Sumber: Yula Setyowidi |
Kau Puisi Di Setiap Lukaku
emma’
bila
boleh aku mengenang dari 17 tahun silam
tuam
berbungkus daun jarak
kau
usap ke lingkar borok
antara
kumengerang dan kuterima rasa sayang
di
selembar tikar daun siwalan kau menciumku
dengan
puisi
tanganmu
kata-kata yang membentuk pogras sendiri
ke
ceruk dann lekuk jasadmu
doamu
adalah judul yang kuletakkan di bagian teratas
menjadi
awal dari setiap yang kubaca
sampai
aku paham epilog terindah pungkas
di
detak jantungmu jua
dan
selanjutnya ketiak borokku sembuh
kau
buang kenangan tenteng nanah dan darahku
seperti
tuam yang kau campakkan ke dalam tungku
maka
tak ada yang kusebut puisi
di
antara ribuan pena yang telah kehabisan tinta
kecuali
dirimu aksara semata yang tertulis
bertarik
ke dalam sukma
Bungduwak,
22, 08, 14
Lalat
aku
terbang mengawini debu
memberah
jarak ke jantung ruang
mencari
yang kuanggap rejeki
sayap
menahan debu suci
yang
kau pakai bertayammum
niatku
demi mendapat pengakuan baik darimu
hanya
saja tuhan menunjukkan bangkai
sebagai
rejeki, sepeti padimu yang menguning
kupanen
ia dengan sesapan seadanya
tanpa
lumbung, tanpa menyesali lambung
hanya
cukup untuk menakik rasa lapar
selanjutnya
kutinggal bangkai itu sebagai masa lalu
ketika
susinggahi jasad rantang nasimu
kau
mengausirku dengan beberapa raut lidi
seraya
menyebutku dengan kata najis
akupun
terbang melayang-layang
lalu
berdiam di sayap pojok ruangan
sambil
kuamini nasib ini dan moyang kukenang
kembali:
“ketika
dahulu kala moyang mengerubungi mayat habil
tuhan
mengutusnay sebagai binatang najis
bahkan
samapai hari ini, saat habil telah tenggelam ke dalam puisi”
Gapura,
21 08, 14
Rumah Pacinan
kau
sebut griya kuno, selalu menghadap ke catatan
menyimpan
sumpah untuk tak bersitatap dengan matahari
seraya
menyisik bulu-bulunya
di
antara susunan genting tua dari andulang
di
bagian depan beranda berbaris empat pilar
besabuk
timbul bergerigi putih di garis cat kuning
seperti
empat malaikat yang memberkati kehidupan
kehidupan
kau simpan pada pintu bercak cokelat tua dari kayu mimba
diapit
dua jendela dengan lukisan belukar bunga
tanda
segala langkah yang tiba bakal menginjak lantai cinta.
Sumenep,
22, 08, 14
Sungai Toraja
rampunglah
mimpi capung-capung yang mencelupkan ekornya di air jernih
seperti
jarum jaib menjahit ketenangan sungai tojaran
degan
ultraviolet yang dipintal dari jari matahari
dan
segenap sungai menjaga ketenangannya di bawah doa dau kecubung
bunganya
yang putih melukis hati para petani
yang
hidup disekitar sungai berkali-kali
mengambil
air untuk bersuci
airnya
tak usai mengalir, menghanyutkan kutuk dan bala
agar
tak menyiksa orang-orang yang menjaga namanya dengan sesaji
di
atas sehampar batu abu-abu yang dilengkapi tlawah alquran dan bunga waru
sedang
dalam kejerniahan air itu, ikan-ilan berkellar mengayuh sirip
mencari
rahim moyangnya pada tumit batu, bukankah batu itulah
ikan
tak berenang yang dulu di kutuk ratu jadi membisu?
Dik-kodik,
25, 08, 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar