SAJAK-SAJAKKU
YANG LALU
Aku tak bisa berbuat banyak dalam hidupku. Aku
lakukan apa yang kubisa. Menulis sajak bukanlah jalan hidup atau kematiaanku.
Aku hanya ingin tahu keduanya meski pengetahuan manusia tak pernah utuh tentang
realitas yang ada. Semua sajak ini adalah sebuah proses di mana aku sebagai
manusia yang terkadang sedih, bahagia hingga merasa terasing dari dunia mencoba
untuk menyeimbangkan diri agar benar-benar menjadi manusia. Semua sajak yang
punya banyak gaya dalam penulisannya ini adalah usaha mengekalkan kenangan
bersama orang yang dekat atau jauh dariku. Yang sesekali datang dan pergi atau
tidak sama sekali. Tak ada penilaian untuk semua ini selain apa yang ada pada
setiap kata itu sendiri. Sebab tak ada yang pernah selesai dalam hidupku juga
sajakku...
Bagian
III
CINTA
Aku kata yang diberi tanda
Ditulis laut dan gelombang
Disuarakan angin dan desirnya
Sampai pada makna
Aku disebut cinta
Yogyakarta, 2006
Aku kata yang diberi tanda
Ditulis laut dan gelombang
Disuarakan angin dan desirnya
Sampai pada makna
Aku disebut cinta
Yogyakarta, 2006
TATAPANMU
Entah seperti apa cinta
Dan seperti apa rindu
Aku tidak tahu
Malam ini mengapa aku mengingatmu?
Jawabannya hanya satu
Karena tatapanmu menjaga tatapanku
Malam ini juga
Aku ingin menghentikannya
Membutakan mata:
Menatap hatiku dengan hatimu
Yogyakarta, 2006
DUA GELAS DI ATAS MEJA
Sangat lama sapa terdampar dalam
Lupa berkepanjangan
Kubiarkan cuaca bicara
Dingin dan panas bertarung,
Kenangan terbit dan tenggelam
Bunga yang tertanam di jantung
Semakin ranum
Hanya pada gelas di atas gelas ini aku percaya
Babwa kita masih ada dan lupa
Semenjak jarak tercipta
Dan aku cukup tahu banyak yang belum
Kita pastikan untuk sebuah jalan panjang
Selain sisa kisah yang kita jamah
Mengirim jenazah
Dua gelas di atas meja ini tak akan aku kubur
Nisan dan kafan fana
Aku tak ingin membuang atau meniadakannya
Yogyakarta, 2006
MALAM YANG KUBATASI
Karena dingin
Malam memasuki celah-celah mimpiku
Membisikkan zikir yang kuukir di langit yang ke tujuh
Tiada batas meretas diucapkan nafas menderu
Rembulan satu adalah rinduku
Bintang-gemintang adalah cintaku
Kubatasi malam begitu saja
Dalam pejam menuju kelam
Yogyakarta, 2006
SEPASANG BAYANG SEHABIS HUJAN
hujan telah berani membasahi kita
berpesan untuk berteduh sebelum tiada
ku tak tahu ke mana harus mencari tempat
hujan selalu menemukan celah tak padat;
bisik dada yang berani kita bicara
dalam hujan seharusnya kita gemetar
seperti tubuh dedaun
dan reranting yang terpintal
sebelum terkubur lumpur
namun di matamu
ku tak merasa dingin dan gemetar
mungkin karena menyimpan matahari
dan sebuah labirin yang hanya kita bisa jelaskan
kupun tahu kau tak pernah berbeda
menghindar dari hujan
diam rebah di alis mataku
berselimut rindu
dan tak ingin pergi jauh-jauh
sebelum tatapanmu utuh tentang aku
cinta, kini hujan mulai reda
aku masih saja dalam tanya
apakah ada jalan untuk sepasang bayang
pada genangan air keruh di bawah telapak kaki kita?
Yogyakarta, 2006
SELEMBAR GAMBAR ANAK KECIL
(pada lomba menggambar dan mewarnai 2006 se-Yogyakarta)
Ada langit ada bumi
Langit berwarna putih
Bumi berwarna hitam
Hutan berwarna hitam
Hewan berwarna putih
Ada jalan berliku-liku
Warnanya abu-abu
“Inilh gambarku pasti dapat juara satu”
katanya kepada ibu tercinta
Orang yang berada di sekitarnya tersenyum
Sang ibu mengambilnya dan disetor ke panitia
“Ini gambar cerita manusia” kata penitia
Sang ibu menatap tajam pada anaknya
Dan meneteskan air mata
“Ibu, aku telah menggambar dunia”
Katanya bahagia
Sang ibu diam saja dan memeluknya
Menyatukan getar yang berada di dada
Yogayakarta, 2006
ZIARAH ANGIN PADA TANAH
:Pramoedya Ananta Toer
I/
Angin tubuhmu bicara
Pada tanah yang kau injak
Tak seperti laut yang mengombak
Juga tak seperti api yang membakar
Menjadikan sesuatu ada lalu tiada
Ziarah angin pada tanah
Ziarah yang sebentar tak lebih dari sedetik
Untuk mengatakan tidak
Pada sebuah jejak
Ziarah angin pada tanah
Hanya perjanjian dan pesan
Untuk ditanam dan dikenang
Sebab angin akan selalu bertiup
Tanah akan selalu berdebu
Dan kau nurani yang kembali
Mengembalikan yang tak harus dimiliki
II/
“Bakarlah aku! Taburlah abuku!” sebelumnya katamu
Namun kami tak mampu membakar angin
Denyut nadi dan detak jantung kami
Tak ingin berhenti
“Berbaringlah di hamparan tanah-Nya
dan bertiuplah di bawah langit-Nya” kata kami
Membiarkan angin berziarah pada tanah
Dan air mata kami hapus di lancip mata
Lalu kita pulang sama
III/
Angin bertiup tak mengenal penjara
Dari arah mana saja
Namun pada tanah kulihat kisahnya
Debu-debu yang berterbangan
Dan jejak-jejak seorang manusia
Yogyakarta, 2006
*Dunia
Absurd merupakan blog pribadi penyair Ala Roa yang dikelola sepangjang tahun
2008-2012. Dunia Absurd memiliki pesan: “Dalam kehidupan, kematian yang tak
sempurna adalah karya besar yang jarang orang menemukannya. Sebuah keheningan
yang terdalam dari hati seorang manusia.”
Sedangkan Ala Roa ialah penyair Eksistensialis yang pernah saya kenal,
dan sempat saya jadikan guru. Ia menyebut dirinya dengan : “Aku bukan
siapa-siapa dan bukan apa-apa. Aku bukan penyair atau sastrawan. Aku adalah
manusia biasa seperti juga yang lain. Aku hanya ingin mengungkapkan segala yang
terjadi pada diri atau pada yang lain. Aku merasa hidup dan mati tak akan
pernah bertemu. Namun suatu saat kita pasti akan kembali dan kembali. Di mana
kita tak akan pernah bercerita dengan mulut sendiri sebab kita adalah matahari
yang dibahasakan bunga-bunga.” Mengenai tulisan ini, kesemuanya diambil dari: http://alaroa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar