Perihal Abu yang Turun di Kotamu
yang tak sampai padamu, kekasih. adalah air laut
biru rindu, dan buih-buih masa lalu. mengombak
menenggelamkan sajakku.
kau datang dengan kecemasan seperti Merapi
mengirimkan lahar. bara cintamu
pada hatiku yang subur.
lalu kau hapus namanya dengan hujan abu
yang kerap turun di kotamu
aku pernah hidup sebelum kau datang
dan aku pernah mati di hatiku sendiri
tetapi kau, dengan lantang menamainya kenangan
mengutuknya menjadi letusan-letusan
maka di bibirmu aku mengungsi, lalu terkunci
yang tak sampai padamu, kekasih. adalah air laut
biru rindu, dan buih-buih masa lalu. mengombak
menenggelamkan sajakku.
kau datang dengan kecemasan seperti Merapi
mengirimkan lahar. bara cintamu
pada hatiku yang subur.
lalu kau hapus namanya dengan hujan abu
yang kerap turun di kotamu
aku pernah hidup sebelum kau datang
dan aku pernah mati di hatiku sendiri
tetapi kau, dengan lantang menamainya kenangan
mengutuknya menjadi letusan-letusan
maka di bibirmu aku mengungsi, lalu terkunci
selanjutnya. yang kerap datang, adalah ketakutan
ketakutan akan bencana
sebab kita tak pernah melakukan persiapan
tak ada hujan yang akan memayungi kita
tak ada air laut, tempat kita membasuh luka
lalu, hanya abu yang tersisa
sisa pembakaran setelah doa doa kita
abu abu yang akan mengasinkan sajakku.
(Yogyakarta, November 2010)
Jika Sudah Sampai Padamu, November
jika sudah sampai padamu november
kenanglah hujan tahun lalu. hujan dari matamu, kekasih
tentang asin perpisahan. lagu sendu yang mengantarkan perjalanan.
"aku akan menyeberang," katamu
lalu datang cemas yang paling rintik. mengetuk kaca
"selamat tinggal."
November adalah bulan hujan. bulan ketika Tuhan mentitahkan perpisahan
pada Adam dan Hawa. di surga itu mereka terpisah, di surga itu kita akan bertemu.
jika sudah sampai padamu hujan yang asing
tutuplah jendela. tak perlu kau menatap ke atas genting
yang berbaris mengulurkan tangan, selamat jalan.
semoga akan datang padamu, november yang lain.
(Yogyakarta, 2010)
Badrul
Munir Chair, lebih dikenal dengan nama pena Munajat Sunyi, Lahir di pesisir Ambunten
(sebuah desa di pantai utara Sumenep-Madura), 1 Oktober 1990. Menulis cerpen
dan puisi, karya-karyanya masuk dalam sejumlah Antologi bersama, diantaranya
antologi cerpen Di Pematang Pandanaran (Matapena, 2009), Bukan Perempuan
(Grafindo-Obsesi, 2010), dan beberapa antologi puisi, seperti Diorama (Antologi
Penyair Tanpa Bilangan Kota) (Pondok Mas, 2009), Antologi Puisi Penyair
Nusantara Musibah Gempa Padang (E Sastera, Kuala Lumpur 2010 ), kumpulan cerpen
duetnya (bersama seorang teman) yang sudah terbit berjudul Bangkai dan
Cerita-cerita Kepulangan (FUY, 2009). Kini aktif bergiat di Masyarakat Bawah
Pohon. Bisa dikunjungi di blognya: badrulmunirchair.blogspot.com.
Diposkan
oleh Arsyad Indradi di penyairnusantaramadura.blogspot.com
Jumat, 05 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar