---D. Zawawi Imron/
mungkin langit telah kautaburi garam yang diperas dari sajaksajakmu
tanah gersang sudah kau cabikcabik dengan celurit emasmu
kautak akan menyangka ada jerit lantang menggema di atas langit,
mimpimimpi yang tertimbun ombak, telah mampu mengutuk matahari
di langit kemarau menjadi sebongkah batu langit
dan menghafal mantramantra tua warisan nenekmoyang
untuk memecah rembulan dalam semalam
maka tak perlu heran, bila malam telah kehilangan bintanggemintang
siangnya tiada matahari dan kemarau
sebab asin garam dan tajam celuritmu telah menimbulkan luka
yang perih dalam dada anakcucumu sendiri
ya. luka yang amat perih dan tak mungkin kau sembuhkan
Yogya, 2010
Riak Kecemburuan
seperti angin yang tak mungkin merubah warna dalam matamu
dalam matamu akupun mulai menghafal mantra rindu untuk merajut
kembali retak doa yang sempat tersesat di atas langit teramat hijau itu
kosongkan dadamu bila kecemburuan itu tetap membusung
karena lukaku terlampai perih
dan mungkin hanya bisa disembuhkan dengan getar detak jantungmu
ya. kosongkan dadamu, kekasih
langit mulai berubah warna dari merah kental menjadi putih seperti
tulangmu. sedikit hijau seperti sajaksajak yang hadir dalam mimpiku
atau kau tusuk saja dadaku dengan runcing kecemburuanmu, kekasih
dan kita bisa bersenggama dalam kesunyian seperti keabadian dalam
surga
Yogya, 2010
Pada Mimpi yang Luka
kemarin keyakinanku telah sempat memecahkan cahaya bulan yang
pernah singgah dalam mataku ketika memar luka bersimbah darah
kemudian angin senja bekas nafas busuk pertapa ingusan
tibatiba melerai masalaluku dengan potongan malam yang sunyi
hingga akupun menjadi pengantin paling sunyi di dunia ini
meski hanya dalam goa yang berbau dupatapapanjang dan seribu
kembang
o, entah kenapa bulan itu menjadi purnama di atas reranting
sambil bersiul dan mataku seolah binar bercumbu dalam asmara
tidak!
Yogya, 2010
Rumah Retak
hujan kemarin masih singgah dalam rumahku membasahi kitabkitab
yang tak sepenuhnya selesai kuterjemahkan menurut arti kegilaanku
harkatharkatnya kabur dan satu hrufpun masih tergenang air
sedang tubuhku terus menggigil kedinginan
hujan kemarin telah meratakan mimpimimpiku yang tersimpan
rapi dalam almari
dan mataku hanya bisa menyaksikan tetes air
yang terus gusar menusuk anganku yang sempat tegak serupa alif
rumahpun retak ketika aku semakin gila mengutuknya menjadi
kalimat sunyi dalam sajakku yang sunyi
sialnya, hujan itu
seperti tak akan pernah usai untuk terus mengguyur rumahku
selama aku tak berhenti mengutuk
Yogya, 2010
Gelisah Sunyi
bahkan pada kebisuan terdalam dari sisa sunyi yang kumiliki
kecemburuanmu tetap meretakkan dadaku yang kosong
kautelanjang dan menari dalam singkap mataku yang sepi
maka akupun takkan berhenti disini dalam sajaksajakku yang terpatri
Yogya, 2010
Penulis lahir di Pangabesen Sumenep Madura 15
Nopember 1987, alumnus PP. al-Huda dan MA NASA Gap-Tim, kini sedang
mempersiapkan tugas akhir studinya di jur. Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Tulisannya berupa cerpen dan puisi telah terbit di
berbagai media massa nasional maupun lokal, juga terkumpul dalam antologi
bersama “Rendezvouz di Tepi Serayu” Grafindo Yogyakarta 2009, “Bukan Perempuan”
Grafindo Yogyakarta 2010, serta dalam “Narasi Batang Rindu” Sakera Pangabesen
2010.
Diposkan oleh Arsyad Indradi di penyairnusantaramadura.blogspot.com
Jumat, 07 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar