Dalam Hujan
Apakah kita
sudah menikmati hujan?
Aku rasa ini
hujan diturunkan atas namamu
Telah lama kita
membayang berlari-lari dalam hujan
Kau memintaku
menadahnya dnegan tangan
Kemudian kau
minum dengan cinta
Kau memelukku
atas namanya
Aku pun
menciummu seperti ciuman hujan pada tanah
Lembut sekali
pipimu yang basah itu
Tanah-tanah
telah basah, hati kita pun basah
Bebunga tumbuh
rekah harumnya lahir dalam bahasa
Kau yang
mengucapkan padaku
Bahwa
bunga-bunga itu akan tiba masa gugurnya
Tapi tidak
dirimu
Aku hanya
mengangguk mengikuti langkahmu melawan hujan
Kalau hujan ini
usai
Kita ke arah
barat atau timur mencari hujan lain
Itu katamu,
sebelum langit redup bersama matamu
Kau telah
emnikmati hujan, di sini
Bersamaku
Yogyakarta,
2014
Setelah Sampai Muara
Genap tiga
tahun kita berjalan di atas samudera ini, kita telah
banyak menyelam
ke dasarnya, mereguk asin air laut, telpempar
ke batu karang,
tapi kau menguatkanku untuk sampai ke muara.
Tidak ada
alasan untuk kembali ke darat atau mati terapung di
atas laut.
Semua karena kamu, karena hatimu yang tak pernah
aku lupa
kata-katanya.
Dari dulu,
sebelum dirimu datang menawarkan angur pada dingin malam,
aku selalu
kesasar, aku selalu kembali ke darat dengan tubuh luka-luka.
Aku sekarat.
Hingga berkali-kali aku mendayung ke samudera bunga-bunga ,
belum sampai
mendayung ke samudera bunga-bunga pun layu. Aku seorang diri, tiada snaggup
melawan gelombang, teriakku. Tapi apa peduli
Mereka kian
layu. dan aku pun pupus.
Mungkin kita
memang tak pernah diciptakan untuk sendiri.
Puisi Tandingan
Yang lahir dari
kata
Dan sama-sama
berdaulat
Berebut tempat
keramat
Kita melihatnya
dalam puisi
Yang lahir di
kata
Meminta jabat
yang erat
Takut hidupnya
sekarat
Padahal
hakikatnya telah sepi
Lalu apa yang
akan lahir dari kata
Setelah bijak
dan adil tak searah
Di sini atau
pun di sana
Hanya politika
yang membingungkan
Puisi berdaulat
atas nama rakyat
Puisi berdaulat
di atas rakyat
Hutan Rasa
Jika bukan
karena engkau yang
menyiram bunga
seroja di nirwana. Maria
telah aku
tiadakan dukanaku dalam arus darah
yang meresap ke
perdu-perdu kalbu
biarlah ia
berdenting seperti gelas jatuh ke lantai
saat malam
menutup segala cahaya
biarlah sunyi
pecah oleh bunyi yang dibuatnya sendiri
sementara kita
sibuk melayani berahi di ranjang rahasia
maria-maria
kemarihlah! mari kita lihat jejak
sungai di hutan
rasaku yang kelam
akan
kuperlihatkan padamu gemericik air menyembur
dari palung
samudera
yang menyimpan
seribu beloan dari percik-percik kata
yang tak
terucapkan
ia mencari
temapt paling aman setelah dijerat para nelayan
aku tak tahu
bagaimana menggandeng tanganmu
yang selembut
sutra itu
padahal pandnag
telah suram dan kamu akan meminta pulang
hingga aku lupa
mengantarmu ke seberang
musabab pikirku
tak selesai menerawang tubuhmu yang remang
aku minta kau
gantikan bayang-bayangku yang lunglai
agar matahari
hilang panasnya seperti rembulan
2013
Zikir Daun
Telah
kutanyakan zikir Tuhan pada daun yang jatuh tak sampai
dari rantingnya
yang kerontang, hari kadung senja dan daunpun
jatuh sebelum
menjawab
juga kutanyakan
pada yang berserakan di bawah perdu pepohonan
desir angin di
sore yang jingga membuat mereka gemerisik
seakan
berbisik-bisik tentang jawab yang kuminta
ah, tak ada
yang kutangkap dari seru suaranya yang kacau
kecuali riuh
angin yang membuat mereka berceracau
seorang lelaki
berjalan tak meninggalkan jejak
dari pundaknya
ia taburkan aroma kering daun di jalanan
kemudian ia
pungut dari yang berserakan
aku terdiam,
hanya angan beterbangan
adakah ini
keindahan yang kita rasakan
musabab cintaku
padamu
hanya
tersangkut di antara ranting dan daunan
sebagai zikir
dan pujian
Den Muhammad
Rasyidi: mahasiswa
Filsafat Ushuluddin UIN Suka Yogya, aktif di Lingkaran Metalogi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar