bersama
gugur hari-hari perlahan terlepas dari kalender sungai itu
sempat
kutabahkan penantian lewat dua buah pohon pinang tegak menantang matahari
pada
angin pembawa kabar dari mulut sengaja mencuri kesangsian matahari di balik
awan hijau jubahmu
peleraian
sengketa ular-ular tak kunjung selesai
seperti
membaca keruh terus menerus mengalir bersama arus peluhku, kau tetap tak datang
bahkan dalam mimpi burung-burung
aku
tahu, mungkin kau membunuh siang dengan belati dingin di tanganmu
sebab
selalu saja hari ini dingin mengitari melepas ikan-ikan berloncatan
mendengarkan percakapanku dengan bunga-bunga
semerbaknya
mulai terbaca
kemudian
satu persatu kutanggalkan nafas dekat sungai berbatu embun
menjelma
karang runcing, cadas mencabik-cabik waktu
dan
adzan gema dari jerami nun melengkung seperti bulan sabit alismu
tiba-tiba
hari kau datangkan malam tanpa sepatah kata yang sempat membuatku terkejut
menyisakan degup terkatup dalam bibir
lumut-lumut
tertawa
sejumlah
pahatan liang kubur kau pesan atas namaku
namun
derai ngilu jantung terus berpacu mencari kau bersembunyi
dimana
akhir bintang menuntaskan cahayanya?
dzikir-dzikir
malam
bahkan
tahajjudku telah kau setubuhi dengan ayat-ayat
masih
saja kau diam bersama gelap di tangan penjala
seekor
laba-laba tua hampir menyelesaikan sulamannya jelaga di sudut tubuhku
menuggu
kau dan keranda tuamu
sejak
kain kafan terbentang lurus mengitari mimpi-mimpi
dan
permainan kita belum selesai seperti waktu Ibrahim mencari tuhannya
akhirnya
sebuah ritmis perjalan termulai perlahan di ranjang pergumula sebelum hujan
diam-diam membaca jejakmu
kita
selesai sampai disini…
Soklancar,
08 April 2008
Sajak Tiga Belas
sebenarnya
waktu yang terpasung dekat muara itu telah kuhanyutkan bersama kerinduanku
karena matahari
dari
bola matamu kutakdirkan segenap pasrah yang melingkar dalam doaku
sebab
tak mampu kuterjemahkan ujung rambutmu malaikat-malaikat turun berselancar pekat
yang hendak menudingku
jantung
tak lagi mendetak-detak,
irama
dari mulutmu itu adalah waktu yang kau suguhkan padaku menjelang perjamuan kita
di ranjang pertama
sepertinya
kebisuan bunga-bunga adalah segelas kopi pagi ini
aku
lihat sejarah berlarian di kejar waktu sambil menyingkap ujung belati
apa
kau hendak membunuhnya?
para
daun dan tasbih embun di tangan mereka telah mencair tak hiraukan percakapan
matahari semakin terik mendiami langit
adalah
sunyi yang terus menjadi pertanyaan, mengapa harus kepompong yang menetaskan
kupu-kupu
takdir
menyisir sekitar darahmu hingga kau lupa
batu-batu
itu adalah tempatmu duduk sebelum pergi tinggalkan perih duri menusuk senja
Soklancar,
12 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar