Dalam Ayatku
Kelebatmu menjelma ayat-ayat dalam dadaku dan
kuhafal di setiap waktu. Ia bergemuruh. Mencairkan ombak-ombak beku. Ke tengah
samudera yang biru. Aku membiru. Meramu putaran waktu. Di setiap detak
jantungku.
Di sepertiga malam, atau subuh menjelang. Dirimu semakin hening bak embun yang baru turun. Aku tenggelam bersama jiwaku yang malam. Berayun dengan tenang sampai aku lupa bahasa silam. Sampai malam benar-benar bersalin.
Matahari bergerak perlahan dari titik mataku. Lalu kubuka pintu. Dan kulihat dirimu sedang menatapku. Aku tersenyum padamu. Kau meleleh. Menjelma ayat lagi. Lebih rapi lagi. Lebih sunyi lagi. Melarut ke dalam hati.
Yoggya, 2011
Di sepertiga malam, atau subuh menjelang. Dirimu semakin hening bak embun yang baru turun. Aku tenggelam bersama jiwaku yang malam. Berayun dengan tenang sampai aku lupa bahasa silam. Sampai malam benar-benar bersalin.
Matahari bergerak perlahan dari titik mataku. Lalu kubuka pintu. Dan kulihat dirimu sedang menatapku. Aku tersenyum padamu. Kau meleleh. Menjelma ayat lagi. Lebih rapi lagi. Lebih sunyi lagi. Melarut ke dalam hati.
Yoggya, 2011
Nyonyonson
Matahari telah tenggelam ke dasar mataku
dan kupanggil dirimu dengan seruap asap keminyan suci ini, sebab kutahu jumat telah lebur ke dalam diriku menjadi waktu paling sakral. Kutunggu kedatanganmu di setiap pintu rumahku. Di atas sepat kelapa yang kubakar.
Dalam wanginya, kulihat kelebatmu sedang membawa cahaya. Cahaya yang tiba-tiba melarung jiwa. Sampai kudengar pula
suaramu meraba-raba
sedekat hati yang berkata-kata.
Yogya, 2011
dan kupanggil dirimu dengan seruap asap keminyan suci ini, sebab kutahu jumat telah lebur ke dalam diriku menjadi waktu paling sakral. Kutunggu kedatanganmu di setiap pintu rumahku. Di atas sepat kelapa yang kubakar.
Dalam wanginya, kulihat kelebatmu sedang membawa cahaya. Cahaya yang tiba-tiba melarung jiwa. Sampai kudengar pula
suaramu meraba-raba
sedekat hati yang berkata-kata.
Yogya, 2011
Dalam Biru Laut : Sayyidina Balyan Ibnu Malkan
Sambil kupuisikan namamu bersama asin garam
yang pekat dan suara yang rapat, kukayuh sampan dari tepi jiwaku
berlayar
di atas debur ombak yang tak pernah surut dalam samudera tua.
Kumasuki ruang dan waktu yang yang paling tua di dalamnya. Dan kutinggalkan sampanku di permukaan sana
ikan-ikan berlarian ke dalam diriku
memunguti
lumut dan batu-batu
sampai dirimu terbit serupa bulan dalam tapaku. Dan kudengar suaramu terus memanggilku. Begitu merdu. Redakan maha rindu.
Yogya, 2011
berlayar
di atas debur ombak yang tak pernah surut dalam samudera tua.
Kumasuki ruang dan waktu yang yang paling tua di dalamnya. Dan kutinggalkan sampanku di permukaan sana
ikan-ikan berlarian ke dalam diriku
memunguti
lumut dan batu-batu
sampai dirimu terbit serupa bulan dalam tapaku. Dan kudengar suaramu terus memanggilku. Begitu merdu. Redakan maha rindu.
Yogya, 2011
Ngocol Sape
Kulepaskan sapi ini dari kandangnya, agar ia
bisa berlari dan berbunyi dari dalam diriku sampai ke dalam dirimu. Sapi itu
berlari seperti matahari dan berbunyi seperti puisi. Di bhujuk berek itu
kubuat lagi kandang sapi. Sebab sapi-sapiku kian bertambah banyak dan berlarian
ke sana ke mari.
Setiap lebaran tiba, sapi-sapi yang kulepaskan itu berkumandang dari pintu surga. Dan kupanggil ia dengan bau tubuhnya yang masih ada di dalam dada. Lalu ia bercerita tentang pengembaraannya ke pulau-pulau rantau. Bahwa jauh di ujung sana, ia melihatku sedang di usung banyak orang. Menuju bulan. Di ujung perapian.
Yogya,2011
Setiap lebaran tiba, sapi-sapi yang kulepaskan itu berkumandang dari pintu surga. Dan kupanggil ia dengan bau tubuhnya yang masih ada di dalam dada. Lalu ia bercerita tentang pengembaraannya ke pulau-pulau rantau. Bahwa jauh di ujung sana, ia melihatku sedang di usung banyak orang. Menuju bulan. Di ujung perapian.
Yogya,2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar