Judul
: Anak Laut Anak Angin
Penulis
: Abdul Hadi W. M.
Cetakan
: -
Penerbit
: -
Tebal
: 137 halaman (106 judul puisi)
Tata
rupa dan grafiti : Mochtar Apin
Beberapa
puisi Abdul Hadi W. M. dalam Anak Laut Anak Angin pilihan M. Nahdiansyah Abdi pada 04 Mei 2012
Sajak
Samar
Ada
yang memisah kita, jam dinding ini
ada
yang mengisah kita, bumi bisik-bisik ini
ada.
Tapi tak ada kucium wangi kainmu sebelum pergi
tak
ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri
1967
Madura
Angin
pelan-pelan bertiup di pelabuhan kecil itu
ketika
tiba, dengan langit, pohon, terik, kapal
dan
sampan yang tenggelam di pintu cakrawala
Selamat
pagi tanah kelahiran
Sebab
aku tak menghitung untuk ke berapa kali
Kapan
saat menebal pada waktu
Sebab
aku tahu yang paling berat adalah rindu
Sangsi
selalu melagukan hasrat dan impian-impian
Dan
adakah yang lebih nikmat daripada bersahabat
dengan
alam, dengan tanah kelahiran, dan
dengan
kerja serta dengan kehidupan?
Aku
akan mengatakan, tapi tidak untuk yang penghabisan:
Ketenangan
Selat Kamal
adalah
ketenangan hatiku
membuang
pikiran dangkal
yang
mengganggu sajakku
kurangkul
tubuh alam
seperti
mula kelahiran Adam
sedang
sesudah mengembara
baiklah
kita rahasiakan
dari
perjalanan ini
aku
membawa timbun puisi
bahwa
aku selalu asyik mencari
keteduhan
mimpi
kebiruan
Selat Kamal
adalah
kebiruan sajakku
dan
terasa hidup makin kekal
sesudah
memusnah rindu
bertemu
segala milik dan hak
dalam
cinta dan sajak
noktah-noktah
berdebu di bersihkan
di
kedua tangan
kuberi
pula salam sayup
kepada
pantai yang berbatas pasir
dan
langit yang mulai redup
pada
waktu sajak lahir
Kedangkalan
Sungai Sampang
adalah
kedangkalan hatiku
menimbang
hidup terlalu gamang
dan
di situ ketergesaan mengganggu
dan
terlalu tamak
dengan
kesempurnaan
dengan
sesuatu yang bukan hak
dengan
kejemuan
tetapi
sekali saat tiba juga
pada
suatu tempat
tanpa
petunjuk siapa-siapa
asal
kita bersempat
mengerti
juga kenapa kiambang
bertaut
sepanjang sungai
dengan
belukar dan kembang-kembang
sebelum
kita sampai ke dasar dan muaranya
Diamnya
Sungai Sampang
adalah
diamnya sajakku
sekali
waktu banjir datang
sekali
waktu airnya biru
dan
bertetap tujuan
ke
suatu muara
yang
berasal dari suatu daerah pegunungan
untuk
sumber pertama
Kerendahan
Bukit Payudan
adalah
kerendahan hatiku
menerima
nasib dalam kehidupan
di
atas kedua bahu
sesekali
pernah kita
tidak
tahu tentang kelahiran
dan
bertakut menjadi tua
karena
ancaman kematian
Keramahan
Bukit Payudan
adalah
keramahan sajakku
untuk
mengerti kepastian
yang
lebih keras dari batu
sesekali
pernah kita
tidak
tahu ke mana mengembara
kemudian
muncul kembali di tanah kesayangan
dengan
kehampaan di tangan
tak
seorang menyambut datang
tak
seorang menanti pulang
tak
seorang menerima lapang
atau
membacakan tembang-tembang
dan
kesia-siaan begini
akan
selalu kualami
namun
tak selalu kusesali
sebab
kubenam sebelum jadi
Keterpencilan
desa Pasongsongan
adalah
keterpencilan hatiku
sebelum
memulai perjalanan
ke
jauh kota dan pulau
tapi
keabadian lautnya kini
telah
mengembalikan cintaku
tanah
yang pernah tersia sebelum dimengerti
dan
ditinggalkan rasa kebanggaanku
dan
sebagai anak manusia
sekali
aku minta istirah mengembara
berhenti
membuat puisi yang mendera
dan
berhenti memikat dara-dara
sebab
di sinilah tumpahnya
darah
kita pertama
dan
terakhir berhentinya
mengaliri
nadinya
1967
Fragmen
Belumkah
ada lindap sebelum
kau
kembali ke kamar
yang
suram dan kutandai musik beku?
Bayangan
itu jadi gerimis
dan
meleleh di kebon rumah yang gelap
Aku
jadi garang pada malam seperti itu
dan
ingin kukecup bibirmu semutlak mungkin
seperti
juga hujan di padang-padang
dengan
ringkik kuda yang memburu mega terbit
Rampungkan
sepimu dan matangkan dagingmu
sampai
jadi lengkap perjalanan kita nanti
pelancongan
menuju dunia tanpa penyesalan
hingga
pada suatu hari nanti
aku
tak lagi bermimpi
tentang
gua di rimba perburuan itu
1971
Tuhan,
Kita Begitu Dekat
Tuhan,
Kita
begitu dekat
Sebagai
api dengan panas
Aku
panas dalam apimu
Tuhan,
Kita
begitu dekat
Seperti
kain dengan kapas
Aku
kapas dalam kainmu
Tuhan,
Kita
begitu dekat
Seperti
angin dan arahnya
Kita
begitu dekat
Dalam
gelap
kini
aku nyala
dalam
lampu padammu
1976
Sajak Putih
Kita
telah menjadi sekedar kenangan
lembaran
asing pada buku harian
seperti
tak pernah kautuliskan
peristiwa
itu
Bunga-bunga
sudah berguguran
tangkai
dan kelopaknya
Pohon-pohon
kering
Dan
jendela jadi kusam
Seperti
senja bakal tenggelam
Dan
Titi telah semakin tua
meninggalkan
masa kanak-kanaknya
Seakan
cairan lilin
yang
mengental
jadi
malam
Dan
masa-masa cintamu
hanyalah
onggokan
puntung
rokok
di
lantai
yang
dingin
Dan
dengan pot-pot bunga
betapa
asingnya
Kita
1971
Exodus
Menyandang
beban sunyi ini di sini
Menyandang
beban salib ini di sini
Menyandang
kehilangan
Yang
seakan
Genderang
mainan dipukul ombak
Di
antara teluk dan pasir pantai
Serta
senja yang menutup dinding laut ini
Kau
mencari
Jejak
nelayan
Nyiur
tidak mendesir dan pelabuhan
Sudah
jarang dikunjungi kapal-kapal
Menyandang
sepi ini di sini
Menyandang
kesal pikiran dan kekacauan ini
Menyandang
mainan
Yang
diberai ombak, senja, teluk dan pasir hitam
Seakan
pecahan batu karang pada pantai yang legam
Kau
mencari
Jejak
nelayan
Nyiur
tidak mendesir dan pelabuhan
Sudah
jarang dikunjungi pelaut
Burung-burung
pantai pergi, senja pergi
Tinggal
genderang mainan ini
Berbunyi
dan berbunyi juga
Dan
betapa dekatnya sekarang
Hari
haus dan lapar kita
Betapa
dekatnya
1970
Meditasi
Itulah
bidadari Cina itu, dengan seekor kilin
dan
menyeret kainnya basah: menggigil dalam kuil
(daun-daun
salam berguguran dan di beranda
masih
terdengar suara hujan, hujan pasir) Ia
menunjukkan
yin-yang yang kabur di atas pintu
dan
di mataku terasa hembusan angin yang merabunkan
(lihatlah,
ujarmu, ia mengajak kita ke tempat sepi
di
mana berdiri sebuah makam kaisar yang mati
dalam
pertempuran merebut kota dari desa) Angin
berlarian
menghamburkan bau-bauan dari tangan
perempuan-perempuan
yang wangi dan kedinginan
di
atas gapura yin-yang yang mulai memuat lumut
dengan
tulisan-tulisan tua yang tak terbaca sudah
(langit
adalah bayang-bayang, kau menyesal
telah
memimpikannya; dan di sebelahnya
berdiri
gedung, beribu sungai dan tebing gunung
yang
terbuat dari batu, anggur dan lempung
yang
kini menampakkan bintang kemukus yang panjang)
Itulah
bidadari Cina itu dan mendekat ke arahmu
memandang
dinding dan bertelanjang di sofa, tapi tak mengerti
(ia
membeku jadi arca, waktu tentara kaisar mulai
membangun
kota di langit) dan beribu mantra
memenuhi
telinganya yang tuli
1972
Angin:
Mendesir Lagi
Angin;
mendesir lagi
Hampir
mengantuk
Ada
sepi
Berbisik
di dahan-dahan pohon
Lagi
tahu, gerimis turun
Di
luar kamar yang tembaga
Di
luar rongga kata
Engkau
gemetar karena musim
Cemas
dalam kata
Dan
tahu: ada yang tiada
Bangkit
di jendela
Dan
mungkin: senja
1968
Bahkan
Bahkan
jarum jam pun hanya mengulang
andai
detiknya bukan kejemuan, kau tangkap
keluh
bumi seperti anak yang tak habis berharap
dan
mata kecilnya yang gelisah
memandang
laut hanya dunia garam dan ikan-ikan
Bayang-bayangmu
juga
yang
susut karena lampu di pelupukmu padam
Lebih
menjemukan dari rembang petang
Tapi
berangkatlah!
Di
seberang gelombang mungkin udara terang
1976
Anak
Anak
ingin menangkap gelombang
rambutnya
memutih seketika
Ia
mengerti laut dalam
tapi
tak tahu di mana suaranya terpendam
Ketika
angin berhembus
bahkan
dahan-dahan pun diam
Ketika
air surut
bahkan
pasang pun tak karam
Ketika
tidur merenggut
di
langit tak sebutir bintang
1975
Gnoti
Seauton
Manusia
bebas, ruhnya bagai
firman
Tuhan, embun dalam cuaca putih
mencucinya
Manusia
bebas, ruhnya berjalan
ke
tempat-tempat jauh dan menemui para nabi dan orang suci
Di
muka laut, ditemuinya batu karang
dan
awan buruk
Manusia
bebas, ruhnya bagai
rantai
emas yang dibelenggu matahari dan waktu
Di
tengah alam yang sempit: Nasib
menyesak
jantung dan tenggorokan
dan
menimbulkan batuk dan dahak kotor
di
tengah alam yang sempit: Kita
mencari
puncak kenikmatan
Manusia
bebas, ruhnya mencari
bayang-bayang
Tuhan
gambar
binatang
perwujudan
dewa-dewa
yang
putus asa
Di
gerbang kuil besar:
Ruh
terbang dan tidak kembali
1969
In
Memoriam Amir Hamzah
Keranjang
itu masih menatap. Tahun mau berbunga
Tapi
langit berangkat kemarau di jendela
Tanganmu:
Mulut yang mengucapkan kebenaran ombak
Tapi
pendayung-pendayung datang terlambat
Kita
jenguk ke air. Obor itu menyalakan malam
Angin
itu angin kita. Tapi tak menghembus sampai senja
lain tiba.
1976
Batimurung
I
Tubuhmu
membuat air di jeram ini berterjunan
lagi
lebih
gemuruh kini melemparkan rusukku
ke
tebing-tebing gunung
Aku
terbangun
seperti
kupu dari pompongnya
Perih
karena
kelahiran
Tapi
sumber-sumber yang kutemukan
dari
sanalah kata memancurkan sajak dan mantra
Ladang-ladang
yang kau gemburkan
kutanam
di sana segala jenis padi dan buah-buahan
Penat
kini kupikul hasil panennya
berupa
rindu dan cinta
berupa
gelisah dan luka
Seperti
lama dulu
kupapar
lagi jiwaku dalam madu di atas bara
1977
Tentang Abdul Hadi W. M.
Abdul
Hadi W. M. lahir di Sumenep, Madura, 24 Juni 1946. Pernah kuliah di
Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dan kemudian pindah ke fakultas
filsafat universitas yang sama. Kumpulan puisinya Meditasi (Balai Pustaka),
kumpulan esainya Gambar Manusia dalam Sastra. Mengasuh ruang kebudayaan Dialog
di harian Berita Buana dan pernah bekerja sebagai redaktur di PN Balai Pustaka.
Abdul Hadi W.M. sering disebut-sebut sebagai salah seorang penyair liris
terkemuka di Indonesia
Catatan Lain oleh M. Nahdiansyah Abdi
Kumpulan
puisi Anak Laut Anak Angin merupakan sehimpun sajak dari kumpulan-kumpulan
puisi Abdul Hadi yang pernah terbit, yaitu Laut belum Pasang (Litera, Jakarta,
1971), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (Pustaka Jaya, Jakarta,
1975), Cermin (Budaya Jaya, Jakarta, 1975), Tergantung pada Angin (Budaya Jaya,
Jakarta, 1977) dan beberapa sajak yang tersebar.
Buku ini sebenarnya agak aneh, karena saya tak melihat siapa penerbitnya dan
cetakan yang ke berapa. Yang ada malah keterangan siapa yang membikin tata rupa
dan graffiti. Di sampul depan buku hanya ada sebuah symbol huruf H, kemudian di
bawahnya ada angka tahun 1949, dan di bawahnya lagi ada tulisan kecil:
Didirikan oleh Jusuf Panigoro.
Inisial W.M. kalau tak salah ingat adalah kependekan dari Widji Muthari, tapi
secara berseloroh, Ibramsyah Amandit, pernah mengatakan kalau WM itu Wong
Meduro. Ya, penyair senior Kalsel ini pernah selorong bertetangga sewaktu kos
di Blimbing Sari, Yogyakarta sekitar tahun 1970-an. Abdul Hadi waktu itu kuliah
di Filsafat UGM dan kai janggut naga kuliah di fakultas keguruan ilmu sosial
IKIP. Dan cerita yang selalu dia ulang-ulang, ia pernah menyodorkan
puisi-puisinya kepada Abdul Hadi W.M. dan dikomentari sebagai puisi “bungkus
kacang”!. Ia selalu mengenang cerita itu dengan perasaan gembira. Sekian lama
tak memiliki kontak, lewat jasa seseorang yang kuduga adalah Hudan Nur, kai
dapat kembali menyambung silaturahmi. Mula-mula Abdul Hadi W.M. diminta memberi
prolog dalam kumpulan puisi kai yang berjudul Badai Gurun dalam Darah, hingga
muncullah tulisan Abdul Hadi W.M. Nada Keras dan Garang Sajak-sajak Ibramsyah.
Selanjutnya, mereka kopi darat, caranya lewat momen Aruh Sastra Kalsel. Abdul
Hadi W.M. didaulat menjadi pemakalah dalam acara yang digelar tahunan itu,
waktu itu tempatnya di Marabahan, Kab. Barito Kuala. Kloplah.
Adapun tentang buku ini, adalah koleksi dari almarhum Eza Thabry Husano. Ada
tanda tangan yang bersangkutan dan tanggalnya, yaitu 30-VII-87. Kemudian ada
cap Kilang Sastra Batu Karaha dan cap toko buku M. Joenoes.
Dicopy
dari blog kepadapuisi.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar