Episode Sunyi
tentang kesendirianku di ujung malam dan dingin yang terlampau
gigil itu
bulan bertandang gelisah di dalam matamu yang sepi
hijrah ke semaksemak belukar dalam sajaksajakku
lantas kesunyian menancap gelap dan luka yang tertimbun mimpi
tentang keberadaanmu dalam lukaluka perihku di musim hujan
sajak terakhir yang belum rampung kutulis
harus kuhafal sendiri dalam kesunyian
sambil menunggu kecemburuan paling besar dan kesakitan paling
dahsyat sepanjang malam
ya. tentang ki-ta
yang hanya mengharap satu kata saja untuk sempurna
Yogya, 2010
Rindu Penyair
bagiamana bisa aku menemuimu dalam kesunyian—katanya di selasela
hujan waktu pagi dan tak selesai sampai malam hari di matanya
segumpalkalimat mencair seperti air dalam duduksuntuknya setiap saat
melawan gemuruh yang menggulung gundah di atas awang
hingga tubuh penyair itu terpelanting tanpa gerak memenuhi luas
mimpinya yang berantakan (katakata bertebaran tanpa arti melebihi
kesakitan yang perih)
aku tak ingin kedatanganmu, sayang. aku hanya butuh lukamu untuk
mengamuk penantianku yang panjang—kata seorang perempuan
yang terus membuka gaunnya sampai telanjang memasuki hujan
yang bercak katakata
lambat laun.
kalau begitu untuk apa aku tetap disini. lebih baik aku lenyap saja
dalam katakataku sendiri hingga aku menemukanmu dalam
ketiadaanku
Yogya, 2010
Pantai Sunyi
melepaskanmu serupa membuang satu jarum di tengah samudera
bagaimana mungkin gelombang dahsyat dapat kutaklukkan
tangan ini hanya pandai merangkai sajak sunyi di pinggiran pantai
dan menulis namamu pada ombakombak kecil
atau menyimpan rindu itu di antara desir angin dan daun cemara
kamudian melempakrkan batubatu dada pada perut matahari
lalu aku berkisah pada nelayan tentang penyair yang melaut sehari
semalam hanya untuk merasakan asin garam
ternyata masih lebih perih jika telah mengenai lukaluka—katanya
maka antara pergi dan jalan pulang aku pun memilih untuk tetap disini
menjadi penyair yang selalu tenggelam dalam katakata sendiri
dan kau bersedia membacakan ketika orangorang terlelap gulungan ombak
Yogya, 2010
Semedi Panjang
bila lilinlilin ini kau padamkan bagaimana aku tahu cahaya bulan dan
pendarpendar bintang serta merasakan panasnya matahari
aku tak ingin tersesat di antara keraguan dan malam
sebab mataku sudah mulai binar dan dadaku terasa hangat sekali, sayang
sementara kita baru memulai semedi tapa panjang
bila hanya karena takut tak perlu kau membuka mata bacalah rinduku
berkalikali akupun akan menghafal kecemburuanmu dari kesunyian ini
jangan kaupadamkan lilinlilin ini atau menyimpannya di dadamu, sayang
hingga kita rasakan cinta seperti yang lahir dari hati Yusuf dan Zulaikha
Yogya, 2010
Surat Merah
surat merah yang kau tulis untukku adalah api
aku butuh kesunyian untuk membacanya agar mataku tak ikut terbakar
bukankah kau hanya ingin menyimpan api dalam dada dan aliran darahku
setelah meleleh nanti suratmu itu akan kulemparkan pada debur ombak
karena di sana ada secarik luka lama yang sedang mengaji rindu
silakan kau tulis lebih banyak lagi suratsurat merah dan letakkanlah di
pinggiran pantai, setelah perih nanti akan kutulis lagi dalam sajaksajakku
biar kesakitan itu berubah jadi nikmat—sebuah petikan gitar
yang menjelma seorang bidadari sedang menggantung bulan di leherku
pada saatnya kau terlelap, giliran desis sajakku yang akan membawamu
melesat ke atas langit menabur pernikpernik cahaya atas nama rintih rindu
kemudian kita benamkan masalalu demi mengundang matahari agar aku
tak lagi tersesat dalam lingkar waktu
Yogya, 2010
Narasi yang Hilang
jika kau anggap keberangkatanku itu adalah hilang maka lelapmu sendiri
yang akan menemukan kita telah tidak saling bertemu dalam mimpimimpi
aku telah berani menulis rindu penuh dalam namamu betapa kau ingin sekali
kubenamkan di tempat sunyi—pada kenyataan ketika kita saling mengisi
seperti bunyi rintik air yang selalu ingin menyimpan ketakutan dalam perigi
kupungkaskan akar kecemburuan yang tumbuh di bawah lembabjerami
dankau boleh menceritakan kegetiran darah memuncrat di tepitepi
tapi dengarlah dengan meletakkan kepalamu di dadaku—detak jantung ini
tibatiba di persimpangan jalan narasi sebait rindu hanya tersesat dalam sepi
padahal seharusnya telah mengantarkanmu sampai di sini
sekalian kuharapkan matahari meretakkan jalan paling sunyi yangku miliki
tapi lagilagi hanya ada mendung yang diamdiam menyimpan api
sampai di sini (kau) telah meleyapkanku sebagai lakilaki
sendiri. kembali kulis satu mimpi jadi makrifat sunyi dari sebuah narasi
Yogya, 2010
Sesuatu yang Hilang
pertama kali kaumenatap aku sudah merasa ada sesuatu yang hilang
dari pertemuan ini—dalam matamu kupelajari satu hal tentang bagaimana
menyimpan ricuh rindu dalam kesempurnaan purnama
(keheningan tetap katakata indah dan tak bisa jadi puisi)
apa yang mesti kulihat dari tatapanku sendiri yang telah patah ini
mencoba meramal dengan permainan rindu itu sudah tak bisa kulakukan
apalagi mendekapmu dalam kemesraan
sudahlah takperlu kau memaksaku menyelami matamu lebih dalam lagi
sebab aku terlanjur membuangnya pada hantaman ombak berduri
dan kau selamanya bisa jadi lautan bersama sisik amis ikanikan
ya. lalu kau tak perlu menanyakan kabarku
sebab sudahpasti aku jauh lagi pula aku tak yakin kaubisa menemukanku
dalam dirimu
Yogya, 2010
Air Mata Keruh
jangan sekalikali memaksaku memajang cermin tua yang telah retak itu
sebab kaupun takkan pernah bisa memecahkan keruh airmataku
—sebuah kesunyian telah menenggelamkanku dalam sajak si penyair
Yogya, 2010
Elegi Pertemuan
ada kesakitan memang yang sangat akan kupertahankan
demi meretakkan sebongkah matahari yang kauletakkan dalam dadaku
setelah retakretakan itu jadi kemarau akan kutancapkan di keduamataku
pelanpelan darah akan menetes bercampur air mata hangat
mengalir ke sungaisungai hingga di perbatasan paling menakutkan
berbulanbulan aku mengandung rindu entah dimana akan kubuang
segala tempat sudah penuh sesak dengan ribuan namamu
hanya ada satu kesunyian yang mungkin masih bisa menusukku
atau kusimpan saja dalam letihlelahku
biar penyair sunyi itu rela mengabadikan dalam sekumpulan sajaknya
Yogya, 2010
Sebait Kesunyian
mestinya malam ini kita sudah sampai di pulau sebrang setelah
tak ada lagi ombakombakberpacu dan berkalikali menerjang perahu
yang sedang membawa mimpi kita
hanya saja kita masih tersesat di antara nyanyian para nelayan
dan katakata yang bermukim di perut ikan
sudah pasti kita akan tenggelam karena perahu itu telah retak parah
lalu masihkah kau akan menangis seperti mata yang terluka
atau dengan hati damai kau ikut serta bersamaku menceburkan diri
sebab aku sudah tidak sabar ingin dilumat ombak sampai hancurlebur
kemudian akan kucari puisi sampai di tempat terdalam sekalipun
pada saatnya nanti
sebait kesunyian akan menenggelamkan rindu di dasar mimpi
bahkan selamanya dalam keabadian
Yogya, 2010
Penulis lahir di Pangabesen Sumenep Madura 15
Nopember 1987, alumnus PP. al-Huda dan MA NASA Gap-Tim, kini sedang
mempersiapkan tugas akhir studinya di jur. Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Tulisannya berupa cerpen dan puisi telah terbit di
berbagai media massa nasional maupun lokal, juga terkumpul dalam antologi
bersama “Rendezvouz di Tepi Serayu” Grafindo Yogyakarta 2009, “Bukan Perempuan”
Grafindo Yogyakarta 2010, serta dalam “Narasi Batang Rindu” Sakera Pangabesen
2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar