Judul :
Meditasi, sajak-sajak 1971 - 1975
Penulis : Abdul Hadi W. M.
Cetakan :
I, 1982
Penerbit :
PN. Balai Pustaka
Tebal : 71 halaman (31 judul puisi)
Perancang kulit
: Budiono
Beberapa puisi Abdul Hadi W. M. dalam Meditasi pilihan M. Nahdiansyah Abdi pada 03 September 2012
Sehabis Hujan
Kecil
Retakan hujan
yang tadi jatuh, berkilau
pada kelopak
kembang yang memerah
Antara
batu-batu hening merenungi air kolam
angin
bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas
1972
Gerimis
I
Seribu gerimis
menuliskan kemarau di kaca jendela
Basah langit
yang sampai melepaskan senja
Bersama gemuruh
yang dilemparkan jarum jam, kata-kata
bermimpilah
bunga-bunga menyusun kenangannya
dari percakapan
terik dan hama
“Kau toreh
bibirnya yang merkah,” kata hama
“Dan kuhisap
isi jantungnya yang masih merah”
II
Kenapa ia tak
terkulai
dan masih
bertahan juga
Dan bersenyum
pada surya
yang mengunyah-ngunyah
air matanya
III
Untukku ingar
itu pun senantiasa menyurat
Atau mimpi
Tapi angin
masih saja menggigil
mendesakkan
pagi
IV
Tuhan, kau
hanya kabar dari keluh
V
Burung-burung
pun
asing di sana
karena jarak
dan bahasa
1971
Siang ternyata
hanya seorang pejalan jauh
Di atas
kepalanya yang tak pernah teduh
udara kosong.
Dan burung-burung hanya beterbangan
bagai kasih dan
bisik-bisik kita
bagai lembut
tangan dan cinta sia-sia kita
dan kata-kata
mengalir bagai sungai ke lautan birunya
Mengapa maut
juga yang tak terhindar
dan malam?
Mustahil tidur
Gerimis hanya
berangkat ke rumput-rumput
daun-daunan dan
ginggang beracun…
1973
Maut dan Waktu
Kata maut: Sesungguhnya akulah yang memperdayamu pergi
mengembara sampai tak ingat rumah menyusuri gurun-gurun dan lembah keluar masuk
ruang-ruang kosong jagad raya mencari-cari suara merdu nabi Daud yang
kusembunyiskan sejak berabad-abad lamanya
Tidak, jawab waktu, akulah yang justru memperdayamu
sejak hari pertama Qain kusuruh membujukmu memberimu umpan lezat yang tak
pernah mengenyangkan hingga kau pun tergiur ingin lagi ingin lagi dan ingin
lagi sampai gelisah dari jaman ke jaman mencari-cari nyawa-nyawa Abel yang kau
kira fana mengembara ke pelosok-pelosok dunia bagaikan Don Kisot yang malang
1974
Nyanyian
Dalam
hutan-hutan yang terik gerimis bersenandung
pada siang dan
malam mimpi burung-burung
Temaram mata
langit terpejam karena nyala sebuah tungku
sewaktu kabut
terbakar oleh goncangan angin dan salju
Dan rindu
mengapa seketika pedih seakan iringan air
berdengung
dalam pawai kabung dari ulu jam ke lautan
Barangkali kau
tak tahu si pengirim menunggu jawaban
atas suratnya
yang tak sampai, di jendela terjatuh cahaya bulan
1974
Bayang-Bayang
Mungkin kau tak
harus kabur, sela
bayang-bayangmu
yang menjauh
dan menghindar
dari terang
lampu
Ia selalu
menjauh dan menghindar
dari terang
lampu
Ia selalu
mondar-mandir
mencari-cari
bentuk dan namanya
yang tak pernah
ada
1974
Meditasi
I
Kupeluk sinar
bulan. Tubuhku kedinginan.
Di gerbang
cahaya yang berkilauan akan segera nampak di depan kita sebuah gereja tua.
Ketika lonceng berbunyi beribu burung terbang ke sana hendak mensucikan diri.
Sebab selalu ditempuhnya jalan yang sama, selalu dinyanyikannya lagu yang sama
dan sesat di sarang yang sama.
Lalu kita
dengar paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai. “Demi Jesus, pahala sorga
dan kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya,” begitu nyanyian
mereka. “Tuhan, pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan Muhammad –
bentangkanlah pada kami jalan yang benar dari aroma bintang dan buah-buahan.”
O,
burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar?
Yerussalem dan
Mekkah tidak seluas hati dan jiwa ini.
Pohon-pohon
rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu.
Nyanyikanlah
itu sepanjang pagi sepanjang sore.
II
Di sini
semenjak lama aku aku adalah seorang rahib yang mengheningkan
cipta dalam
sebatang kayu.
Kebenaran
kudapat dari embun dan mawar.
Abadi.
Seperti ciuman
perempuan dan bintang-bintang.
Tapi perempuan
tua ini selalu merayuku dan minta aku menyusu pula
hingga kering
dan mandul teteknya.
Itulah dunia.
III
Akupun sudah
letih naik turun candi, ke luar masuk gereja dan mesjid.
Tuhan makin
sempit rasa kebangsaannya,
“Musa! Musa!
Akulah tuhan orang Israel!” teriaknya
Di mesjid, di
rumah sucinya yang lain ia berkata pula:
“Akulah hadiah
seluruh dunia, tapi sinarku memancar di Arab.”
Aku termenung.
Apa kekurangan orang Jawa?
Kunyanyiakn
Bach dalam tembang kinanti dan kupulas Budha jadi
seorang dukun
di Madura.
Aku menemu
sinar di mata kakekku yang sudah mati.
Bila hari
menahun dan kota jadi benua, aku akan bikin negeri di sebuah
flat karena aku
pun adalah rumah-Nya.
IV
Bercakap-cakap
dari pintu ke pintu. Bernyanyi dari pintu ke pintu. Mengetuknya berkali-kali.
Sudah lama aku tak tahu di mana Dia sebenarnya, di mesjid, di kuil ataukah di
gereja.
Pernah aku
percaya benar pada cinta dan kebijaksanaan yang jauh dari kemauanku sendiri.
Kata mereka, “Berbaiklah kepada semua orang dan berjalanlah di jalan
suci!” Bagai seekor keledai aku pun
melenggang membawa beban berisi hartanya dan sampai di sebuah gurun.
Kafilah tidak
bisa menunjukkan jalan lagi. Kemi berpisah tengah malam. Bintang-bintang
berloncatan gembira di langit yang tinggi. Tapi di tengah kelaparan dan panas
aku pun menjelma seekor singa. Aku tak mau lagi mendengarkan khotbah dan
nasehat. Sakramenku ialah ketiadaan. Sahabatku perobahan yang terus-menerus.
Dan kota suciku ialah hati. Kalau di menara itu nanti kuteriakkan azan
cacing-cacing akan berkumpul mendatangiku di waktu magrib bersembahyang
berzikir mendoakan ketentraman dunia yang baru.
V
Tidak.
Sebaiknya kau datang saja di sore hari di saat aku bercermin.
Tapi jangan
lagi mewujud atau menjelma.
Tuhan, siapakah
namaMu yang sebenarNya? Dari manakah asalMu?
Apakah
kebangsaanMu? Dan apa pula agamaMu?
Manusia begitu
ajaib. Mereka pandai benar membuat ratusan teori
tentang Aku
dengan susah payah. Tapi siapa Aku yang sebenarnya
Aku sendiri pun
tidak pernah tahu siapa sebenarnya Aku, dari mana
dan sedang
menuju ke mana.
1974
Larut Malam, Hamburg Musim Panas
Laut tidur.
Langit basah
Seakan dalam
kolam awan berenang
Pada siapakah
menyanyi gerimis malam ini
Dan angin masih
saja berembus, walau sendiri
Dan kita hampir
jauh berjalan:
Kita tak tahu
ke mana pulang malam ini
Atau barangkali
hanya dua pasang sepatu kita
Bergegas dalam
kabut, topiku mengeluh
Lalu jatuh
Atau kata-kata
yang tak pernah
sebebas tubuh?
Ketika terbujur
cakrawala itu kembali
dan kita serasa
sampai, kita lupa
Gerimis
terhenti antara sauh-sauh yang gemuruh
Di kamar kita
berpelukan bagai dua rumah yang mau rubuh.
1974
Untuk Sebuah Catatan Harian
Di bawah seribu
mawar
Bulan Juli yang
terbakar
Dan langit
musim panas
Matahari berganti-ganti
Ada bayangan
daun gugur
Pada tingkap
musim mencari
Serta
kuntum-kuntum kapur
Dan kota yang
semakin sunyi
Malam: Berapa
jejak sudah di jalan itu
Dan gerimis
yang pulang sendiri
Ketika lonceng
dari gereja mati
Ketika
pelabuhan dari pulau abadi
Kau berkata,
tak ada stasiun
Sebelum kereta
memencar
Kau berkata,
tak ada daun
Sebelum pohon
berakar
Di bawah seribu
mawar
Bulan Juli yang
terbakar
Dan langit
musim panas
Matahari
menyuling keras sekali
1974
Tentang Abdul Hadi W. M.
Abdul Hadi W.
M. lahir di Sumenep, Madura, 24 Juni
1946. Pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dan kemudian
pindah ke fakultas filsafat universitas yang sama. Kumpulan puisinya Meditasi (Balai Pustaka), kumpulan
esainya Gambar Manusia dalam Sastra.
Mengasuh ruang kebudayaan Dialog di harian Berita Buana dan pernah bekerja
sebagai redaktur di PN Balai Pustaka. Abdul Hadi W.M. sering disebut-sebut
sebagai salah seorang penyair liris terkemuka di Indonesia. Meditasi adalah
kumpulan puisi yang memperoleh hadiah sebagai buku puisi terbaik yang terbit
pada tahun 1976/1977 dari Dewan Kesenian Jakarta dan pada tahun 1979
mendapatkan Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Catatan Lain
Dalam kata
pengantar oleh Penerbit, ditulis pujian Prof. A. Teeuw terhadap puisi-puisi
Abdul Hadi W.M.: “Puisinya adalah puisi
murni. Dia menemukan rahasia bagaimana membiarkan bahasa menggerakkannya.
Tema-tema sajak Abdul Hadi terutama mengenai kesepian, kematian dan waktu.
Sajak-sajaknya banyak yang religius....” Ditambahkan penerbit: “Religiusitas Abdul Hadi dalam sajak-sajaknya
nampaknya bukanlah sesuatu yang persis berada dalam satu agama resmi, tetapi
sesuatu yang berada “di luar jalur” itu dan berusaha lebih menukik ke inti iman
yang menjadi esensi dari berbagai agama besar.”
Lain lagi ungkapan H.B. Jassin,
konon pernah ditulis di harian Berita Buana, 28-2-1977, bahwa estetika puisinya
jelas nampak dalam puisinya. Abdul Hadi dikatakan sebagai salah satu penyair
yang mempunyai pemikiran dan latar belakang estetik tertentu yang jelas. Di
bagian akhir tulisan, oleh penerbit, dikutip ungkapan Abdul Hadi sendiri yang
pernah ditulis dalam Harian Angkatan Bersenjata, 31-10-1978, bahwa puisi adalah bahasa hati. Dan untuk
membacanya diperlukan hati pula. Jadi, kesimpulannya, hati-hatilah jika mendapati sebuah puisi, bisa “meledak”.
Dicopy
dari blog kepadapuisi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar