Kisah Cinta Sepotong Kue
: Kemudian lakilaki, dan dari katakatanya, perempuan tercipta. Berbangsa bangsa, ber-su-ku-su-ku, agar kalian saling mencinta. Dan ia mengutukmu menjadi KAMU (kelompok dari kata penuh tipu dan rayu) dan kemudian: DIA; sampai waktu mengubah mereka menjadi BATU.
Apa yang sedang kau gambar, mam?
Bulan merah jambu? Seperti
setiap menjelang gerhana? Sakit itu dalam, tak berujung-pangkal. Gambarlah yang
dalam, siapa tahu sebentar lagi purnama, dan kau menemu pusar yang membuatmu
tenggelam, ke waktu-hingga batu. Batu dari lelahmu. Batu dari bukitbukit pada
lipatan dahimu yang hitam tiap pagi menghampar. Dan wajah itu, kenapa rama?
Bayangan tembok kota telah menghapusnya hingga lunas dendam dan rindu, dan
orangorang: rahwana berwajah sepuluh. Kau dimana?
Tumbuh belukar, kisahkisah
sungkar dalam sajakku terdahulu. Parfum, air mineral, bungkus sampo, sabun
lifebuoy, sok-lin, pepsoden telah memenuhi kepalamu menjadi teksteks penuh kaki
dari kisah sampan sangkuriang dan malin kundang. Lantas puisi? Sunyi dari perjalanan
kata menuju jejak teks penuh luka dan air mata. Air mata dari Kala, dan
Burisrawa pernah menemukannya sebagai permata; mata Kunti yang terlempar saat
melihat Yudistira terluka di arena Batara Dewa. Dewa dari dongeng orangorang
bukit yang percaya hantu dan pertapa di dahimu, bukan dahi setiap orang. Lantas
panah membuatmu tersungkur lebur, menjadi cerita sinetron dan telenovela penuh
bunga –bunga dari pemakaman kisah ayah dan bunda-.
Itulah sejarah bung! Katamu,
dan tanganmu menggambar bulatan setengah dua: hitam /putih, ini kamu/ini aku.
katakatamu penuh paku.
Menarilah! Di tepian sunyi
itu tak ada hantu, seperti percakapan kita tiap kali sepersetengah malam yang
lalu-la-lu. Gununggunung, belukar, jejak kaki dan sungai yang dalam dari sisa
lipstik di ujung gelas, dan kau hampir tergelincir ke gigir. Sebuah tepian dari
kolam tanpa ikan dan bunga beraneka rupa dari kata berjenis dendam. Aku dan kau
sama rupa tak sama wajah, katamu.
Tanganmu semakin menari,
membuat tulisantulisan setengah jadi, graffity. Membungkus kepala, dada,
tangan ke kakikaki. Kaki dari temboktembok yang mengelupas. Dindingdinding
menggelinding ke hatimu, semakin tebal hingga patung itu tumbang dan dari
mulutmu terdengar katakata tak sampai-tak sampai:
CI-N-TA-CI-N-TA!
Sumenep
2007
Mahendra, Lelaki kelahiran Sumenep penyuka
sastra dan teater sini adalah pekerja seni dan aktif membangun komunitas
kesenian, Teater Eska (yogyakarta), Roma Seni Bungkal, SPPY (sindikat penyair
pinggiran Yogyakarta), sanggar LENTERA (sumenep madura) dan dengan kekawan
aktif membangun komunitas Rumah ARUS Community dan Terminal Kuman eksperimente
de arte (Yogyakarta), sebab ia (dan mereka) percaya seni berangkat dari
keseharian yang remeh temeh, banal, kitch, juga profan. Lulusan (fakultas teologi
dan filsafat UIN sunan kalijaga yogyakarta). Sekarang ia bolak balik
Jogja-Sumenep sambil lalu membangun jaringan untuk ‘rumah taneanlanjheng’
Sumenep Madura.
Contak person:
+6285868156059 e-mail: Sare_ndra@yahoo.com.
Diposkan oleh Arsyad Indradi di http://penyairnusantaramadura.blogspot.com,
08 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar