Sarang Burung Manyar
sampailah aku di sarangmu, yang telah lama kau
tinggalkan: arsitektur dingin, buku-buku meratapi
dirinya sendiri, foto-foto masa lalu, juga lukisan
menggantung sendu, bangku-bangku memanah
televisi, lemari bambu menjadi penghuni bagi ruang
semu, ranjang-ranjang menggigil, kasur dan bantal
selembut hati para penghuni.
di kolammu, ikan-ikan mengitari teratai seolah
membisikkan ketiandaanmu kini. setiap kali sajakku
singgah di rumahmu bersama getirnya hujan,
yang menyertai curahan nasib, mengantarkan diriku
ke ruang sunyi semestamu; diam-diam kucuri bintang
di bibir dedaunan namun tak juga berguguran
seperti tangis kanak-kanak yang mengetuk pintu
sejarah muasal persetubuhanku dengan buku-buku
yang tak juga melahirkan benih-benih peristiwa baru.
bagi bayang-banyang memba yang di ladang gersang
ingatan. tempat bermula kesetian tertanam bersama
terik matahari melebur lelah perjumpaan.
sampailah aku di sarangmu, yang telah lama kau
tinggalkan: arsitektur dingin, buku-buku meratapi
dirinya sendiri, foto-foto masa lalu, juga lukisan
menggantung sendu, bangku-bangku memanah
televisi, lemari bambu menjadi penghuni bagi ruang
semu, ranjang-ranjang menggigil, kasur dan bantal
selembut hati para penghuni.
di kolammu, ikan-ikan mengitari teratai seolah
membisikkan ketiandaanmu kini. setiap kali sajakku
singgah di rumahmu bersama getirnya hujan,
yang menyertai curahan nasib, mengantarkan diriku
ke ruang sunyi semestamu; diam-diam kucuri bintang
di bibir dedaunan namun tak juga berguguran
seperti tangis kanak-kanak yang mengetuk pintu
sejarah muasal persetubuhanku dengan buku-buku
yang tak juga melahirkan benih-benih peristiwa baru.
bagi bayang-banyang memba yang di ladang gersang
ingatan. tempat bermula kesetian tertanam bersama
terik matahari melebur lelah perjumpaan.
Talpaktana
pada daun-daunmu yang mendekap tanah
merunduk rendah, menaungi akar serabutmu
meresap tetes hujan yang jatuh membasuh debu
dan batu-batu dungu.
ketika kepak angsa mencatat langkah kanak-kanak
berlarian sepanjang pematang dengan tubuh telanjang
sambil memagut hujan di tengah halaman
memeluk dingin di pancuran
tawa hanyut di selokan
sampai hati membekukan percakapan
Pengembara Tubuh
di keningmu, kukecup
permata yang berkilauan
cahaya melingkar di jari-jari
manismu, gemetar
menerangi janji-janji suci
dalam kenisbian ilahi
antara malam kegaiban
dan degup jantung
yang terus bersahutan.
di bibirmu, aku berkaca
wajahku memerah,
sukmaku hilang arah
dingin membakar darah
di langit mempesona
gigil di puncak kekosongan
sewaktu kaugigit lidahku,
kugigit lidahmu sampai
kita sama-sama bisu.
di dadamu, aku berjalan
kupeluk bayangan bulan
berwarna putih melon
malam kian licin, kegelapan
jatuh di pangkuan
namun kita masih tertidur
di puncak dingin.
di pusarmu, aku penari
yang mabuk di atas perahu
tak ada suara, selain bisikan hati
menggema mengalirkan asmara
yang teramat gilanya
terhuyung-huyung,
tenggelam ke dalam pusaran
palung segala muasal.
di kelaminmu, aku kelelawar
menggantung, berayun-ayun
antara malam dan siang
saat malam kesepian di ranjang
terbakar puisi yang kutulis
dengan semerbak melati.
2011
Padamu, Aku Akan Kembali
aku akan kembali menemukan jejak
yang kutinggalkan selama ribuan tahun
di bawah kakimu yang menyimpan fosil-
fosil surga yang kau simpan sebagai jalan
bagi kepulanganku kembali pada rahim
riwayat luka dan jerit tangis kegelapan.
di atas lincak batinmu, batinku merentangkan
sebuah cerita persetubuhan dan persekutuan
api cinta yang membakar lembaran kelahiran.
padamu, aku akan kembali dari arah jarak
dan waktu kehadiranku di setiap bayang-
bayang ingatanmu. sebab tak ada lagi yang
mesti difahami sebagai peristirahatan suci
dan abadi. dari darahku dan darahmu yang
telah diteguk tuhan sebagai firman panjang
dan sejarah muasal terciptanya dunia ini.
februari, 2012
Cikar Gumelar
kelak ceritakanlah padaku, Umi
tentang kepergiaan yang teramat jauh,
yang teramat dekat,
tentang roda-roda yang terus memutar
nama-nama yang lupa mencatat alamat
sampai semuanya tak pernah sampai
pada lelah paling sesal;
pada lelap paling dekap;
pada kepasrahan terseret-seret
suara lenguh teramat berat
keringat terinjak-injak kaki sendiri
tergilas perih ketabahan bumi
sebab kau tak kan pernah pulang
dan tak pernah pergi
untuk menemukan keabadian
membawamu ke asal mula keberadaan
Gajah Mungkur
patahan-patahan gading tersusun
di bangunan asing. pada dengung
waktu yang tak mungkin retak,
walau terbentur dengan apa pun.
dengan segala yang tak terukur.
pada ketinggian bukit-bukit dan
dua lengkung ekor gajah mengikat
segala yang mengilang. belai belalai
menemukan tubuh-tubuh ketiadaan.
Purwosari
biarkan kereta itu lewat, untuk
menjemput sesuatu yang mungkin
masih menunggu di ujung harap.
sambil menyapa daun-daun gemetar
sepanjang bentangan rel yang selalu
tabah menunggu gilas. menunggu
gumpalan awan yang tak pernah
menjadi genangan. bagi pohon-pohon
yang berucap salam sepanjang getar
hati merontokkan segala yang telah
sampai. untuk mengulang kembali
bunga-bunga bermekaran di bawah
keteduhan. sewaktu gerbong-gerbong
menyimpan bisikan kenangan. bagi
kelebat hijau rerumputan di kaca
yang tak sempat merekam angin.
Randu Garut
pohon-pohon randu tergeletak kaku
tumbang menjadi bongkahan kenangan
daun-daun sepi tak lagi melambaikan sunyi
pada gemerisik bibir bunga berguguran
dari tangkai musim kapas-kapas berhamburan
sambil menyenandungkan kicau angin
seiring bongkahan pohon randu menanti
menjadi bayang-bayang takdir lain
menjadi ujud cinta yang teramat asing
Krobokan
sepasang perahu membawa
masa lalu. pada layar terkembang.
diterkam asinnya angin. juga
deburan ombak menyeret ikan-
akan dari pantai yang jauh. sebab
di sanalah kita akan menemukan
aliran harapan. menyeret
keramaiaan. sewaktu deras
hujan tak bisa dibendung lagi.
Jufri Zaituna
lahir di Bragung, Sumenep, Madura, 15 Juli 1987. Puisi-puisinya pernah dimuat di Majalah Sastra Horison, Harian Jogja, Merapi, Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Merdeka, Jurna Sajak, Harian Sumut, Radar Madura, Radar Surabaya. Termuat di beberapa antologi bersama: Ya Sin (PBS, 2006), Merpati Jingga (PBS, 2007), Annuqayah dalam Puisi (BPA, 2009), Mazhab Kutub ( Pustaka Pujangga, 2010), Tiga peluru (Trataq Media, 2010), Penganten Taman Sare (Bawah Pohon, 2011), dan Antologi Puisi Suluk Mataram: 50 Penyair Membaca Yogya, (GREAT Publishing, 2012). Kini menjabat sebagai Lurah Komunitas Masyarakat Bawah Pohon, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar