di sini adalah maut yang
sama. mautku akan datang sendiri tanpa aku harus memintanya. mautku akan datang
dan aku akan merasa bahagia. aku tak ingin menjadi maut untuk hidup dan diriku
sendiri. biarlah kau menjadi maut untuk hidup dan dirimu sendiri. hidupku masih
panjang dan aku tak akan menganggap dan mengatakannya selesai....
SUARA-SUARA
YANG MENGANCAM
Semua terjadi secara
tiba-tiba dan aku tak mampu lagi mengingat keseluruhan atas peristiwa yang
terjadi tersebut. Kejadian itu sangat mengerikan. Sungguh mengerikan. Namun,
akan aku ceritakan peristiwa itu walau tak mampu aku ceritakan semuanya dan
nantinya mungkin ada yang akan menyebutku gila. Apa yang akan aku ceritakan ini
adalah kenyataan yang benar-benar nyata pada waktu itu. Di mana aku sendiri
adalah aku yang akan bercerita ini. Sendiri dalam diriku.
Pada malam itu aku sangat
gelisah karena beberapa bulan tak mampu menulis apa yang ingin aku tulis.
Sebelumnya aku membiasakan diri menulis semua yang melintas dalam pikiran dan
perasaanku ke dalam bentuk puisi dan cerpen. Namun entah mengapa suara-suara
itu datang mengancam ketika aku menulis puisi. Setelah itu malam dan
hari-hariku begitu mencekam. Penuh serangan yang mirip peperangan. Kepalaku
mulai ramai dengan ledakan.
Entah suara siapa itu aku
tak mengenalnya. Pertama kali suara itu datang memulainya dengan sebuah
perdebatan. Aku tak cukup referensi untuk melawannya tetapi setiap statemennya
selalu aku bantah dan aku selalu menang. Semakin hari suara itu semakin
bertambah banyak dan aku menghindar karena aku tak ingin mengganggu siapapun.
Aku mulai tak betah lagi di kamarku sendiri. Aku pindah dari satu kamar temanku
ke kamar temanku yang lain. Suara itu masih mengikuti ke manapun aku pergi dan
malah mengancam akan merusak hubunnganku dengan orang yang aku kenal,
teman-teman, dan sahabat-sahabatku. Dan lebih-lebih akan merusak isi kepala
mereka. Aku ceritakan semua apa yang terjadi kepada beberapa teman dan
sahabatku namun tak ada yang percaya. Aku selalu diburu dan tak ada yang tahu.
Malam dan hari-hariku terus
berlalu tanpa ada perubahan sedikitpun. Suara-suara itu semakin gencar mengancam
hingga tiba saatnya pada ujian terakhirku matakuliah filsafat nilai yang
kebetulan dosennya, Robby Abror. Sebelum aku berangkat ke kampus suara-suara
itu sudah ada di luar kamarku. Salah satu di antara suara tersebut menghubungi
seseorang yang pernah aku beri sebuah puisi dan cerpen, Hida, untuk memfitnahku
karena suara-suara itu mencurigai kalau aku dengan Hida saling jatuh cinta.
Tetapi aku tak mempedulikan apa yang dilakukan oleh suara itu. Aku ambil semua
keperluanku untuk berangkat ke kampus dan langsung ke tempat kakakku di Ngawi
yang telah aku rencanakan sebelumnya. Dan sebelum sampai di kampus aku ke
warnet terlebih dahulu untuk memberi tahu Hida melalui pesan singkat di
facebooknya bahwa apa yang aku lakukan terhadapnya tak seperti apa yang
dikatakan oleh suara itu.
Sesampainya di kampus aku
menunggu jam masuk. Suara-suara itu mengancam-ngancam kejam. Lebih kejam dari
sebelumnya. Suara-suara itu akan membunuhku secara perlahan-lahan dengan
terlebih dahulu menghapus nilai-nilai matahuliah yang telah aku ambil
sebelumnya. Aku mencarinya namun tak ada. Jam masuk telah tiba teman-teman
sekelasku masuk dan aku sedikit terlambat karena mengejar suara-suara itu. Aku
masuk ruangan dengan kegelisahan dan ketakutan. Lembar soal dam jawaban telah
dibagikan. Aku pun mengisi bagian yang harus aku isi sebelumnya, seperti nama,
nomor induk mahasiswa, jurusan, tanda tangan, dan nomor ujian.
“Cepat. Dia sekarang ada di
ruang ujiannya. Cepat kalian ke godam. Nomor passwordnya pasti nomor induk
mahasiswanya. Nomor induk mahasiswanya sudah kalian dapatkan?” kata suara yang
menjagaku di pintu ruangan ujianku yang ada di lantai tiga.
“Beres bro…Kita telah
mendapatkannya saat kita melihat absensinya. Dia semester ini rajin bro…Tetapi
dia sekarang tak akan mampu berbuat apa-apa. Nilainya kita akan rubah menjadi
D. Semuanya! Dia akan sia-sia kuliah bro…” kata suara yang lain di lantai dua.
“Cepat bro… dia akan ke
lantai dua. Dia sekarang akan keluar. Lari bro…lari!” teriak suara yang ada di
pintu.
Aku sangat marah, sangat
marah. Bukan hanya aku yang terganggu tetapi juga semua ruangan yang ada di
lantai tiga yang juga lagi ujian. Aku mencoba keluar dari ruang ujianku untuk
bicara dengan mereka namun mereka tak mau. Mereka malah ketawa terbahak-bahak
seraya mengejekku. Aku kejar hingga ke lantai satu mereka ada di lantai dua.
Aku kejar ke lantai dua mereka ada di lantai tiga. Aku kejar ke lantai empat
mereka bersembunyi dan sebagian yang lain ada di lantai dua bersiap-siap
merubah nilai-nilai matakuliahku yang tersimpan di godam. Aku langsung
menghubungi salah satu temanku, Acim yang ada di ruang ujian dan langsung ke
lantai dua.
“Ada apa?” tanya Acim.
“Aku punya masalah. Ini
serius,” jawabku.
“Masalah apa?” tanyanya lagi.
“Kamu tak usah banyak tanya.
Sekarang juga kau rubah passwordku. Nilai-nilaiku akan dirubah oleh seseorang
dan aku akan berjaga di sini,” aku teliti semua tempat di sekelingku yang
memungkinkan mereka bersembunyi. Mereka tak ada. Passwordku telah diganti dan
kita berduapun kembali ke ruang ujian.
Kita kembali pada tempat
kita masing-masing. Acim meneruskan menjawab ujiannya. Dan aku terasa melayang.
Aku tak mampu menjawan satupun soal ujian dari empat soal yang ada. Bukan
karena aku tak tahu apa yang harus aku jawab tetapi karena kepalaku terasa
berat dan tubuhku gemetar.
“Kau benar-benar kacau
sekarang. Kau tak akan mampu berbuat apa-apa,” kata suara yang kembali berada
di pintu ruang ujianku. ”Rubahlah nilai-nilainya bro…Dia sekarang hanya mampu diam,”
teriaknya kepada teman-temannya di lantai dua.
Kepalaku terasa berat. Dan
aku tak peduli lagi dengan nilai-nilai matakuliahku. Aku tak peduli atas semua
yang telah dan akan terjadi. Aku hanya ingin pergi menjauh dari suara-suara itu
secepat-cepatnya.
***
Bis jalur tujuh sangat mudah aku dapatkan di depan kampusku. Aku langsung segera meluncur ke terminal dengan kecepatan bis yang begitu lamban. Aku sedikit tenang karena suara itu tak ada lagi. Sesampainya di terminal suara-sauara itu samar adanya. Aku duduk di tempat tunggu penumpang dengan kebingunganku. Aku berpikir bagaimana melawan dan menemukannya.
***
Bis jalur tujuh sangat mudah aku dapatkan di depan kampusku. Aku langsung segera meluncur ke terminal dengan kecepatan bis yang begitu lamban. Aku sedikit tenang karena suara itu tak ada lagi. Sesampainya di terminal suara-sauara itu samar adanya. Aku duduk di tempat tunggu penumpang dengan kebingunganku. Aku berpikir bagaimana melawan dan menemukannya.
“Dia tak tahu kalau kita ada
di sini. Dia melihat kita tetapi tak tahu siapa kita sebenarnya. Yang mana kita
dia tak akan tahu,” suara itu berbicara pada temannya di antara kerumunan
penumpang yang menunggu bis tujuannya.
Mataku menelisik di antara
kerumunan penumpang yang menunggu bis tujuan mereka, memastikan siapa orang
yang berbicara dan mengancam-ngancamku. Kulihat dua orang laki-laki di antara kerumunan
itu, yang satu berbaju merah dan bercelana hitam dengan badan kekar dan satunya
lagi merunduk di samping kanannya.
“Meski dia tahu kita ada di
sini dia tak akan berbuat apa-apa. Di terminal ini semua orang adalah teman
kita. Aku sudah ceritakan semuanya tentang orang yang kita kejar-kejar ini.
Kalau dia menghampiri kita, kita tinggal ngebukin saja. Lalu kita seret di
jalanan,” kata mereka. Dan tubuhku semakin gemetar dengan rasa takut yang
entah.
Hari ini ada dua bis yang
menuju ke Surabaya, bis Sumber Kencono dan Mira. Saat kedua orang itu lengah
aku langsung mengnyembunyikan diri di bagian samping bis Sumber Kencono dan aku
langsung pura-pura masuk biar mereka mengira aku naik bis Sumber Kencono karena
kedua orang itu mampu bergerak sangat cepat sekali. Aku di dalam bis berpikir
bagaimana untuk mengatasi kedua orang ini. Menghubungi teman-teman? Mereka tak
ada yang percaya. Menghubungi Hida? Tak punya nomor HPnya. Semua orang telah
dihasut oleh mereka. Aku bingung. Bingung. Keringatku semakin deras mengalir di
seluruh tubuhku. Dan aku hanya diam.
Bis beberapa menit lagi akan
berangkat. Tak disangka mereka mau naik juga ke bis yang aku ada di dalamnya.
Aku dengan cepat keluar. Merunduk di antara kursi bis dengan persaan takut.
Mereka masuk dan aku keluar. Sedikit ketakutanku hilang namun aku siap siaga
dan hati-hati karena mereka cukup gesit penglihatannya. Aku sekarang berada dalam
bis Mira. Aku sedikit lega karena mereka berada pada bis yang berbeda.
Bis yang mereka tumpangi
berangkat sepuluh menit lebih awal dari bis yang aku tumpangi. Di tengah
perjalan sebelum sampai Janti aku mengusap keringat yang ada di tubuhku, lalu merentangkan
kedua tanganku. Kondektur mulai menanyakan kepada setiap penumpang satu-persatu
ke mana tujuan mereka dan menarik ongkos sesuai tujuannya. Tiba giliranku suara
itu ada lagi. Mereka ada di belakangku entah di kursi bagian mana.
“Kau mau ke mana? Kau
mengira kita naik bis itu? Kau goblok! Ke manapun kau akan kita ikuti, setelah
itu baru kau akan kita bunuh. Akan kita cincang-cincang tubuhmu,” kata salah
satu di antara mereka kepadaku dengan geram sekali.
“Pak, kasih tahu kepada kita
dia akan turun di mana?” pinta mereka kepada kondektur dan kondekturpun
mengangguk.
“Mana mas?” tanya kondektur
kepadaku.
“Ngawi,” aku bayar ongkosku
dengan uang pas. Aku tak menghiraukan kondektur itu lagi karena mereka semakin
berteriak-teriak ingin membunuhku. Kepalaku terasa ingin pecah.
“Dia ternyata mau turun di
Ngawi,” kata salah satu di antara mereka.
Aku mencoba untuk bangkit
dari dudukku. Aku ingin menghampiri kedua orang itu. Aku ingin melawannya
sekuat yang aku bisa. Namun kepalaku sakit dan tubuhku terasa seringan kapas.
Aku mengambang terbang. Tak ada lagi yang menyentuh tubuhku.
“Kau benar-benar akan kita
bunuh karena kau telah menggagalkan semuanya. Ini masalah perasaan. Aku sangat
mencintainya. Kau telah ceritakan semuanya kepada Hida bahwa aku yang
memfitnahmu. Dia sekarang akan membenciku untuk selamanya. Goblok! Asu! Kau
tahu alat apa yang kita bawa ini? Kau tak akan bisa ke mana-mana dengan alat
ini selama cairan kimia itu masih ada di tubuhmu. Alat ini mampu mengetahui di
mana keberadaanmu. Kita telah memasukkan cairan itu dengan menyuruh seseorang
untuk menaruhnya ke dalam segelas kopi yang kau minum. Kau akan kita siksa
sebelum mati!” gertaknya.
“Ternyata kau tak berkutik
dengan alat ini.”
“Mau diskusi lagi? Mau
melawan? Memorimu akan benar-benar rusak dengan alat ini. Coba kau ingat semua
apa yang terjadi dalam hidupmu. Kau tak akan mampu untuk mengingatnya. Yang ada
dipikiranmu adalah pikiranku. Apa yang kau perbuat adalah perbuatanku,” kata
orang yang memegang alat itu.
“Isi kepalamu tak jelas lagi
sekarang. Kau tak akan bisa membedakan yang mana pikiranmu dan mana pikiranku,
yang mana pebuatanmu dan mana perbuatanku. Untuk sementara, kau akan kuat namun
nanti sebelum kau kita bunuh, yang benar-benar ada hanya pikiran dan
perbuatanku. Kau akan kita siksa sebelum mati,” lanjutnya.
Bis yang aku tumpangi melaju
sangat cepat. Tubuhku semakin lama semakin lemas, gemetar, dan mengambang
terbang. Dengan keaadaan tubuhku yang seperti itu, aku mencoba menghubungi
seorang temanku, Imam, untuk minta nomor HP teman dekatnya Hida, Eta. Aku tak
kuat untuk bicara. Aku beritahu semua yang terjadi melalui sms tetapi Eta tak
mau ikut campur. Dia sedikit kesal dan marah.
Aku bingung. Aku takut.
Apakah aku akan sampai di Ngawi tempat kakakku? Apakah ada orang yang akan
menolongku dari masalah ini? Teman-temanku? Hida? Aku tak tahu. Aku hanya
pasrah saja jika mereka benar-benar membunuhku. Kematian pasti akan datang
menemui siapapun. Aku tahu inilah kematian yang tak sempurna. Tetapi aku
berharap suatu saat nanti orang-orang yang aku kenal, teman-temanku,
sahabat-sahabatku akan mengerti dan paham bahwa kematianku adalah kematian yang
akan mereka hadapi juga pada waktunya.
Dan aku tak ingat apapun
lagi selain apa yang aku ceritakan ini...
Yogyakarta, 2010.
*Dunia
Absurd merupakan blog pribadi penyair Ala Roa yang dikelola sepangjang tahun
2008-2012. Dunia Absurd memiliki pesan: “Dalam kehidupan, kematian yang tak
sempurna adalah karya besar yang jarang orang menemukannya. Sebuah keheningan
yang terdalam dari hati seorang manusia.”
Sedangkan Ala Roa ialah penyair Eksistensialis yang pernah saya kenal,
dan sempat saya jadikan guru. Ia menyebut dirinya dengan : “Aku bukan
siapa-siapa dan bukan apa-apa. Aku bukan penyair atau sastrawan. Aku adalah
manusia biasa seperti juga yang lain. Aku hanya ingin mengungkapkan segala yang
terjadi pada diri atau pada yang lain. Aku merasa hidup dan mati tak akan
pernah bertemu. Namun suatu saat kita pasti akan kembali dan kembali. Di mana
kita tak akan pernah bercerita dengan mulut sendiri sebab kita adalah matahari
yang dibahasakan bunga-bunga.”
Mengenai
tulisan ini, kesemuanya diambil dari: http://alaroa.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar