Perantau
dari Madura ;D. Zawawi Imron
Aku masih melihatmu mengayun sampan di tengah laut. Padahal jembatan megah itu telah membentang ke kampung halaman. Dan siap mengantarmu pergi ke mana-mana.
Ah! Tapi kau memang lebih perkasa dengan angin dan ombakmu. Dari pada harus berdasi dan duduk manis di dalam mobil ber-AC. Dan meluncur ke jantung kota yang mulai kehilangan sepi dan sunyi.
Bahkan di mata tuamu yang nyalang, angin kian tak terbendung. Ombak-ombak pun semakin membubung. Kau melesat bagai kilat. Lampaui semua itu. Dan aku akan tetap mengingatmu sebagai perantau Madura
yang bangga membawa kampungmu ke mana-mana�..
Madura, 2011
Aku masih melihatmu mengayun sampan di tengah laut. Padahal jembatan megah itu telah membentang ke kampung halaman. Dan siap mengantarmu pergi ke mana-mana.
Ah! Tapi kau memang lebih perkasa dengan angin dan ombakmu. Dari pada harus berdasi dan duduk manis di dalam mobil ber-AC. Dan meluncur ke jantung kota yang mulai kehilangan sepi dan sunyi.
Bahkan di mata tuamu yang nyalang, angin kian tak terbendung. Ombak-ombak pun semakin membubung. Kau melesat bagai kilat. Lampaui semua itu. Dan aku akan tetap mengingatmu sebagai perantau Madura
yang bangga membawa kampungmu ke mana-mana�..
Madura, 2011
Museum Affandi
Di musium ini, lukisan-lukisanmu memiliki hati. Dari hati itu berlahiran kata-kata. Hingga mataku menjelma tujuh macam warna. Lalu aku terbawa ke dalamnya.
Di sini aku sampai lupa kalau tubuhku tertingal di luar sana. Sebab lukisanmu terus mengajakku berbicara, bercerita, dan mengajakku masuk ke dalam hatinya; ada suara-suara yang terlanjur menempel di kaki waktu dan terus mengguyurku dengan kata-kata.
Itukah hatimu? Hati yang kini bersemayam dalam lukisan-lukisan.
Yogya,2011
Sebuah Ruang
Aku ingin membangun rumah dalam diriku. Agar aku bisa bergerak seperti yang aku mau. Maka dari itu, kurangkai kata-kata sedemikian rupa. Lalu kuramu bersama tujuh macam warna, tujuh macam mantra dan tujuh macam pula luka.
Bila aku tidur, aku akan terlelap sambil kudekap seribu bahkan jutaan mimpi di atas kata-kata. Dan bila aku ingin menggauli istriku, pastilah kulakukan di dalam kelembutan kata-kata. Bahkan bila aku akan berangkat berlayar, kata-kata itulah yang selalu mengantar.
Ya, detik ini, aku telah memulai membangunnya dalam diriku. Sebab kata-kata terus bergemuruh dalam dada.
Yogya,2011
Sebuah Waktu
Dalam puisiku aku memiliki waktuku sendiri. Waktu yang tak sama dengan waktu yang mereka miliki dan mereka bawa ke mana-mana.
Waktuku hanya ada dalam puisiku. Dan puisiku adalah separuh wahyu. Separuhnya lagi tersimpan rapi di rumah Tuhanku.
Yogya,2011
Sajak Untuk Seorang Ibu
Aku terus merantau dalam jazirah jiwamu. Mengikuti aliran darahmu, detak jantungmu, sampai di sebuah ruang dimana kau selalu melelapkanku bersama mimpi itu. Lalu tak pernah kulupa untuk menyalakan lentera. Agar mataku terus menyala dan jiwamu kian bercahaya.
Ibu, karena kau tak membatasi jarak perantauanku, maka aku pun terus menyulur kakiku sepanjang waktu yang tak pernah beku dalam diriku juga dalam dirimu.
Yogya,2011
Di Tepi Kali Gajahwong I
Di pinggir sungai itu, kulihat ikan-ikan yang meronta, sebab airnya terlalu keruh. Mereka menatapku. Matanya merah. Seperti kobaran api yang hendak membakar seluruh tubuhku. Panas merambat. Sampai di mataku.
Ikan-ikan itu terus meronta. Hingga dadaku bergejolak, saluran pernafasanku sesak, detak jantungku melemah dan urat sarafku rapuh.
Ada yang menetes dari mataku. Sesuatu yang sangat bening. Ikan-ikan itu kemudian berlarian ke dalamnya. Sambil mengipaskan siripnya.
Yogya,2011
Di Tepi Kali Gajahwong II
Aku ingin kau mengajariku mengalirkan sampah-sampah dari dalam diriku. Sebagaimana kau melakukannya di setiap detak jantungmu. Agar ikan-ikan di dalamnya terus bertelur, beranak pinak dan terus semakin banyak.
Sungguh aku ingin belajar sepertimu. Seperti ikan-ikan itu. Seperti ketabahan dalam waktu.
Yogya, 2011
Kaki Sajak
Kaki sajakku mengajakku berlari mengejar matahari dan bermain api. Hingga seluruh tubuhku terasa panas.
Bersamanya dan di dalmnya, aku tak pernah merasa penat. Sebab ia telah jadi dagingku, tulang sumsumku, darahku, jantungku dan jiwaku.
Aku selalu merawatnya dan ia memperpanjang nyawa.
Yogya,2011
F. Rizal Alief,
lahir di Sumenep, 15 November 1987. Mahasiswa UIN (Universitas Islam Negeri)
Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tulisannya dimuat dalam media nasional dan lokal,
juga terkumpul dalam antologi Sauk Seloko (PPN Jambi VI,2012), Menyirat Cinta
Hakiki (antologi puisi NUMERA, Malaysia, 2012), Suluk Mataram (Yogya,2012),
Epitaf Arau (Padang 2012). Akhir tahun 2011 diundang membaca puisi di Rumah
Pena, Kuala Lumpur, sebagai hadiah terbaik ketiga Lomba Cipta Puisi IADB
Padang. Kini aktif di komunitas Rudal Yogya, Komunitas Rumah senja &
SeMenjaK Gapura Tengah, Sumenep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar