Jurnas | Minggu, 16 Maret 2014
Sebuah Cermin
Michel Foucault
pada sebuah cermin
kausimpan pecahan wajahmu
membayangkan utuh
suatu yang tak ada
suatu yang terbayang
di antara
apa yang membatasi jarak
antara wajahmu dan cermin ini?
akhirnya
kautemukan ketiadaanmu
pada sebuah cermin
lipatan-lipatan waktu melepuh
kaubayangkan utuh
sebagai doa pelarian
para heterotopias
Kepada Patung
selamat datang
Kepada patungSelamat Datang
jutaan kubik air bah
menggobang-gobang akarmu
ratusan tahun disimpan
dalam kolam, serupa rawa-rawa
orang-orang kulit putih melepas jaket,
menyandangkannya pada bahu kursi kayu
iklim tropis memanggang tubuhnya
di kursi lain, mereka sibuk menyusun
masa depan pada sebidak tanah-rawa
Sunda Kalapa disulam menjadi Batavia
tubuh-tubuh mereka serupa buah anggur
meleleh pada sehamparan tanah
yang setia menyerap segala peluh
pasukan rempah-rempah datang
dari semua arah
membangun rumah kedua,
bukan di atas kanal
bukan di taman sakura,
bukan di pelataran Big Ben
tapi di lembah dan tanah-rawa
menuliskan cerita pertempuran
pasukan orang-orang dalam!
Kepada patungSelamat Datang
dua tubuh dipanggul di sebuah tiang
sebuket bunga dan secarik lambaian
selebihnya adalah mimpi sang presiden
Di sini masa lalu adalah kartu pos
masa depan adalah genangan air rawa
kecemasan yang ditanggung bersama
Kepada patungSelamat Datang
kau telah menanggung sapa
di balik wajahmu yang muram
sebuket bunga telah jadi api
kemarilah
ini tanah rawa
untuk kita semua
patung-patung terjaga
Setelah 12 Tahun
Alm. Hermanto Junaidi
aku telah menemui kesunyianmu
dalam lenguh pengembaraan
arah yang kau tujah
sebuah labirin
penuh bunga-bunga
semakin aku tersesat di sana
semakin aku merasai aroma
aku mengenang akar-akar bambu
tempat bersenyawa dengan sungai
mengalirkan mimpi-mimpi ke hulu
ke sebuah bukit peraduan
kaubuatkan sepucuk perahu
dari daun-daun bambu
sebagai kado keberangkatanku
aku merasai daun tembakau
tempat kita menyelami sunyi
menjelang matahari
pada rekahan bunga
di taman kecil halaman rumah
aku mengerti risalah ziarah
pada halaman daun-daun
pohon ketapang
tempat kaumenulis jalan pulang
mendekap aroma tanah basah
gerimis doa yang kutitipkan
pada sayap kubang-kunang
saat kau terbang
di malam itu
kini aku meregukmu dari jauh
dari ruas benua, aras kelana para penjarah
tempat daun kering musim gugur diremas
membangun kastil di atas tanah yang cemas
Bernando J Sujibto.
Penyuka puisi sejak di bangku MTs. Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Banyak
menulis (Puisi, Kolom, Artikel dan Resensi Buku) untuk berbagai media dan telah
menulis sejumlah buku. Kesukaannya berjelajah membawanya terbang ke negara-negara
asing: Amerika dan Australia, sambil tetap menulis puisi sebagai pengalaman
personalnya. Sekarang sedang menempuh pendidikan master di Turki.
http://www.jurnas.com/halaman/27/2014-03-16/291385
Tidak ada komentar:
Posting Komentar