Ah, apa yang sebenarnya
terjadi di ruangan ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Perasaan dan pikiranku
tak peka lagi menangkap sesuatu yang berada di luar dan dalam diriku. Namun,
aku masih sadar kalau aku masih bisa merasakan yang ditangkap oleh semua panca
indraku. Memang begitu rumit untuk memaknai semua ini. Mataku hanya melihat.
Hidungku hanya mencium. Telingaku hanya mendengar. Tanganku hanya meraba.
Mulutku hanya mencecap. Selain itu hanya getir yang terlalu membuatku takut di
ruangan ini.
Rasanya aku ingin menerkam
ketakutanku ini. Ketakutan yang serupa binatang buas yang ingin aku mangsa
hingga mati sensara. Aku sangat benci ketakutan ini. Ketakutan yang berawal
dari diriku sendiri yang entah. Apa yang paling berharga dari seorang manusia
kalau tak memaknai hidupnya? Aku benar-benar tak berdaya saat ini. Lalu, siapa
yang mampu mendengarkan semua ini?
Meski, aku tak sendiri di
dunia ini yang mengalami hal yang sama dengan diriku, aku tak yakin ada yang
akan mendengarkannya. Manusia dalam hidupnya selalu bertujuan untuk bahagia
tetapi sangat jarang yang memahami keberadaannya. Dan apa yang terjadi pada
diriku bukanlah kebahagiaan. Ini adalah suasana sadis yang membuat orang bisa
bunuh diri.
Jika ada yang tahu apa yang
ada dalam kepalaku mungkin yang ada dalam kepalaku itu adalah semacam teror
ketakutan bagi orang lain. Mengapa tidak, toh yang ada di kepalaku hanya kepalaku
yang terpenggal atau dadaku yang sobek oleh belati yang berada ditanganku
sendiri. Atau seluruh tubuhku berwarna biru dan mulutku berbusa oleh segelas
racun yang aku minum. Setelah itu, apa yang diketahui? Tak ada. Sungguh tak ada
yang berarti. Semuanya akan berlalu begitu saja tanpa bekas kecuali ketakutan.
Banyak orang akan mengatakan
semua ini hanya akibat kekosongan diri yang begitu lama dan sangat dalam hingga
kesedihan dan ketakutan melampaui makna-maknanya sendiri untuk mengkristal
menjadi kebahagiaan dan cinta. Aku tak percaya. Sungguh tak percaya. Aku
bahagia bersama orang-orang yang berada di sekelilingku dan aku mencintai
mereka. Jika ini sebuah kekosongan, lalu, apa yang harus aku lakukan? Tuhan pun
menghindar dari ketakutan ini apalagi manusia. Semuanya hanya datang dan pergi
tanpa menyisakan apa-apa.
Mungkinkah kekosongan adalah
dunia di mana Tuhan berdiam diri untuk asing pada manusia? Namun, apa bedanya
manusia dengan Tuhan? Dia hanya pandai bermain petak umpet dan manusia
mencarinya. Dan aku tak akan mencari-Nya. Tuhan terlalu pintar untuk aku
temukan. Aku akan biarkan Dia datang kalau memang suka. Kalau tidak, biarlah.
Sudahlah, aku akan berusaha
sabar dan jujur dalam menjalani segala yang terjadi ini. Walaupun aku sendiri
asing dengan diriku sendiri. Hidup dalam dunia yang penuh dengan horor. Toh
dalam hidup aku tak pernah berkeinginan mencari atau malah menjadi Tuhan. Aku
manusia yang ingin benar-benar menjadi manusia. Aku yakin sebuah nama akan
menjadikanku manusia. Entah itu nama apa dan siapa. Sekarang akan aku katakan
nama itu adalah namamu yang entah.
Kekosongan hanya
kekasatmataan, ketidakjelasan, ketidaktahuan tentang sesuatu hal. Seperti
sekadar namamu yang tak bisa aku jangkau. Aku merasakan kekosongan seperti yang
diyakini setiap orang. Namun, aku tak pernah meyakini itu. Aku tak merasakan
kekosongan. Hidupku tak pernah kosong. Sebab, aku tahu walau tanganku tak mampu
sekadar menjangkau namamu, sesuatu yang disebut misteri selalu hadir dari hati
ke mimpi atau dari getar ke bunyi.
Aku dan dunia seperti salah satu
penggalan sajak Dorothea:
Dunia menuju sekarat
Nurani mengabur dalam segala
tanda
Menggumpal dalam rahasia
Tak dapat dibaca lewat
segala bahasa
Ah, tetapi kuyakin suatu
saat semuanya akan pasti!
Yogyakarta, 06-09-2009
Dunia
Absurd, 27 Oktober 2009
MENCARI
SEBUAH KETENANGAN
Sebulan ini aku tak
merasakan ketenangan sedikit pun dalam hari-hariku. Selalu rame ada di
mana-mana. Penuh benturan-benturan batin. Ketika tidak merasakan ketenangan
siapa yang bisa berpikir dan merenung? Padahal aku ingin berpikir dan
merenungkan semua yang terjadi dalam hidupku. Inilah persoalan hidupku di mana
aku diharuskan mencari ketenangan di tengah-tengah gaduhnya segala suasana.
Aku tak mempunyai cara
bagaimana mengatasi masalah ini. Sebagai seorang penulis seharusnya aku
mempunyai sebuah cara untuk mengatasi masalahku ini. Bagiku tak punya uang, tak
punya pacar, tak punya apa pun yang bersifat materi sebenarnya tak akan menjadi
masalah yang begitu berarti. Aku ingin belajar dan menulis dengan tenang. Itu
saja. Namun, bagaimana caranya? Sebagai manusia aku mempunyai dua ruang yang
aku tempati, pertama, ruang privat di mana yang ada hanyalah aku sendiri,
belajar dan menulis dengan tenang. Kedua, adalah ruang publik, di mana aku
harus bergaul dengan semua orang, bertukar pengetahuan dan lain sebagainya.
Dalam keseharianku rasanya
aku tak mempunyai semua itu. Antara ruang privat dan publik bercampur aduk tak
jelas di mana. Untuk itu, aku harus memperjelas kedudukan keduanya. Namun, ini
adalah sebuah teori dan semua teori tak akan mampu bisa menyelesaikan semua
persoalan yang ada. Teori hanya kerangka cara yang bersifat mengikat dan jarang
menyelesaikan masalalah dengan baik. Jadi teori bukan jalan satu-satunya untuk
menyelesaikan masalah ini.
Persoalan yang sedang aku
hadapi sangat sederhana yakni, aku selalu diramekan oleh teman-temanku yang ada
di kamarku, aku tak bisa menikmati buku yang aku baca, aku tak mampu menulis
dengan baik karena imajinasiku tersekat oleh kehdiran mereka. Aku merasa tenang
ketika mampu beraktivitas dengan bebas di kamarku. Berbuat kegilaan demi
kegilaan. Haruskah aku mengusir mereka? Aku rasa tidak. Aku juga mengerti
bagaimana keadaan mereka. Mereka adalah teman-temanku yang patut aku acungi
jempol. Mereka telah mengajari aku banyak hal tentang bagaimana menjalani hidup
yang begitu rumit kujalani selama ini. Aku salut dengan kedewasaan mereka
walaupun rata-rata umurnya masih lebih muda dariku.
Aku mencoba menghubungi tiga
orang temanku. Aku tanyakan bagaimana cara meneyelesaikan permasalahan ini. Aku
tanyakan kepada mereka: bagaimana ya caranya agar orang lain mengerti kalau aku
butuh juga ketenangan? Teman pertamaku namanya Bernando J. Sujibto, ia
menjawab: mengertilah mereka juga. Najamuddin Muhammad adalah teman kedua yang
aku hubungi, jawabannya; buat mereka terangsang hingga tak ada lagi dunia
selain menyelesaikan sebuah perjalanan yang nikmat, jawaban ini intinya sama
dengan temanku B.J. Dan temanku yang ketiga, Denar F Daniar tak menjawab
apa-apa.
Setelah aku renungkan
jawaban-jawaban temanku. Pengertian adalah cara terbaik yang mampu memecahkan
masalah ini. Aku kurang mengerti orang lain. Aku harus lebih mengerti mereka.
Semua teori yang tercipta sebenarnya adalah untuk mengerti orang lain dari pada
diri sendiri, entah bagaimana konsepnya semua teori adalah untuk mempermudah
menemukan sebuah ketenangan dan kedamaain.
13-10-2009
*Dunia
Absurd merupakan blog pribadi penyair Ala Roa yang dikelola sepangjang tahun
2008-2012. Dunia Absurd memiliki pesan: “Dalam kehidupan, kematian yang tak
sempurna adalah karya besar yang jarang orang menemukannya. Sebuah keheningan
yang terdalam dari hati seorang manusia.”
Sedangkan Ala Roa ialah penyair Eksistensialis yang pernah saya kenal,
dan sempat saya jadikan guru. Ia menyebut dirinya dengan : “Aku bukan
siapa-siapa dan bukan apa-apa. Aku bukan penyair atau sastrawan. Aku adalah
manusia biasa seperti juga yang lain. Aku hanya ingin mengungkapkan segala yang
terjadi pada diri atau pada yang lain. Aku merasa hidup dan mati tak akan
pernah bertemu. Namun suatu saat kita pasti akan kembali dan kembali. Di mana
kita tak akan pernah bercerita dengan mulut sendiri sebab kita adalah matahari
yang dibahasakan bunga-bunga.”
Mengenai
tulisan ini, kesemuanya diambil dari: http://alaroa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar