MEDIA INDONESIA, 15-01-2015
Radarparana
tersimpan
di manakah degubmu
aku
mencarinya sedalam lautan
dengan
segenap keraguan yang berpacu
setiap
batu kuketuk, sepanjang karang ketelusuk
hanya
derak derak yang bisu, selebihnya
gelembungan
luka sisa siksa.
sedetak
melecut, engkau menyemakku
tapi
degubmu menyekam seperti rahasia dalam
rahasia
aku
melangkah ke hutan mungkin di sana ia
tersimpan
dari
Borneo sampai Amazon, udara hanya mengurai
daun
kering, bintang cuma bermain debu
hingga
aku membakar pepohon dan pepucuk mata
angin.
dalam
kegalauan aku bertanya
di
manakah kiranya tanda jantungmu
yang
tak pernah kusua di saban dada
yang
tak pernah ada selain milikmu yang misteri.
pernah
kumengira setiap semerbak bunga
adalah
gaharu degubmu. pernah kumenyangka
segala
bisik cempaka adalah raung parut rasamu.
setelah
terus kutilik baru aku mengerti
tangkai
akan lesup tetapi degubmu sepanjang hidup
aku
pergi ke langit barangkali degubmu di situ
yang
menurunkan hujan saat sembilu
kiranya
kedip kilat atau purnama-surya
yang
kemilau-bercahaya adalah warna tenguknya
tapi
o lagi-lagi, hanya setumpuk awan tanpa tenaga
cuma
sengat halilintar yang menambah carut tanya
terkadang
aku merasa degubmu seumpama api
yang
diterawang lewat kontemplasi
dunia
yang tersentuh namun tak tersentuh
legat
pikiran laksana mimpi bertemu Tuhan
Pademawu
renta
tahun dalam dekapmu
tubuhku
semakin gigil gemetaran
setiakah
kusimpan bunga-bunga cendawan
kala
pelukmu kau lepaskan?
aku
takkan memeras tangis dari lelubang kulitku
seperti
pancuran hujan di sudut-sudut bangunan
dalam
tengadah tangan aku mengemis
setetes
madumu lebur meresap ke runduk khusyukku
kecuplah
keningku
restui
kembara ini kulanjutkan ke jauh waktu
Epilog Pengasingan
hitung
saja jika mampu kau hitung
untaian
degub dari dingin keringat malamku
yang
berderatan dari setiap dera kereta pengasingan
pongah
yang tak pernah berkesudah
dan
kau hanya bersiul-siul seperti meminta
kehangatan
pada
api pada kayu pada nyanyian diam
yang
meledak di belakang tungku peristiwa
hitung
saja jika kau ingin melenyapkan
setiap
keresahan datang dalam musim hujan di dada
hitung
saja jika kau ingin menghapus kepenatan
gerimis
yang
hilang di retap jantung
kemarau
kini memanjang
mengeringkan
rongga mulut khatulistiwa
panas
sisa perang meluncur ke lelubang permukaan
saraf
lalu
nerobos berubah menjadi api dalam bensin atau
arang
dalam gelap
kau
temui matahari galau rembulan silau
cuaca
serisau kehampaan yang lekat dalam
kesunyian
saat
pria dan wanita tampak begitu jantan di jalanan
beradu
domba kembang dengan binatang
mereka
inginkan kelamin yang sama pada penguasa
lalu
di tepi sepi kau takkan menemuiku lagi
sebab
aku telah pergi aku telah terasing di suatu
negeri
maafkan
aku larikan diri
rindu
telah purba
dan
siasat membusuk dalam sandiwara
Raedu Basha
(raedu-badrus shaleh):
Penyair, kelahiran Bilapora Sumenep, 3 Juni 1988. Mahasiswa Pascasarjana S2
Ilmu Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Buku-bukunya: Matapangara (Puisi: Ganding, 2014), The Melting Snow
(Novel: Diva Press, 2014).
Mengarang
puisi, cerpen, dan sedikit artikel di sejumlah media massa nasional dan daerah
antara lain: Republika, Media Indonesia, Indopos, Suara Merdeka, Pikiran
Rakyat, Surabaya Post, Koran Merapi, Harian Cakrawala Makassar, Majalah
Tebuireng, Horison, Sabili, Bende, Kuntum, Media Pendidikan, Jurnal Aksara,
Koran Madura, Radar Madura, Kabar Madura, Puitika, Jejak Bekasi, Kompas.com dan
Kompas, Nahdlatul Ulama Online, serta buku-buku antologi bersama yang
terbit sejak 2003.
Menerima
Anugerah Sastra dari Universitas Gadjah Mada sebagai pemenang lomba penulisan
puisi FIB UGM (2014). Pemenang Sayembara Penulisan Puisi Tingkat Nasional Pusat
Bahasa Depdiknas RI Jakarta (2006), juara lomba cipta puisi Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Taman Budaya Jawa Timur (2006), juara baca puisi se-Jawa Timur
pada Pekan Semarak Tiga Bahasa Ponpes Al-Amien Prenduan Madura (2007), Juara
Cipta Puisi Teater Kedok Surabaya (2007), juara cipta puisi PSK Kendal Jawa
Tengah (2014), juara cerpen mahasiswa nasional Festival Cinta Buku LPM Fajar
INSTIKA Guluk-guluk Madura (2012), nomine cerpen mahasiswa nasional, LPM Obsesi
STAIN Purwokerto (2012 dan 2013), 5 cerpen terbaik Majalah Kuntum Yogyakarta
(2013), Penghargaan Puisi Piala Wali Kota Surabaya (2007), Penghargaan Agrinex
Indonesia lomba cipta dan baca puisi se-Indonesia Institut Pertanian Bogor di
Jakarta Convention Center (2007).
Menjadi
pemateri diskusi, pelatihan menulis, antara lain pemateri Creative Writing Camp
Yifos-ViVos. Konon belajar mengarang sastra di Komunitas Saksi dan Bengkel
Puisi Annuqayah. Perintis Rumah Sastra Bersama pada 2006. Diundang membacakan
sajak dalam Festival Kesenian Yogyakarta, Festival Sastra Kepulauan, dll. Facebook:
Raedu Basha, Twitter: @raedubasha, Blog: www.raedu-basha.com
(Arsip Pribadi Raedu Basha di www.raedu-basha.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar