AIDA
ada
yang semestinya mengenalkan diriku pada pertemuan rahasia itu
bunga
yang langsat di pipimu kini bermekaran
jauh
pelangi meniduri hujan pada waktu musim yang sempat kusembunyikan sebagai kado
buatmu
rinai
sinar matahari membakar degup jantung
aku
tak tahu, apakah itu adalah irama dari embun yang menetes tadi pagi
atau
hanya sunyi yang sengaja dibawa kunang-kunang bersama cahaya di perutnya
dan
sepertinya tunas-tunas hijau kini telah menjelma sorga di dadaku
dari
lekuk bulan telah kujatuhkan namamu sebagai mahkota di ranjang langit
namun
tak ingin kudengar tangisan parau gelombang setelah sutera menjala ke laut
melepas cemas dari mulutku
pertemuan
kita adalah pertautan langit dengan laut
tanpa
sebilah belati tajam sebagai penusuk bungkam janji
Soklancar,
06 maret 2008
Surat Cinta Dalam Hujan
akhirnya,
menjelang
burung- burung terbang bertafakkur di antara sarang-sarang ilalang
suatu
langkah dua pasang kaki tergontai berjalan ke arah cakrawala
yang
terasa suci dari perjalanan, sebelum irama harmonika sempat ditiup bertasbih di
ruang-ruang jantung
begitulah
awal surat cinta terbaca oleh awan
dan
aku hanya mampu ciptakan diam dengan genangan air hujan yang senantiasa menulis
jelaga di kepalaku
wahai
ombak, bergemuruhlah
masih
ada sedikit angin dingin tertiup
namun
belum beku
sebelum
dibakar perapian matahari
kemudian
awal salammu adalah embun getarkan daun-daun
“assalamu`alaikum”
kembali
urat-urat belukar masa silam mengeret putaran jarum jam menuju waktu itu
dimana
kau sembunyikan seru dzikirmu dalam lenguh laron-laron
di
luar purnama masih nyalang memandang
para
kawanan jangkrik masai bernyanyi dengan kunang-kunang
apa
itu pesta?
sengaja
semua kujatuhkan dalam ingatanku tentangmu
hingga
lembar demi lembar berjatuhan
ada
batu dan gerimis jingga yang pada waktu itu ikut menyapa pergumulan kita di
lembah bertebing karang
juga
dalam suratmu kerudung merah muda selalu melilit dengan tinta-tinta
bukankah
harus kurobohkan tiang-tiang pengikat!
ini
kali dalam air mata meleh lilin tanpa api melainkan suara- suara kecil mirip
nyanyian dari mulutmu
ya,
kukenal renyah suaramu dengan lipatan hari yang tak begitu lama menguliti
pohon-pohon hingga berakar rayap
dan
jadwal esok dalam perziarahan menuju keindahan hitam jubahmu akan terselesaikan
(hujan
masih mendekap perjalanan ritmisku dengan suratmu dan kubiarkan jiwa-jiwa
tenang, hingga dua lampion yang bersinar itu tertawa dengan sepasang sayap
dingin di punggungnya)
Soklancar,
21 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar