Jurnas | Minggu, 16 Maret 2014
Rumah Piano
Ahmad Nurullah
seketika aku disambut
dua lagu beethoven
dari jemari seorang putri
laras, anak sunyimu
menziarahi rumah tua
ketukan satu-dua
dan pintu-pintu terbuka
sebuah biorama
adalah dunia di dalam diri kita
pada ruang-waktu yang berbeda
di rumahmu
rumah bagi langit
Ahmad Nurullah
seketika aku disambut
dua lagu beethoven
dari jemari seorang putri
laras, anak sunyimu
menziarahi rumah tua
ketukan satu-dua
dan pintu-pintu terbuka
sebuah biorama
adalah dunia di dalam diri kita
pada ruang-waktu yang berbeda
di rumahmu
rumah bagi langit
biorama itu
menunjuk sebuah lorong
ruang-waktu yang berdebu
kau buka satu kelambu
huruf-huruf tanpa tanda baca
menyuruk belantara
di rumahmu
rumah senja ibukota
lalu kau ikut memainkan
sebuah lagu, bersama laras
ketukan pertama adalah
kerinduanmu yang tertunda
ketukan kedua dipungut
not-not yang dimainkan laras
tembangmu seperti sebuah sungai
mengalir deras dari hulu entah
semakin jauh kau bermain
semakin dekat masa lalu itu
laras menagutnya sebagai wahyu
jika datang ke sebuah kota dengan taman bekas tapal kuda
dan bayonet para tentara perang sipil ditanam bagai bentara
pastikan engkau menemui pintu gerbang berwarna tembaga
terali besi tua serupa bekas meriam dan moncong senjata
disambut taman luas, semak mertil menempel di pohon tua
dan rerumputan tempat anak-anak bermata biru bermain ria
taman ini dikelilingi nama-nama masa silam dengan tanda
rumah tua dan ukiran tembaga di dinding yang menganga
di sini senyum dan goresan-goresan getir masa silam ditata
di rak-rak buku Carolinia, mesin ketik kuna, teleskop baca
menelisik garis rerusuk yang hilang dalam sejarah mereka
di atas meja dan rak-rak buku
masa silam adalah perkamen pecemburu!
dan pada sebuah taman dengan sepatu kuda terbentang
kerumun orang datang setiap weekend atau libur panjang
berbincang riang tentang masa sekarang yang lari kencang
di bekas bangunan tua dan bangku kayu yang memanjang
di depan scripture tembaga tua dengan nama-nama usang!
apa yang akan kau ceritakan bila mampir di horseshoe?
dua dunia terselip di tengah taman dengan sebuah tugu
masa kini yang berlarian dan masa silam yang cemburu
Pucuk Daun pada Ranting Basah
sepecuk daun dari ranting basah
tertingkap angin jauh
lalu jatuh di tanah
ini baru saja hujan, ibu
bau tanah selalu sama
hanya rindu membumbuinya
kepada nama-nama asing
sungai kecil di belakang apartemen
mengalirkan daun-daun yang jatuh
ke entah, mungkin ke sebuah sungai
tempat aku biasa bermain perahu
dari daun bambu, di belakang langgar.
sambutlah mereka, ibu. kafilah rindu
mengalir pada riak-riak dari jantungku
adakah daun bambu bekas mainan perahu
di belakang langgar itu juga terhanyut jauh?
aku ingin menjelangnya di sini, ibu
pada sungai-sungai yang mengalir
dari jantungmu ke jantungku
Bernando J Sujibto.
Penyuka puisi sejak di bangku MTs. Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Banyak
menulis (Puisi, Kolom, Artikel dan Resensi Buku) untuk berbagai media dan telah
menulis sejumlah buku. Kesukaannya berjelajah membawanya terbang ke negara-negara
asing: Amerika dan Australia, sambil tetap menulis puisi sebagai pengalaman
personalnya. Sekarang sedang menempuh pendidikan master di Turki.
http://www.jurnas.com/halaman/27/2014-03-16/291385
Tidak ada komentar:
Posting Komentar