Sumber: Shenzhen china |
PUISI AMIN BASHIRI: PUISI-PUISI KEPADA SEORANG KAWAN (dalam beberapa bagian)
kepada
seorang kawan (bag. 1)
: Lukman Tambusi
puisi,
puisikanlah jiwa yang renta itu
jangan biarkan sungai mengalir air matamu, saat kematian datang dan sunggih di sudut bibir mulai merayap menghapusnya
kita hanya perlu paham satu arah, dimana keabadian selalu menjadi rumah beratap ijuk dan berlantai empuk: rumah yang pernah kita rencanakan sebelumnya.
di suatu waktu, puisi
adalah puisi untuk hatimu yang luka, nganga tak akan terhenti mengucur pada setiap perih yang selalu saja hadir di dada kita sebagai tamu, sebagai badai sebagai harap yang cemas..
puisi,
puisikan kemarahanmu tentang cerita
puisikan keinginanmu dan semesta yang mengungkungnya, puisi itu puisi yang lahir dari rahimnya, dari rahimmu
: Lukman Tambusi
puisi,
puisikanlah jiwa yang renta itu
jangan biarkan sungai mengalir air matamu, saat kematian datang dan sunggih di sudut bibir mulai merayap menghapusnya
kita hanya perlu paham satu arah, dimana keabadian selalu menjadi rumah beratap ijuk dan berlantai empuk: rumah yang pernah kita rencanakan sebelumnya.
di suatu waktu, puisi
adalah puisi untuk hatimu yang luka, nganga tak akan terhenti mengucur pada setiap perih yang selalu saja hadir di dada kita sebagai tamu, sebagai badai sebagai harap yang cemas..
puisi,
puisikan kemarahanmu tentang cerita
puisikan keinginanmu dan semesta yang mengungkungnya, puisi itu puisi yang lahir dari rahimnya, dari rahimmu
jika hujan masih senantiasa mengawinkan angin dan mendung, maka hadirlah dalam puisi
sebab puisi ada diantaranya,
kilat gelegar
beliung hembus
gempa retak
dan pada akhirnya kita akan berpulang, menuju rumah itu
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag.2)
:Lukman Hakim AG
larik-larik hujan masih berdiskusi tentang persitegangan antara dua pasang mata yang nanar. kita sudah lelah beradu, bertamu pada setiap kata, pada setiap jeda yang hampir menjadi bait dalam lingkar atap yang sama
hanya saja sajakku tak begitu sanggup melagukan melankolia daun mawar itu, terlalu rapuh kawan jika harus ku samakan jejak-jejak dibalik hujan kemarin. dan aku masih setia menulisnya
pada suatu waktu, saat itu jam berputar melebihi putaran detik ke menit
aku ingat saat kita bersajak dan berlari pada setiap lengkung warna pelangi
di musim penghujan. kita gugat awan
“oi..pituturku ombak, teriakku guntur”
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag.3)
: S. Ajida Fajri Yazido
mengeja,
luka bersama
di lumbung tak bertubuh itu, desah hangat tersimpan
ingatan kita
ingatan duka
jalan-jalan sudah belukar, menuju peraduan kamboja yang sering kau katakan
dan seorang perempuan bermata angin itu selalu saja menjadi pemacu, saat kau tulis sajak dari serat-serat dedaun. sebelumnya, kau pernah bilang bahwa angin juga akan berhenti jika semua mengerti bahwa pada setiap batu yang diam adalah kebenaran
bertubuh pada alam, suaramu melengking
petuah dinding-dinding bambu yang mengantar langkah menuju hidup selanjutnya
di balik gigil,
arah sungai menjadi pengantar suratmu
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag. 4)
: Em Ridwan
bila musim berkata jujur
saat ini dingin penghujan
hanya saja aku belum menemukan sajakmu yang nakal
kuingat ketika pertama kali kau tanam sajak-sajak kecil di dadamu,
ingin kau tumbuhkan di antaranya akar serabut bunga kamboja
sejenis purnama, mungkin seperti itu
di kepalamu juga kau ukir perihal kematian seorang perempuan yang selalu sunyikan senyum di belantara rambutmu, perempuan yang kau tulis berepisode dua puluh lima
kau tidak linglung kawan,
kau hanya butuh pemanis sejenak
pada puisi-puisimu yang mengajariku membaca aksara
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag. 5)
:Awie
labirin waktu,
itu sering kau bilang padaku saat pertamakali kita hujat mendung
waktu itu angin sedang sepoi meniadakan dahsyat badai, bagai larik api memanjat di sebilah pucuk laras tajam pedang
, kau berasajak dengan rambutmu
ungu dan nila sualaman pelangi saat itu di wajah rerumput, tanpa embun
berkisah tentang jarak, adalah senyummu
kau berkisah kawan. bukankah jarak dan waktu adalah kau sendiri yang mendekaminya
aku hanya sebagian dari kisahmu yang terulang
di musim berikutnya, entah apalagi yang kau bawa
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag. 6)
:Day
seperti meminum segelas kopi,
kau adalah asap bermunculan. mengepul
udara menyisakan bau gerimis semalam, tapi nalurimu masih terlalu bijak untuk berkata bahwa hujan hari kemarin adalah hujan yang lahir dari mata mereka: yang merindukan kita
tak pernah kau bersikukuh dengan luka untuk sebuah perjanjian
sekedar mengulang tangis lepas, tapi pasrah
ya, mungkin terlalu panjang kau uraikan kisah itu, kisahmu dengannya
aku lalang, kawan
mataku sepasang api
dadaku perisai, dan tanganku pedang berkilat guntur
-isakmu terus bergelayut dari ranting ke ranting ingatan
dengan segelas kopi,
aku kembali mengingatmu. disini
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag. 7)
:Ozie
masih terekam, suara gelegar itu
menyunggih purnama untuk kau ikutkan dalam perlombaan di waktu berikutnya
alismu, laut menepi
tak jadi gelombang, tak jadi badai
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag. 8)
:Al
kau resi,
anggun pertapamu adalah birahi waktu
dengan sejumlah jarum yang siap kau tusukkan dimataku, kau berlari
menganyam pagi, menari
saban hari, kau lukai waktu dengan sajak-sajakmu,
sajak-sajak ngilu tentang paha, buah dada dan selangkangan
seperti di kepalamu yang kau kata adalah tanduk itu, kau ikrarkan sebagai nisan
kawan,
langkahmu jejak dalam malam
jika kau tulis napsumu, maka itu adalah rindu
puisi,
(puisi hati, puisi hati)
puisimu, perempuan yang menggelepar pasrah di ujung pertemuan antara malam dan pagi, lebih tepatnya subuh menanti.
puisimu, abadi
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag. 9)
:Nur
matahari nur, mata air hidupmu dan anak itu
kau tak pernah lelah mengajariku bercengkerama dengan empat musim yang menandai semuanya dengan kata: hujan, panas, semi dan gugur
maka lihatlah!
sajakku, sajak kaku
sajak ungu
matahari nur, mata air timang pangkuanmu
pada setegar daun mawar, kelopak bertahta bebunga, aku titip kejantanan kepak sayap kupu-kupu: disana permayaman terjadi, bertunas benih tumbuh dalam wujud baru
langkah ini masih belum selesai nur, pagi menanti harapmu dan anak itu
ingat mimpi dan pasrah yang pernah ia katakan
: lakilaki dalam hidupmu adalah waktu
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag. 10)
:Andi Nyalam
di luar jendela berderit daun pintunya, nganga deras sisa hujan masih menetes: gerimis
ada namamu mengajakku menari pada sebentuk tetes itu, mungkin kita sama-sama rindu memaknai sepi yang menguji,
kawan, nyaliku tak cukup besar untuk itu
tak perlu bermimpi panjang lebar, cukup kau tulis saja aku dalam puisimu
maka kita akan beradu,
perihal musim yang kita gubah kemarin telah semi, gugur menanti perjumpaan kita selanjutnya
kau mau pilih mana,
di gerigi talas atau runcing melati?
sebab tak mampu kusuguhkan tempat bermukim selain keduanya
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag.11)
:Mahendra
tubuhmu ular
aku tulang retak di dalamnya
seperti bajak laut,
kau perompak dalam sajak-sajakmu
gelembung udara
episode kapal api
ikan gabus
dan manekin
kawan: sajakmu membakarku
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag.12)
:Syah Latief
maut itu, kawan
adalah lihaimu yang letih merampung kisah bulan dan bintang
di bawah teriknya kita sempat berencana mengintip purnama, tak hanya sekali tapi berulang pada suatu waktu berepisode sama.
kawan, lagu itu telah kau gubah menjadi puisi, menjadi tulisan-tulisanmu yang mencambukiku hingga memar
pada sekeping cambukan terakhir di telingaku, aku jadi tersadar dan bangun
ternyata aku belum mampu sepertimu
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bag.13)
:Luna
dan masih saja angin sepoi ini mengingatkanku pada sumpahmu,
perihal dendam yang masih kau simpan untukku
tapi aku tahu, dendammu kesumat suci
jam itu
akan berputar
entah berapa kali putaran menuju waktu yang tak bisa kita kira,
dan pasti berakhir pada masa: saat itu kau berhasil mengalahkanku
Sumenep,2010
kepada seorang kawan (bag.14)
:Fief, Us
pernahkah kau lihat kupu-kupu?
sayap yang merentang di pungungnya itu adalah kau dan napasmu
meski tersengal mengeja aksara, kau jauh melangkah pada seribu wajah di laut dan awan, mereka menyatu seperti halnya kau yang menyerupainya
ada angka bergelantung di satu ranting kepalamu, tentang dunia
bukankah begitu?
semisal kutawarkan manis madu ratu lebah, kau mungkin akan menolaknya
tapi kau lebih memilih duduk bersandar dengan sebongkah puisi yang kau lahirkan,
kau tidak membuatnya kawan, tapi kau melahirkannya
dia anakmu
anak dari pikirmu,
anak semesta yang kelak jika besar akan memanggulmu menemui siapa sebenarnya dia
luka waktu tak dapat dipendam, tapi arus selalu saja menutupinya.
Sumenep, 2010
kepada seorang kawan (bagian akhir)
:Aku, Kau, Lonceng Dan Hujan
bunyi lonceng mengingatkanku pada saat pertemuan kita di tepian bundaran air mancur bertubuh gembul itu, di suatu malam saat purnama tak sempurna menunjukkan senyummnya dan gerimis tiba-tiba datang sekedar menyapaku:
“hei, apa kabarmu”
dan kau menudingkan jarimu memberi isyarat padaku perihal mendung,
“itu tadi hujan yang menyapamu, dia teman lamaku “
sejak saat itu pada malam-malam berikutnya aku selalu belajar menuding dengan dengan telunjuk mengarah ke langit dan berkata: hujan adalah temanku
bunyi lonceng berikutnya, megingatkannku saat kau bercerita perihal keakrabanmu denganku:
“aku lihat guntur dimatamu, aku lihat gelombang pada katamu, aku lihat warna pada langkahmu, itulah kenapa ku selalu bergetar ketika mendengar namamu”
begitulah, sepenggal kalimat yang terbisik ketika kita sempat berjamu untuk yang kesekian kalinya.
(saat itu tak ada hujan, dan kau tak menuding lagi kearah langit. tapi lonceng tetap berbunyi)
malam-malam setelahnya, bunyi lonceng hanya berbatas pada jarum yang jatuh di atas jerami, hujan mengintip saat mendung mulai datang…dan kau tak pernah lagi berkata-kata, menuding bahkan bercerita.
dengan tiba-tiba aku segera berlari
disebelahku ada sepasang capung merah sedang bertengger pada kelopak dahlia, aku berbisik: aku rindu bunyi, hujan dan dirinya yang menuding langit lagi
sumenep, 03 november 2010
Sumber
Klik : http://ladangladangpuisi.blogspot.com/2011/03/puisi-puisi-kepada-seorang-kawan-dalam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar