SAJAK-SAJAKKU
YANG LALU
Aku tak bisa berbuat banyak dalam hidupku. Aku
lakukan apa yang kubisa. Menulis sajak bukanlah jalan hidup atau kematiaanku.
Aku hanya ingin tahu keduanya meski pengetahuan manusia tak pernah utuh tentang
realitas yang ada. Semua sajak ini adalah sebuah proses di mana aku sebagai
manusia yang terkadang sedih, bahagia hingga merasa terasing dari dunia mencoba
untuk menyeimbangkan diri agar benar-benar menjadi manusia. Semua sajak yang
punya banyak gaya dalam penulisannya ini adalah usaha mengekalkan kenangan
bersama orang yang dekat atau jauh dariku. Yang sesekali datang dan pergi atau
tidak sama sekali. Tak ada penilaian untuk semua ini selain apa yang ada pada
setiap kata itu sendiri. Sebab tak ada yang pernah selesai dalam hidupku juga
sajakku...
Bagian V
AKU DAN
CAHAYA
Aku bertanya pada cahaya
“Siapa yang sama atau mirip denganku?”
“Bayangmu” jawabnya
“Mengapa ketika kau tiada
bayangmu pun tiada?” tanyaku kembali
Cahaya tersenyum melihatku tanpanya
Dan aku tak melihat apa-apa
Yogyakarta, 2006
Aku bertanya pada cahaya
“Siapa yang sama atau mirip denganku?”
“Bayangmu” jawabnya
“Mengapa ketika kau tiada
bayangmu pun tiada?” tanyaku kembali
Cahaya tersenyum melihatku tanpanya
Dan aku tak melihat apa-apa
Yogyakarta, 2006
SETIAP TAK BERTEMU
Setiap tak bertemu kubayangkan
Aku adalah cermin di kamarmu
Yang setiap kau berada di depannya
Menemukan kebeningan rinduku
Yogyakarta, 2006
KUBERDUKA ATAS LUKAMU
Kau pun tahu zaman telajang
Tertanggal pada detik dan jam
Kalimat Tuhan terbang
Ombak menerjang
Tanah retak gemertak
Air mata
Berbutir-butir permata di ulu luka
Tetesan darah
Samudra di arungi perahu duka
Kuberduka atas lukamu!
Yogyakarta, 2006
BISAKAH KAU KIRIM KATA
Bisakah kau kirim kata
Sebab aku tak punya untuk sesuatu yang tiada
Kirimlah untuk yang tak pernah bercakap
Kirimlah melalui kesiur angina
Agar cuaca tak hanya dingin
Kau tak usah sibuk menerka
Aku selalu mencatatnya
Seperti kau menandainya
Yogyakarta, 2006
KOSONG
Bayang yang jauh semakin jatuh
Jam yang kau kirimkan semakin bergetar
Aku menoleh tak ada yang tertoreh
Aku maju tak ada yang berlalu
Aku tuding sejumput kabut
Menyelusup dalam sepatu
Tak sampai aku mengenalnya
Yogyakarta, 2006
USIA KITA
Pada lantai rumahmu usia nampak merangkak
Sesekali tersenyum menyerupai kita
Yang mungkin lupa
Mungkin juga tidak
Setelah ia berjalan menyebut nama
Menyebut asal kenangan yang kita punya
Kita tahu ia tak mengenal bunga apalagi cinta
Tapi kita bahagia
Kita juga tahu ia hanya angka-angka yang berjarak
Masihkah kita tak mengingatnya
Meski bayang yang kita punya?
Usiaku usiamu
Bening di lantai rumahmu
Yogyakarta, 2006
ANGIN YANG KAU KIRIM
Angin yang kau kirim
Sampai pada kuncup bunga di halaman
Dan terdengar seru desahmu
Cuaca mengisyaratkanya luruh satu-satu
Sebelum layu dan kering
Kukirim kembali
Bersama segala yang kumiliki
Meski waktu berhenti
Dan tak ada mimpi lagi
Begitulah aku melepas ayat-ayat
Yang kaurasa
Yang kubaca
Hingga nanti sepertimu jua
Yogayakarta, 2006
TANGISAN KATA
saat katamu aku baca
kataku mengalirkan air mata
bukan sedih atau luka
tapi rindu ini tak kau baca
:jarak semakin jauh
semakin dekat terbaca
Yogyakarta, 101106
SEBELUM KALIMAT
sebelum kalimat
teriakan anak kecil tanpa ibu
menggema di jantung malam
berserakan di bawah rembulan
:ingin menemui Tuhan
anak kecil itu
mungkin telah lama kehilangan
ibu kesayangannya
yang selalu mendongengkan
yusuf dan zulaikha
makanya, malaikat sibuk mengantarnya
lengkap dengan jubahnya
bertuliskan bismillah
namun ada yang terlebih dahulu menggores
di cerlang matanya;
ibumu masih bercinta di kamar 16
dengan lelaki tampan
mirip wajahmu
anak kecil itu berhenti berteriak
menghapus kalimat di cerlang matanya
dengan air mata
dan malaikat menulisnya sebagai kalimat
pada catatan hariannya.
Sarkem, 081106
*Dunia
Absurd merupakan blog pribadi penyair Ala Roa yang dikelola sepangjang tahun
2008-2012. Dunia Absurd memiliki pesan: “Dalam kehidupan, kematian yang tak
sempurna adalah karya besar yang jarang orang menemukannya. Sebuah keheningan
yang terdalam dari hati seorang manusia.”
Sedangkan Ala Roa ialah penyair Eksistensialis yang pernah saya kenal,
dan sempat saya jadikan guru. Ia menyebut dirinya dengan : “Aku bukan
siapa-siapa dan bukan apa-apa. Aku bukan penyair atau sastrawan. Aku adalah
manusia biasa seperti juga yang lain. Aku hanya ingin mengungkapkan segala yang
terjadi pada diri atau pada yang lain. Aku merasa hidup dan mati tak akan pernah
bertemu. Namun suatu saat kita pasti akan kembali dan kembali. Di mana kita tak
akan pernah bercerita dengan mulut sendiri sebab kita adalah matahari yang
dibahasakan bunga-bunga.”
Mengenai
tulisan ini, kesemuanya diambil dari: http://alaroa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar