Judul :
Berlayar di Pamor Badik
Penulis :
D. Zawawi Imron
Cetakan :
II, Oktober 2003 (Cet. I, Juli 1994)
Penerbit :
Tifa Nusantara, Yogyakarta.
Tebal :
xx + 96 halaman; 12 x 19 cm (78 judul puisi)
Gambar sampul
dan Ilustrasi : D. Zawawi Imron
Desain sampul : Narto
Penata Letak :
Amin Barokah
Esai Pengantar : Drs.
Nunding Ram, M.Ed
Beberapa puisi
D. Zawawi Imron dalam Berlayar di Pamor Badik pilihan M. Nahdiansyah Abdi pada 03 Maret 2013
Nyanyian Rahasia
Antara dua
tebing
Jeram
menjeritkan teka-teki
Antara dua
badik
Tatapmu penuh
arti
Nyanyian Gadis Mandar
Di sisi bulan
dan kecapi
kutenun
kasihmu, Abang!
Lembah selatan
kabur diterpa hujan
menyanyikan
rahmat yang biru
O, di jauh mana
engkau berdebar
di laut apa
peluhmu jadi garam?
Sebagai bukti
kau anak Mandar
Petiklah
kecapi, Abang!
Tuk mengalahkan
gelombang dalam diri
Awan putih akan
hinggap di lehermu
mengalungkan
setiaku yang membaca
lembar-lembar
jejakmu dengan membisu
Kalau matahari
nanti tak
terbit lagi di Tinabung
Meski tenunanku
belum selesai
Kucari mayatmu
ke gunung ombak
Di sana sajadah
kuhampar
Sebagai bukti:
dalam diri ada Mandar
Hujan Tana Toraja
air jatuh, di
tanah berlinang jiwa
oh, dingin rasa
hujanku
berjuta rintik
purbakala
menyiram
hutan-hutan perawan
seperti ada
bunyi kecapi
mengiringi
tarian bayang-bayang
oh, hujan
berbisik padaku
tak kudengar
tapi aku tahu
maksudnya
mari kita
bercakap
dengan air yang
meresap
jauh ke dalam
tanah
dan suka pergi
menyusur nadi
menghidupkan
arwah pada mimpi
sonya, di
antara kepungan tapak-tapak hujan
kuingin lelap
dalam dekapmu
bukan aku
sebagai lelaki
tapi sebagai
bayi
yang baru
belajar mendengar nyanyi
dan
nyanyikanlah
bahwa dari
ubun-ubun ke bintang
terjadi jarak
cuma sejengkal
Lagu Laut
Sampaikan
salamku, wahai kecipak laut!
Pada bumi
Bugisku yang hangat
Perahuku
teramat jauh kini berlayar
Kutembangkan
siul di tengah jerit lautan
Dan langit
tempat melukis
hati gadisku
di mana saja
sama birunya
Karena
kesetiaan perlu diuji
oleh jarak,
topan dan cakrawala
Semua gelombang
biarkan terus menggebu
Paling-paling
jadi gambar tenun sarungku
Dan sekian
karang
bisa dihindar
dengan kemudi
Ibu, alangkah
jauhnya Sinjai
Meski tanpa tali
temali
Engkau tetap
tambatan
Dan kalau
malang perahuku karam
Kuyakin hatimu,
ibu,
adalah kuburku
yang sebenarnya
Selalu Laut
Mengapa selalu
laut
yang kusebut
dalam nyanyian?
Dalam kabut
yang gelap
kulihat rohku
seperti ikan
yang berenang
tak punya rumah
Hanya air
asal mula dan
akhir perjalanan
dan perang
telah berlangsung
dalam sajak
atau kehendak
kemudian ditiru
ombak
Memang selalu
laut
Dan hujan yang
sesekali gemuruh
mengajak akar
bahar menari
di sela-sela
ranting sukmaku
Segalanya pun
pergi
Diam mengalir
menabur sandi
Ada Tari dalam Diam
Napasmu yang
ditahan pohon-pohon kabut
mencampakkan
bercak-bercak ke langit senja dan bunga-
bunga yang
mencoba baca jadi buta
Tangis pun
menjadi pohon cuaca yang melindungi tugu
garam yang
segera akan cair mendengar lagu aneh dari
zaman Puangnge
ri Lampulungeng
Kita memang
bukan siput, lumut dan rumput, tapi serasa
sehati dengan
mereka, hingga kecut asam yang melekat di
lidah mereka
kuterjemahkan dengan bahasa cambuk dan
pisau.
Bayang-bayang
yang bertumbangan di ketiak ilalang diam-
diam
menyemaikan bintang pada coklat bumi yang bisu.
Menari dalam
diam tentu ada panen menanti di
belakangnnya
Ada
Ada
Puangnge ri
Lampulungeng: orang pertama yang berkuasa di daerah Wajo
Hidup Tak Hanya
Hidup tak hanya
senyum, kembang dan kelam
tapi juga
keringat,
airmata dan laut
Maka
kalau aku
ditanya senyum
engkaulah kulum
kalau aku
ditanya kembang
engkaulah harum
kalau aku
ditanya kolam
engkaulah salam
kalau aku
ditanya keringat
engkaulah
sengat
kalau aku
ditanya laut
denyutmu yang
pasti kusebut
sementara aku
beranjak
dari tapi ke
tapi
dari kalau ke
kalau
dari pasti ke
mungkin
suara rindu
yang diisyaratkan sayap kupu-kupu
mendatangkan
pinisi purba
aku pun
berlayar
di pamor badik
Pong Tiku
tak kuhitung
berapa awan
yang gugur dan keningmu
tapi
gunung-gunung yang pernah kau taburi rindu
masih tetap
menyimpan madu
kutahu kini
engkau melangkah
memahat jejak
di batu-batu
dari tongkonan
ke tongkonan
senyummu
menyiratkan gelombang karang
jadi harapan
kerbau-kerbau
yang rajin
mencangkul walau kemarau
hutan-hutan itu
masih terasa
istanamu saja
karena
kekhidmatan alam
punya kemerduan
lagu yang amat dalam
pertemuan ini
hanya sebuah ketika
bintang demi
bintang akan tenggelam
sedang sorot
matamu tajam
senantiasa
mengintip
dari sela-sela
hujan yang disiramkan matahari
Malam di Tepi Hutan
Kubaca
kelap-kelip pelita
dari satu ke
satu
Adalah gelap
membuka lembaran-lembaran lalu
Piala purba
yang lama remuk
kini kembali
berbentuk
Padanya airmata
seruling kuteguk
Badik di tangan
bisa dilepas
Badik di hati
yang ditempa
dalam tafakkur
telah siap
menoreh bulan:
Embun hari esok
akan sanggup
melidahkan
deburan ombak
Hanya Seutas Pamor Badik
Dalam tubuhku
kaunyalakan dahaga hijau
Darah terbakar
nyaris ke nyawa
Kucari hutan
sambil
berdayung di hati malam
Bintang-bintang
mengantuk
menunggu
giliran matahari
Ketika kau
tegak merintis pagi
selaku musafir
kucoba mengerti:
Ternyata aku
bukan pengembara
Kata-kata dan
peristiwa
telah lebur
pada makna
dalam aroma
rimba dan waktu
Hanya seutas
pamor badik, tapi
tak kunjung
selesai kulayari
Ziarah
terkenang
Sultan Hasanuddin
Ah, debu
namanya
yang
menyanyikan daunan gugur
Gelisah
ranting-ranting terasa
pada siang di
pekuburan
Dan gadis-gadis
datang
menjelma
selendang ungu
Sementara di
perbukitan
menderu burung
derkuku
Ah, debu juga
namanya
yang
mengabarkan ziarah itu
Siang jadi
berarti
dalam busukan
kembang-kembang
Badik yang
tidur akan bangun
hanya menunggu
Sangkakala
Senja di Pantai Bojo’
Langit
menggeliat tiba-tiba
Ketika azan
diayunkan pohon-pohon kelapa
perahu yang
berlayar ke langit
tiangnya
semakin bisu
Bugis, nama
tempat telur menetas itu
Darah yang
menetes
tak seluruhnya
punya nestapa
Segalanya telah
sempurna
tapi serasa
belum selesai
Sebentuk sujud
putih
dan laut pun
turun ke dasarnya
bersama
bintang-bintang
Amboi, lihatlah
itu di belakang karang
Seekor
cumi-cumi
sedang
meninabobokan matahari
Tanah Wajo
Buat Pak A.
Amiruddin
Siapa yang
telah menyuarakan
jeram dari
langit itu?
Aroma bulan
yang semalam menepuk laut
mengemasi embun
di pundak pagi
Burung-burung
berhinggapan di pohon sukma
menyulamkan
duka lama
di daun-daun
lontara
Kucari Wajo
dalam diri
(tanah
kelahiran badikku)
Gairah bertabur
ke lembah-lembah
Gema sejarah
yang mulai senyap
kutemukan di
pelukan melati
Hidup yang
bergetar
menyelesaikan
derai ombak di pantai
Dan Wajo yang
makin tua, makin purba
bagaikan remaja
yang gagah
menari
sambil menabuh
mentari jadi genderang
Tentang D.
Zawawi Imron
D. Zawawi Imron lahir di desa
Batang-batang, Kabupaten Sumenep, ujung timur pulau Madura. Setamat Sekolah
Dasar ia nyantri di pesantren. Mulai terkenal sejak Temu Penyair 10 Kota di
Taman Ismail Marzuki tahun 1982. Kumpulan puisinya: Semerbak Mayang
(1977), Madura, Akulah Lautmu (1978), Derap-derap Tasbih, Bulan
Tertusuk Lalang, Nenekmoyangku Airmata (mendapat hadiah Yayasan Buku Utama
tahun 1985), Bantalku Ombak Selimutku Angin, Madura, Akulah Darahmu, Kujilat
Manis Empedu, Refrein di Sudut Dam. Sajak-sajaknya ada yang diterjemahkan
ke dalam Bahasa Inggris, Belanda, dan Bulgaria.
Catatan Lain
Beberapa kali
penyair D. Zawawi Imron datang ke tanah Banjar, seingat saya, waktu Aruh Sastra
III di Kotabaru bersama penyair Sutardji Calzoum Bachri, juga di Aruh Sastra
sebelumnya, di Kandangan atau Tanah Bumbu. Juga pernah mampir di Minggu Raya,
lewat sms yang pernah saya terima. Tapi saya benar-benar belum pernah
bersitatap dengan penyair ini. Mungkin suatu hari nanti. Komentar Kuntowijoyo
di cover belakang buku: “D. Zawawi Imron adalah satu-satunya penyair
Indonesia yang seolah-olah mempunyai dua tumpah darah. Madura dan Makassar.
Makassar diabadikan dengan puisi-puisi dalam ‘Berlayar di Pamor Badik’, 1994.
Barangkali karena orang-orang Makassar banyak mengembara di pulau-pulau kecil
sebelah timur Sumenep, barangkali karena celurut bagi orang Madura sama seperti
badik bagi orang Makassar, barangkali juga karena Trunojoyo dari Madura pada
abad ke-17 dulu bersahabat dengan Karaeng Galesong.” Adapun buku ini tak
memiliki bagian-bagian. Semua di bawah satu bendera: Berlayar di Pamor Badik.
Dicopy
dari blog kepadapuisi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar