Di Irak, Bahkan
Doa pun Remuk
di irak, di
kilang-kilang minyak, di padang-padang debu, di
gudang-gudang
peluru dan mesiu, bahkan doa pun remuk.
tulang-belulang
kami tak bisa lagi menggali tanah, tempat kami
menyuling hidup
di ladang-ladang minyak, tempat kami
mengilang bom
di padang-padang amuk. semua telah jadi api,
dan kami
berkobar merebus darah sendiri, membakar-bakar
kami pungut
pecahan doa di reruntuhan kilang dan gedung,
lalu kami
suling jadi patung api, tempat kami mengenang
tanganmu
meledakkan matahari di padang paling sunyi. kami
coba menata
kembali doa kami yang remuk, tulang-belulang
kami yang
luluh-lantak, lalu kami rakit jadi bom dalam diri
kami. setiap
saat ia meledak tanpa kami merasa pernah mati.
malam-malam
kami dirayapi tank, dicekam rudal, diintai
peluru.
diraungi ledakan-ledakan. langit pun pecah. tanah
terbelah. dan
kaki anak kami patah. dan kaki anak kami patah.
dan hati anak
kami pecah. dia menangis. tapi yang terdengar
dari isak
tangis anak kami adalah bisik tertahan di raung sirine
perang:
orang-orang mati doa di kilang tangisku. orang-orang
mati doa di
kilang tangisku.
ya. kami coba
menata kembali doa kami yang remuk, tulang-
belulang kami
yang luluh-lantak, lalu kami rakit jadi bom jadi
rudal jadi
nuklir dalam diri kami. setiap saat ia meledak tanpa
kami merasa
pernah mati.
2003
Belajar pada
Batu-batu
belajar pada
batu-batu, alif demi alif
di matamu
kueja. dingin alismu menelikung pada
setiap tembok
yang membangun sunyi nafasku. di sana
kau taburkan
bunga dan batu
sambil menciumi
telapak tanganmu yang kosong
belajar pada
batu-batu, tuak di gelas-gelas
kutumpahkan.
meja terluka. kursi bergerak
ke arahku
awan bergerak
memandangmu, mengais-ngais
jasadku dari
rumpun daun yang mengering, padahal
di situ,
batu-batu yang diam masih kurenungkan
1988
Penyair di
Pojok Tikungan
karena setiap
bahasa memiliki tanda kurung dan garis miring,
penyair selau
berdiri di pojok tikungan
penuh bahaya
itu. ia tak mampu lagi
memahami gelora
bahasamu saat kau berusaha menegakkan
menara cahaya,
tapi ia tahu, di balik garis miring,
seribu tanda
kurung masih menunggu
tak terbakar
penyair menggelora di magma bahasa
menyergap
bayang-bayang patah warna. tapi ia tak tahu,
bahwa di pojok
tikungan itu,
ia sedang
mendaki garis miring dalam tanda kurung
yang terbuat
dari airmata ibunya
2001
Bayang-bayang
pada usia
berapakah matahari menciumimu? usia beredar
sepanjang ajal:
perjalanan yang tak sampai-sampai pada hujan
sementara
percakapan dengan dinding tak pernah sampai
ke cakrawala.
berapakah usia matahari, ketika dia turun
memeluk nafasmu
dalam tidur yang menggelisahkan
tak kujemput
bayang-bayangmu pada ufuk matahari
yang jauh sebab
setiap kali berusaha mengenangmu,
aku selalu
melupakanmu
di manakah
jejak-jejak itu menggariskan airmata?
luka tak lagi
memercikkan darah, melainkan nyanyian
yang dipetik
dari gitar kayu: menimbang-nimbang matahari
dan kemudian
menggulirkannya sepanjang darah sembahyang
ingin
menurunkan matahari, aku begitu khusyuk
memeluk
cakrawala ...
1991
Bernafaslah
pada Ombak
bernafaslah
pada ombak. karena danau telanjur
menyimpan buih.
membendung gelombang zaman
dan
menghanyutkan doa. dari bukit sukmamu
batu-batu pun
hanyut ke dalam sujud muara,
memadatkan
tangis benua
dari dasar
laut, ombak membangun gelora malam.
lampu-lampu
nelayan menggeliat, jadi bintang
di keluasan
matamu. mengedipkan mata ikan
pada kail dan
jala yang mulai cemas
menunggu. di
sini, lumpur menghampar,
menenggak air
sembahyang dari cangkir-cangkir kecemasan
1987
Rubaiyat
Matahari
1
dengan bismilah
berdarah di rahim sunyi
kueja namamu di rubaiyat matahari
kau dengar aku menangis sepanjang hari
karena dari november-desember selalu lahir januari
kueja namamu di rubaiyat matahari
kau dengar aku menangis sepanjang hari
karena dari november-desember selalu lahir januari
2
engkaulah sepi
di jemari hujan
kabar semilir dari degup gelombang
engkaulah api di jemari awan
membakar cintaku hingga degup bintang-gemintang
kabar semilir dari degup gelombang
engkaulah api di jemari awan
membakar cintaku hingga degup bintang-gemintang
3
atas sepi
perahuku bercahaya
membawa matahari ke jantung madura
atas bara api cintaku menyala
menantang matahari di lubuk semesta
membawa matahari ke jantung madura
atas bara api cintaku menyala
menantang matahari di lubuk semesta
4
aku peras laut
jadi garam
mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
aku bakar langit temaram
bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
mengasinkan hidupmu di ladang-ladang sunyi
aku bakar langit temaram
bersiasat dengan bayangmu dalam kobaran api
5
batu karam
perahu karam
tenggelam di rahang lautan
darahku bergaram darahmu bergaram
menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
tenggelam di rahang lautan
darahku bergaram darahmu bergaram
menyeduh asin doa di cangkir kehidupan
6
karena laut
menyimpan teka-teki
di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
karena layar hanya selembar sepi
di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
di puncak suaramu kurenungi debur gelombang
karena layar hanya selembar sepi
di puncak doamu kukibarkan bintang-gemintang
7
pohon cemara
ikan cemara
menggelombang biru di riak-riak senja
antara pohon dan ikan kita adalah cemara
mendekap cakrawala di dasar samudera
menggelombang biru di riak-riak senja
antara pohon dan ikan kita adalah cemara
mendekap cakrawala di dasar samudera
8
di rahang
rahasia rinduku abadi
sampai runtuh seluruh sepi
rinduku adalah ketabahan matahari
menerima sepi di relung puisi
sampai runtuh seluruh sepi
rinduku adalah ketabahan matahari
menerima sepi di relung puisi
9
di relung malam
lambaianku menua
juga pandanganmu di kaca jendela
alangkah dalam makna senja
menanggung berat perpisahan kita
juga pandanganmu di kaca jendela
alangkah dalam makna senja
menanggung berat perpisahan kita
10
dari pintu ke
pintu ketukanku kembali
tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
dari rindu ke rindu aku pun mengaji
tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi
tak lelah-lelah mencari januari di reremang pagi
dari rindu ke rindu aku pun mengaji
tak tamat-tamat membaca cinta di aliflammim puisi
2002-2003
Tentang Jamal
D. Rahman
Jamal D. Rahman
lahir di Lenteng Timur, Sumenep, Madura, 14 Desember 1967. Alumnus Pondok
Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, kemudian IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, dan menamatkan S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia. Menulis puisi, esai, kritik sastra, seni dan budaya. Tulisannya
tersebar di berbagai media massa. Kumpulan puisinya: Airmata Diam (1993) dan Reruntuhan
Cahaya (2003). Menjadi redaktur majalah sastra Horison (sejak 1993) dan pernah
menjadi sekretaris di Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006).
Data Buku Kumpulan Puisi
Judul : Garam-garam Hujan
Penulis : Jamal D. Rahman
Cetakan : II, April 2004
Penerbit : Hikayat Publishing, Yogyakarta
Tebal : xii + 108 halaman (100 puisi)
Desain Sampul : Herry Dim
Lukisan Sampul : "Di Padang Sembahayang" karya Herry Dim,
berdasarkan puisi Jamal D. Rahman
Pemeriksa aksara : Kholiq Imron
Tata letak : Bambang Suparman
ISBN : 979-98420-5-0
link : http://jamaldrahman.wordpress.com
Catatan Lain
Dalam Catatan
Penulis, Jamal D. Rahman menuturkan: "Garam-garam Hujan ini berisi
puisi-puisi saya yang terbaru, ditambah dengan beberapa puisi dari Reruntuhan
Cahaya, kumpulan puisi saya yang kedua, dan puisi-puisi dalam Airmata
Diam, kumpulan puisi pertama. Semula, buku ini direncanakan sebagai cetak
ulang Airmata Diam. Setelah mendiskusikannya dengan penerbit Hikayat,
Yogyakarta, dan Agus R. Sarjono, penyair dan sahabat saya, akhirnya saya
putuskan untuk menjadikannya buku tersendiri. Jadilah ia buku ini."
Garam-garam
Hujan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Rubaiyat Matahari, puisi yang
ditulis pada kurun 2002-2004 (25 puisi), Anak-anak Tembakau, 1988-2002
(25 puisi), dan Airmata Diam, 1988-1991 (50 puisi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar