Lapar Itu Sepi
Sepi yang
menyelami nyeri
di langit senja
berawan
keresahan
mencari kata baru untuk menjadi jalan
Asap, deru
knalpot dan krikil rel gemetaran
sayang, ia
bukan minuman penyangga lapar
Keringat
mengelu dalam kaki
seluruh sudut
jalanan memberontak mengajak perang
laksana denting
pedang di ruang badai
Angin, air mata
dan sumber kesejukan menghantui
perawan-perawan
bergoyang kemabukan
ketakutan,
berlalu sebagai patahan sayap-sayap
Anak dalam
gendongan terlihat melekat
di kening
perempuan yang mengenang penguasa
Ini tanah air
pengecut
dari bulu halus
para tikus
merobek
matahari bersama kelaparan
Tenggorokanku
seakan menjadi ruang angin kematian
sebelum
kupanggil kata puisi di mana tempat
kunikmati rasa
yang berwarna masa
Tidak ada
salahnya kau bermain di jiwaku
dan kuizinkan
juga kau menangis bersamaku
untuk
melangkahkan.
Yogya, 2014
Hujan Akhir Tahun
Merayap ke
perkampungan membawa cerita duka
Sejuta tanda
tanya, kepung jalanan kota
Lukiskan pesan
pada dinding gedung perkantoran
Agar semua
paham tentang aroma yang tak nyaman
Melukai waktu yang terus berjalan
Tentang sungai
yang tak pernah bertanya
Aku Terima Kabar
Aku terima
kabar dari tetangga
Di perkampungan
desa
Ada banyak kata
yang dijanjikan
Rerumputan
terasa sesak membaca namanya
Mabuk oleh
gambar yang bergelantungan
Pada akhirnya
kata-kata itu
Meski aku tagih
tiada henti
Aku terima
kabar
Awal hujan
Sebagai modal
buat hanyutkan utang
Tidak jauh
beda, layaknya bisikan setan
Nyanyian Angkringan
Di dalamnya
telah tersaji setumpuk bungkus nasi
Peralatan buat
meracik kopi
Asap yang setia
menyelami dingin angin malam
Terkadang
bergetar menyanyikan kerinduan
Hingga suara
mesin pabrik memecah
Menjilati.
Padahal jarang
badai dingin malam menegurnya
Pada tubuh dan
sepasang matanya yang binar
Mengandung
asap, kabut yang sendu
Tak Perlu Menangis
Sebab matahari
setia terbit
sebagai tempat
kita menatap semesta
dan aku juga
tak ingin pagi yang berawan ini menjadi hujan
biar air matamu
tidak mengadu ke mana-mana
dari lukamu
tidak diartikan sebagai luka dan lara
melainkan
kelembutan dan kesejukan yang tertuang
di ke dalaman
jiwa penyair.
Tentang Debu
Di ruang
berselimut udara itu, terlihat
Titik-titik
kerikil menjelma angin
Laksana
gelombang yang runtuh
Menjadi hantu
di musim yang baru
DI wajah-wajah
kota.
Inikah sebuah
awal cerita masa
Pada napas
waktu yang tersisa
Sebelum
akhirnya binasa
Purnama Akhir Tahun
Berhenti
menempel pada bebatuan yang berlumut
Suasana cahaya
negeri mendadak gaib
Ingin rasa aku
menusuknya.
Kabar Hujan
Merayap
keperkampungan membawa cerita duka
Sejuta tanda
tanya
Lukiskan pesan
pada dinding gedung perkantoran
Agar semua
paham tentang aroma yang tak nyaman
Selama ini
melukai waktu
Tentang sungai
yang tak pernah bertanya.
Hariyono Nur
Kholis: lahir di
Sumenep, 21 Agustus 1992. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aktif di Komunitas Sastra Rudal Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar