Koran
Tempo Jakarta | Minggu, 15 Mar 2009
Jalan
Sungai
ke payakumbuh
setiap ujung daun
selalu mengucur air
seperti kesetiaan sungai
kepada setiap jalan di sini
sungai untuk semua, bisikmu
menerbangkan mimpi ke awan
mengembalikan hujan ke tanah
dan
mereka pun lahir
dari jantung tanjung
dari kelokan maninjau
dari tepian sungai-sungai
menjadi kilap batu di langit
menjadi tuah pusaka semesta
dari bukit
langit begitu dekat
merapat ke segenap sudut
jalan-jalan seperti berlepasan
menuju tubuh yang siap dilahirkan
ke payakumbuh
setiap ujung daun
selalu mengucur air
seperti kesetiaan sungai
kepada setiap jalan di sini
sungai untuk semua, bisikmu
menerbangkan mimpi ke awan
mengembalikan hujan ke tanah
dan
mereka pun lahir
dari jantung tanjung
dari kelokan maninjau
dari tepian sungai-sungai
menjadi kilap batu di langit
menjadi tuah pusaka semesta
dari bukit
langit begitu dekat
merapat ke segenap sudut
jalan-jalan seperti berlepasan
menuju tubuh yang siap dilahirkan
menuliskan seribu peta keberangkatan
matahari dari balik kedipan siap bersambut
merajam sangsai sungai di laut, kisah masalalu ditenggelamkan
aku datang seperti sepasang insan bertemu dalam pelukan tuan
leluhur kata-kata yang telah merajut pelangi dari semua musim
merangkumnya di sini, di jalan sungai yang terus mengucur air
Ihwal Serpihan Musim
hujan
ia mendiamkan ombak di lorong mataku
menuju tujuh lapis kepada satu langit
kelak ia akan menjejak di pipimu
menjadi peta anak-anakku
kemarau
ke tepi bukit, ke sawah bawah sana
petani menaksir buah simalakama
kabut
engkau lebih awal menghapus ingatan
adalah bayang-bayang di balik hujan
jejak
yang dihapus akan acap datang
lantaran angin menyeka beranda
(2008)
Setelah dari Rumah Atas Bukit
Kepada Bang Raudal Tanjung Banua
jika ke pesisir selatan, terbayanglah ombak
menjahit langit dengan tungkai bukit taratak
ada kuda yang berkelebat di balik saga senja
“tabik bagi orang-orang rantau!” kata mereka
dari atas bukit itu, si koto, mengurai kisah
jarak pandang antara laut dan beranda rumah
tergerai pelangi, bersambut warna-warna sisik
ikan di langit, sketsa kapal-kapal perantauan
yang tak pernah bisa ditambatkan
laut, di sini, lebih setia menyimpannya
sebagai rahasia yang tak tersebut namanya
di ujung april sebelum ke payakumbuh
kelahiran itu kutemukan seperti selendang subuh
mengakrabi daun yang uratnya kini menjadi pohon
dan di tengah pagi ia akan pecah menjadi awan
terbanglah ke semua sudut langit, yang begitu dekat
dari atas bukit bekas rumah dan rehat kisah kesah
dan, jalan ke bukit itu setiap hari berubah
sukma tertusuk duri hingga berkali-kali
seperti tak sanggup melayat kembali
setelah dari rumah atas bukit itu
jarak bukit dan laut begitu dekat
jika orang memanggul rotan, ia
pasti baru saja berlayar di laut
jika mereka membakar ikan, ia
pasti baru saja berburu di bukit
(Padang, April 2008)
Bernando J Sujibto, kelahiran Sumenep, 24
Februari 1986. Menulis puisi, esai, artikel, dan resensi di media lokal ataupun
nasional. Karya puisinya terkumpul dalam antologi bersama seperti Risalah Dua
Jari (Andalas, 2002), Kampung dalam Diri (Temu Penyair Lima Kota, 2008), Puisi
Menolak Lupa (Obsesi Press, 2010), Mazhab Kutub (Pustaka Pujangga, 2010), dan Suluk
Mataram (Galang Press, 2011). Sementara karya tulis ilmiahnya masuk dalam buku
kompilasi seperti Resasan untuk Jogja (Impulse, 2009), Islam: National
Character Building dan Etika Global (UIN Sunan Kalijaga, 2010), Kalian Islam
Multidisipliner ]jilid 2 dan 3] (Lemlit UIN Jakarta, 2009 dan 2010), dan Islam
dan Terorisme (Grafindo, 2010). Kesukaan berjelajah membawanya terbang ke
negara.
http://sajaktanahair.blogspot.com/2009/03/sajak-sajak-bernando-j-sujibto.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar