Kota Kenang-kenangan
/1. Sampang
kau datang padaku membawa kekhusyukan kampung:
daun-daun gugur dari kepalamu,
para petani membajak sawah di pagi basah
tampak riang menari padi di kedalaman matamu
kau meminangku dengan basmalah bisu di ujung bibir
saat asin tubuh belum kubasuh
karena angin tambak berhembus membawa aroma
garam
kau tahu aku tak pernah kesepian,
setiap waktu deru mesin di jalanan bersenandung
menyanyikan lagu-lagu kenangan yang teramat
menyedihkan
lampu-lampu merkuri mengedipkan matanya pada kendaraan
sedikit bunyi klakson atau sekadar teriakan kernet
bis
cukuplah melambangkan dunia dalam batinku
sementara kau membawa harum ladang-ladang kering
tempat burung-burung kawin dengan angin,
pertunjukan yang tercipta atas nama langit
malam sakit tak bisa menghafal desah nafas kita:
kau menjelma bayangan yang boleh menyusup ke dalam
bajuku tanpa dosa
aku menjelma bidadari suci yang tak bisa menyimpan
hasrat rahasia
/2. Surabaya
Lidah Wetan tempat kita bermain kucing-kucingan dengan
seekor anjing
sembunyi di semak-semak dekat lapangan tenis
sepi menjalar lewat ranting-ranting pohon rindang
dan jatuh di hadapan kita, menjelma segumpal asap
kelabu
kita berpandangan seperti sepasang kekasih dalam novel
fiksi
tersenyum layaknya sebuah lukisan alam, hijau kemilau
dengan rumput-rumput setinggi mata kaki ditempa sinar
matahari
seekor kodok dalam tempurung merasa aman dari amukan
cuaca
dalam dekapanmu aku pun tak mengenal dunia di luar
sana
gerimis rintik-rintik jatuh seperti petikan gitar tua
kesibukan kota kala meramal nasibnya, tiba-tiba
menjelma kesunyian
seperti kelokan jalan-jalan sepi; hanya orang-orang
berlari
menyeret kegelisahan yang bersarang dalam batinnya
“kelak di persimpangan itu kita berpisah,” katamu.
aku percaya akan datang waktu kepergian mencengangkan
mungkin karena ada seribu rencana belum dilaksanakan
atau hanya karena aku telah percaya pada takdir
meski takdir seringkali menolak jatuh cinta pada
harapan-harapanku
“di manakah ujung sebuah jalan?”
“o, ia tak punya pemberhentian terakhir
ia tak dilahirkan dari sebuah peristiwa”
lalu aku merasa lebih tua dari hitungan angka kalender
kupejamkan mataku, serasa ingin jadi bunga tidur
yang tumbuh di antara akar-akar menjalar
hingga usia lupa menentukan hari
kapan aku harus menggugurkan daun-daunku
/3. Pare
aku membaca slogan pada pada baju kaus
“kota kecil penuh kenangan”
mungkin gunung Kelud atau Simpang Lima Gumul
yang kerap memanggil para pendatang untuk ziarah
kembali
ke tanah basah tempat orang-orang belajar menjadi
orang asing
sebuah ritual klise tampak pada wajah-wajah lama
mereka
kenalan baru, kampung halaman baru
tak menyuguhkan cerita lain selain keakraban pada
kesederhanaan
roda-roda sepeda yang berputar memasuki gang-gang
tapi aku punya tokoh lain di sini, yang sanggup memberi
salam
dengan denting suara lebih indah dari piano
sayup-sayup menyusup ke dalam telingaku dan
membangunkan
seluruh bulu kudukku—kaulah itu,
mata yang menyimpan ketenangan air sungai
bibir yang mengulum ketabahan lumpur hitam
tak ada yang sakral namun tampak lebih binal
untuk mengutuk rindu menjadi hantu mimpi bunga tidur
bunga yang tak ingin daun-daunnya gugur
dan tak mau melepas dekapannya pada musim hujan
musim yang akrab dengan petani padi perkampungan
di mana kini, dalam dirimu tampak tergambar
menyiratkan kesopanan cangkul
hari terakhir sebelum kepulangan
telah kukenakan baju kaus bertuliskan:
kota kecil penuh kenangan
agar aku tak merasa menjadi orang asing bagi
kesunyianku
yang dalam sekaligus menakutkan
/4. Yogyakarta
di kota ini aku tiba sebagai pengunjung
kesetiaan
alun-alun kidul mengabadikan jejakku
Malioboro tua menghafal harum keringatku
kulipat jarak membentang bernama rantau
demi jarum jam yang mampu membahasakan waktu
sebagaimana Merapi, aku senantiasa ingin meletupkan
api tubuhku. atau seperti laut selatan yang ombaknya
tak henti bergulung-gulung, aku ingin bermain-main
memukul karang yang menganga di tubuhmu
tapi persimpangan yang kubayangkan di masa silam
telah tiba di hadapan kita, dan kita tak bisa memilih
jalan kembali
sebab kita tak bisa mencintai matahari kemarin
dan dilarang jatuh cinta pada hari kelahiran
“aku kini menjelma kota kenang-kenangan
yang tak tahu, kepada siapa akan dihadiahkan”
(Jogokariyan, 2013)
Balada Kampung Halaman
/1. anak-anak
tak boleh menggertak bumi dengan kaki
kita telah berjanji pada matahari
menjadi anak-anak patuh pada taji leluhur
tundukkan kepala seperti burung-burung
membaca mantra musim hujan, angin diam
mendesaukan amin bernada sumbang
biarlah para musafir datang membisikkan
kabar ujung dunia, samudra jauh
kapal-kapal ditambatkan menanti penumpang
kita tak punya restu agung jadi pengembara
kita telah terkurung sejak kelahiran tiba
senyap mata kita menyimpan ruang kosong
lebih tenang dari surau-surau tua tanpa jendela
hingga kita tak tahu cara menangis tersedu
meski tiba-tiba seribu anak panah menyerbu
sebab kita dilahirkan dari rahim belantara
dekat sungai dan sawah kuning padi
lalu merangkak mengikuti alunan melodi
ditiupkan muadzin di penghujung hari
layang-layang menari di langit tinggi
bersiul merayu bintang-bintang
sesekali terbang lebih tinggi
menyusup dalam dekapan awan
“gantungkan mimpimu setinggi atap
kalau jatuh tak akan sampai pada kematian.”
lalu kita merancang peta perjalanan
dari sawah ke ladang
dari akar ke sumur terdalam
/2. bindring
“kita membaca zaman, hidup itu perburuan
tembakkan anak panahmu pada binatang
kalau tak kena, biar kita tembak para pemburu”
apa yang kita lihat pada wajah sendiri
selain kerutan yang menandai senyum takdir
tak henti menyingkirkan kita dari cerita cinta
dengan segala romantika rindu mengguntur
melecut sampai ke dalam tidur kita paling sunyi
kita mengukur panjang jarak jalan berliku
desa-desa yang penduduknya penuh kemurungan
lalu mencatat banyak kenakalan tak sampai hati
untuk dihentikan, karena kita tak merasa bosan
istighfar kita adalah lagu sepi yang dinyanyikan
persimpangan
saat memutuskan satu arah yang mengantar kita
jauh ke pedalaman kampung tanpa kerlipan bola lampu
dosa mengajari kita menjadi roda sepeda
patuh dan setia menapak di mana saja
bunga-bunga mekar di ladang,
senyap mata kita memandang
membayangkan istri di atas ranjang,
harum tubuhnya aroma kembang
kita harus terus berjalan dan berhenti mengenang
agar doa hujan yang kita bisikkan dikabulkan Tuhan
lalu kita bisa menjelma dahan menjuntaikan buah-buahan
o, dengarlah seorang bayi memekikkan tangisnya yang
pertama
suaranya menyayat luka jantung kita—berdarah!
kita selalu tenggelam dalam tatapan kosong mata
anak-anak kita
yang tabah mengaji nasibnya dalam untaian kasidah
sederhana
kitab-kitab kuning. sampai tiba suatu hari
gumpalan kabut muncul dari garis-garis telapak
tangannya
dan mereka tahu, kelahiran bukanlah suatu
keberuntungan
yang akan mengekalkan namanya pada batang-batang pohon
kelapa
lalu air mata kita menetes. khayalan muncul dari
semak-semak
menyergap kita seperti seekor elang memangsa seekor
ular
kita menggeliat mengerahkan segala kelicikan
tapi dalam cengkeraman elang hitam, seekor ular hanya
bisa mendesis
mengabarkan kesakitan-kesakitan tak terucapkan
/3. perempuan
kita penghuni dunia paling menakjubkan
dengan mata teduh rindang pepohonan
tutur kata kita berkisar antara ranjang dan ruang
belakang
hangat tubuh kita umpama abu tungku
sekali dipeluk, tulang-tulang lelaki
akan terbakar seperti tumpukan kayu
yang setiap pagi dilumat kembang neraka dapur tua
“maka menyanyilah, kita bisa tabah karena tidak
sekolah”
menjelang siang kita kumpul di warung rujak;
mangga muda, mentimun dan cabe merah
jadi santapan pertama sebelum kita bertukar cerita
tentang usia muda tak bahagia karena kawin paksa
—oh, tidak. kita memang tak pernah jatuh cinta
kita tak diajarkan memilih calon laki
karena sejak detik pertama jatuh dari selangkangan ibu
nama kita tercatat dalam akta kehidupan
sebagai calon pengantin yang akan menikah tanggal
sekian
sepasang bunga matahari tumbuh di dada kita
jadi senjata utama paling mematikan
panjang rambut kita menjuntai beraroma khas pedesaan
karena itu kita menjadi penghuni dunia paling
menakjubkan
di antara kembang-kembang tumbuh liar di halaman
di antara kegugupan menyebut nama bulan dan bintang
sebab kata-kata kita selalu diredam
dalam ruang kosong yang menakutkan
(Jogokariyan, 2013)
Kamil Dayasawa
lahir di Batang-Batang, Sumenep-Madura, 05 Juni 1991.
Alumnus Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep-Madura. Puisi-puisinya
dipublikasikan di sejumlah media cetak dan termaktub dalam berbagai bunga
rampai: Akar Jejak (2010), Estafet (2010), Memburu Matahari (2011) dan Sauk
Seloko (2012). Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam FAIB-UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar