
sewaktu risau. Sewaktu kau bertanya
Siapakah di mesjid jauh itu
Sujud dan mendo’a?
Membacakan surat Yasin yang panjang. Waktu
angin merendah
Ia hilang di puncak
Sepi
1969
Sendiri
Mengalir di udara sepi
Seakan rinai
dan Ratapan sukmaku
Waktu kawanan peri
beterbangan
di gugusan awan Mei
Runcing pohon cemara
memagut dan melecut
suara angin
seakan langkah mayat
melengoskan dahaknya
ke bumi
Ah, jalan begitu gelapnya di situ
di ujung jalan itu
dan di kejauhan
antara dengus hantu
Dan kini, antara bauran kekacauan pikiran
dan kebosanan
dan kegelisahan
kujotoskan tanganku
dan kutindas kata-kata keyakinanku
Mengalir di udara sepi
Seakan rinai
dan Ratapan sukmaku
Waktu kawanan peri
beterbangan
di gugusan awan Mei
1970
Sajak
waktu sinar bulan
luncur karena angin Selatan
ia berjalan
lewat hutan
bagai melodi
suara kayu-kayuan
dengan ranting-rantingnya yang tua
kau tak tahu jalan ke Utara?
memotong atau lurus?
dan hutan itu
sudah ada yang empunya?
kau tahu jalan ke Utara?
terpotong atau menembus
sungai lebar?
dan ia berjalan
lewat hutan
sinar bulan berpendaran
embun jatuh
1971
Lagu
Danau kelabu pada dataran
Hutan-hutan di sekitarnya, perkasa
Gumpalan dingin di langit malam
Menghamparkan bayangan salju
Mengapa pimping pada mabok
Dan mengimpikan pagi musim rontok?
Tuhan dan gemuruh itu
Menghembus dan menyerbu
Melepaskan gasing
Dari pohonan tak berwarna
Tak bernama
1972
Ada Sebuah Kota, Katamu, Tak
Pernah Teduh
AKU
ingin mengunjungi sebuah negeri tanpa mesjid dan rumah
sakit, tanpa kedai minum, lewat peperangan yang tak selesai di sana,
menyebrangi sungai-sungai dan jembatan-jembatan, melupakan
pengemis-pengemis yang merintih.
ADA kota
yang tak pernah teduh, katamu setelah meneguk
kopi susu yang kental, bukan Paris bukan Roma bukan Jakarta dan
orang-orang telah diungsikan perlahan-lahan sebelum subuh, mereka
beriringan diam-diam melewati lembah yang gelap dan tak tahu
TERBACA
pada koran sore yang bertumpuk di meja, berita-
berita pemboman di Vietnam Utara dan lapangan-lapangan terbang
di Tel Aviv dan Karachi. Kita luka ketika anak-anak yang berpawai
kemarin sore masih berkabung menyanyikan lagu perpisahan dan
kenangan pada pahlawan yang pergi, seorang pemetik gitar dan
penyanyi. Tapi kita selalu lupa bahwa orang-orang selalu punya
kalimat percakapan setiap berjumpa: mau ke mana atau langit di
kota itu selalu gelap dan setiap orang mengatakan demikian,
mengangguk-anggukan kepalanya demikian dan menyanyikannya
demikian
SUARA-suara mobil yang mondar-mandir dan orang-orang
di pasar, kaupun berkata: “Lihatlah kamar orang asing di hotel
itu, itulah yang selalu kita angankan, dengan blues yang selalu
memberikan hiburan nikmat bagi setiap pelancong dan dari atas
kamar bertingkat, pada kaca jendela yang kukuh bisa kaulihat orang-
orang bergerak diam-diam setelah pembantaian selesai untuk semen-
tara dan mereka itu selalu berkata: langit di atas kota selalu gelap
dan yang lainnya selalu berusaha mengatakannya demikian”.
kemudian kita dengar hujan dengan bunyi gamelan yang sayup,
menyebut nama seorang raja yang lama dirindukan.
DARI
rahim senyap orang-orang sekonyong-konyong berjejalan
meneriakkan bahwa perang telah selesai, tanpa mengatakan bagai-
mana selesai, bagaimana bisa selesai, seperti perumpamaanmu
tentang Perang Badar, Perang Kerbela, Perang Salib, Perang Bubat
dan lain-lainnya dan lain-lainnya
KAU
menunjuk langit yang menampakkan bintang susu, seperti
dilihat para pelaut, lalu ribuan bintang mengerumuni langit, lalu
kautaruhkan bibirmu membelitkan paha dengan penuh perasaan dan
mendoa agar bisa bermimpi dan bisa melupakan segala-galanya
dan segala-galanya
ADA
sebuah kota, katamu setelah merebahkan tubuh yang
penat, sebuah kota yang tak pernah teduh dan kita musti pergi biarpun
belum selesai, bukan Paris bukan Roma bukan Jakarta, tapi di mana
kita hanya mengerti dengan menyebutkan sebuah amsal yang tak
jelas
1972
(nb. puisi di atas bertipografi paragrafik, rata kiri-kanan)
Tentang Abdul Hadi W. M.
Abdul Hadi W. M. lahir di
Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas
Gadjah Mada, dan kemudian pindah ke fakultas filsafat universitas yang sama.
Kumpulan puisinya Laut belum Pasang (Litera, Jakarta, 1971), Potret
Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya, Jakarta, 1975),
Cermin (Budaya Jaya, Jakarta, 1975), Tergantung pada Angin (Budaya
Jaya, Jakarta, 1977) dan Meditasi (Balai Pustaka, 1982). Kumpulan esainya
Gambar Manusia dalam Sastra. Mengasuh ruang kebudayaan Dialog di harian
Berita Buana dan pernah bekerja sebagai redaktur di PN Balai Pustaka. Abdul
Hadi W.M. sering disebut-sebut sebagai salah seorang penyair liris terkemuka di
Indonesia
Catatan Lain
Kumpulan puisi ini, yang merupakan koleksi Perpustarda Prov. Kalsel, pengembalian
pertamanya tanggal 20 September 1978. Saya belum lahir. Dipinjam terakhir 16
Mei 1988. Baru dua puluh lima tahun kemudian ada yang meminjam lagi, yaitu
saya. Ada satu lembar halaman terobek, saya baru sadar belakangan, yaitu
halaman 52-53. Maka tak dapatlah saya lihat sajak Penjelmaan-penjelmaan
dan bagian awal dari Mabok Malam I. Biodata Abdul Hadi W.M. ada di
bagian sampul belakang, tersenyum lebar hingga terlihat giginya. Rambutnya juga
panjang, kira-kira sebahu. Baik foto maupun tulisan terlihat kebiruan.
Dicopy
dari blog kepadapuisi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar