Hammurabi
akulah
gembala dari bangsaku
padang-padang
terbentang ke semua penjuru
Tigris
membelah dadaku,
deras
arus menggetarkan Zargos
Teluk
Parsi di selatan menanti mayatku ngambang
ikan-ikan
menganga menunggu hari pesta
tapi
kau tahu, Samsuiluna
aku
raja Babilon yang perkasa
seribu
topan tak akan merontokkan rambutku
di
timur tanahku terbentang hingga Susa
di
barat kota Mari bernaung di bawah jubahku
maka
tak perlu kubangun benteng-benteng
sebab
batu bata akan dihancurkan usia
“tapi
kau takut direnggut bayanganmu sendiri, Raja.”
kota
Ur dan Nippur telah kuhancurkan
di
sana bayang-bayangku terkapar
telah
kau saksikan tanah-tanahnya membara
seribu
tahun, tak akan ada bunga-bunga menguntum
bahkan
gema akan susut ditelan cuaca
hanya
waktu dan rindu akan menghentikan langkahku
seperti
kau tahu, di depanmu kini aku terbaring
bukan
lantaran darahku telah kering
bukan
lantaran aku telah bersekutu dengan angin
Yogyakarta,
2015
Jalan Simpang
masih
kudengar suara itu
gelora
yang tak henti menyebut namamu
tahun-tahun
lewat di relung syahwat
bekejaran
burung-burung di langit mendung
di
bawahnya seribu mesin memburu angin
bendera-bendera
berkibar di tiang listrik
aku,
mengutuk waktu
memburu
deru
di
barat kota-kota menyanjung nama
di
timur Spinx menangisi padang pasir
berdiri
aku di batas getir
serapah
tumpah menjelma desah
Gilgamesh
memburu ilusi ke ujung sunyi
Sargon
menyanyikan lagu untuk kematiannya sendiri
tapi
di sini aku berdiri
menimbang
hari paling sunyi
di
kedalaman puisi
Yogyakarta,
2015
Perjalanan Malam
denting
tiang-tiang jauh dari sunyi
jalanan
sepi ditinggalkan hasrat puisi
bocah-bocah
tak bernama
menunjuk-nunjuk
gambar di papan iklan
aku
melangkah tanpa baju zirah
langit
basah jadi asing
lukisan
angin pada tembok kusam
bagai
hikayat kematian
“apa
yang kau pandang?”
kudengar
suara tanpa bentuk
datang
dari ufuk jauh tak berlubuk
di
barat bulan langsat
berlabuh
di atas masjid
orang-orang
dibangunkan nyanyian burung
bintang
timbul-tenggelam
seperti
suara lirih gelandangan
di
tengah riuh redam keramaian
ketika
bertanya kuburnya di mana
“aku
melihat wajah durjaku abadi
pada
setiap tepi jalan ini,” sahutku.
setelah
itu seribu deru datang
menyambut
fajar dan terang
Yogyakarta,
2015
Kereta
aku
menaksir waktu keberangkatan pada karcis terlipat
membentang
harap dan cemas akan tiba di satu alamat
kursi-kursi
berderet seperti pelayat kesedihan
di
luar orang-orang melambai di bawah hujan
gerbong
gaduh suara janji dan ucapan selamat tinggal
ada
yang menangis di muka jendela, wajahnya kuyu bulan gehana
pluit
melengking ditiup masinis, senja merentangkan tangan
stasiun
yang pendiam membiarkan lantainya basah air mata
Yogyakarta,
2015
Karam
halamanku
laut mati
hanya
ombak dan angin memberi nafas pada diri
cemara-cemara
melambai bersandar pada badai
puting
langit menembakkan panah api
perahu
warisan terbakar, abunya menyebar
membentuk
gambar layar yang hilang kibar
buritan
menangis bagai seorang gadis
ketika
didengarnya detak terakhir jantung pasir
di
atasnya aku mematung,
menangkis
hujan dengan satu tangan
bintang
laut bertebaran bersama lokan dan angan
gunung
karang di kejauhan timbul tenggelam
meski
tahu langit akan bertambah kelam
mimpiku
akan dikaramkan pasang
tiang
berandaku tetap kutegakkan
wajahnya
yang lengang tetap kuhadapkan pada pantai
sebab
aku anak ikan
yang
lahir di lambung sampan
Yogyakarta,
2014
Kafe Malam
kunyanyikan
lagu sunyi di tengah keramaian
kursi-kursi
diam seakan khusyuk mengeja riwayat hujan
malam
hitam menamparkan dingin ke wajahku
bergetarlah
kalbu, bagai ditembus peluru
lantai
penuh serakan puntung
sobekan
kertas-kertas dipermainkan angin
kuingat
lagi selembar karcis
yang
kutinggalkan di sebuah stasiun
saat
kereta yang kutunggu tak datang
dan
kota yang kutuju telah hilang
jejak-jejak
tak pasti adalah ilusi
seperti
lampu-lampu kuning kafe ini
cahayanya
menjangkau ke wajahku
warnanya
meresap di tubuhmu
namun
kita tak akan pernah bertemu
di
kafe remang ini aku saksikan
wajah-wajah
sama selalu datang
pergi
pulang tanpa pesan
tanpa
kesedihan
Yogyakarta,
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar