Biografi
Ayah
Pagi
telah membuka mataku, anakku
siang
perlahan berjalan di atas ubun-ubun
bersama
tuak dan keringat cahaya
dari
pundakmu keringat mengalir deras
embun
membasahi kaki dan bulu betismu
mata
kutenggelamkan di kedalaman laut wajah
dan
keringatmu
Dari
bening matamu
kusimpan
rasa tak bertepi
lantaran
jejakmu bertaburan puisi
semesta
tertunduk rapi
matahari
tersenyum
menyebar
ruang membasuh sepi
Lalu,
keringat terbang
menjelma
matahari
membubung
mencipratkan awan berlari
hujan
pun menumbuhkan segala makhluk semesta
Ada
hari-hari yang menjelma air mata
ada
gelombang rasa yang harus dilampaui, anakku
Aku
tahu dadamu bergelombang
dan
air mata tak punya hak untuk ada
Mungkin
tak ada gunanya
menutup
pintu dari cahaya
siwalan
yang tumbuh dari keringat
ia
hendak mencari-cari kerinduan
menampung
kesenangan dan kenyerihan
itulah
sebabnya aku tak tahu engkau, ayah
walau
aku dekat padamu
seperti
hidupku
2012-2013
Cemeti
Rembulan
tidur di mataku
ia
bangun di tengah kegelapan
dan
cahaya datang dari balik kesiur janur
Cakrawala
membentang di kepala
kunaiki
kuda sebagai kendaraan cahaya
dan
kubawa cemeti untuk membuka dada
Tak
satu pun jiwa menyala saat aku membaca
selintas
suara malam bergumam
ribuan
rasa jatuh ke dalam kegelapan yang mencekam
bahkan
damar talpek pun dari Taman Sumekar tak menyala
Cemeti
kupukulkan pada tubuh malam
malam
pun pecah di mata
jalanan
bertaburan rintik kegelapan
Cemeti
berkata dalam bahasa yang utuh
”Dempo
Abang kau akan menyesal
melawan
Cemetiku”
kata Jokotole
Cemetiku
hati
akan
kupecah sampanmu, kata Jokotole suatu ketika
Manding,
27 Desember 2012-2013
Pisang
Mas, Mukhlis Amrin dan Rambutan
Pisang
mas
siang
itu, rumahmu berbuah
suara-suara
diksi merayap dan
denting
sapa menggelayut manis
Kau
suguhi aku dengan sayat-sayat luka
hingga
dadaku bergelora
menaiki
tangga yang susah dan
pisang
mas penyedap kata
di
antara selingan bahasa
yang
mengalir ke dada
Sambutan
mesra dari piring bening
menambah
kecakapan semakin jauh
mengembara
ke hilir hingga aku dan aku
Mukhlis
Amrin
manis
teh dan asap rokok siang itu
menunggu
di puncak kemewaktuan
puisi
tanam padi yang kaubacakan
melahirkan
ribuan kata di kepalaku
Matahari
yang malu-malu
di
cela pintu timur rumahmu
memberikan
sapa berbeda
tentang
puisi dan perindu
lalu,
dewa-dewa di mataku
merayumu
untuk menukarkan
kata
demi kata
agar
tiga gelas di depan kita
penuh
dengan puisi semesta dan
kita
saling sapa
di
ruang baca
Rambutan
rambutan
yang berbuah di dada, berbuah di mata
masih
hijau, tak bisa dimakan
Sementara
huruf-huruf berserakan
di
bubungan rumahmu dan
kita
yang asyik menikmati
peperangan
pisau dan batu
untuk
menemukan peluh
di
segala penjuru
Giwangan,
3 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar